Perubahan terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dinilai sebagai langkah mendesak yang harus segera dilakukan. KUHAP yang telah digunakan selama hampir setengah abad dianggap tidak lagi relevan dalam menghadapi tantangan hukum saat ini. Hal tersebut disampaikan oleh Ketua Umum Persatuan Doktor Pascasarjana Hukum Indonesia (PEDPHI), Prof. Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H., dalam keterangan resminya, Sabtu (19/4).
- Dewan Pers Ingin Bahas Pasal-pasal yang Memberangus Kebebasan Pers
- Dewan Pers akan Dukung RUU KUHP Asal Tidak Dibahas Secara Diam-diam
- AJI Desak Pasal yang Mengancam Kebebasan Pers di RUU KUHP dan RUU ITE Dihapus
“Pembahasan Rancangan Undang-Undang KUHAP oleh Komisi III DPR sudah sepatutnya dilakukan, terutama untuk merevisi hukum pidana formil yang telah digunakan selama lebih dari 40 tahun. Banyak problematika serius terjadi, mulai dari praktik intimidasi dalam proses penyelidikan dan penyidikan, hingga diskriminasi dalam proses peradilan,” ujarnya.
Prof. Abdul Chair menekankan bahwa pembaruan KUHAP sangat penting dalam rangka memperkuat perlindungan hukum terhadap tersangka dan terdakwa. Menurutnya, hukum acara pidana bukan hanya bertugas memastikan orang yang bersalah dihukum, tetapi juga menjamin bahwa orang yang tidak bersalah tidak menjadi korban sistem peradilan.
RUU KUHAP terbaru juga mengedepankan prinsip keadilan prosedural dan substansial yang menjadi pilar utama kepastian hukum. “Kedua bentuk keadilan ini harus hadir dalam setiap proses hukum, mulai dari penyelidikan hingga pengadilan. RUU ini menekankan pada penerapan hukum yang terarah dengan kontrol serta parameter yang jelas dan tegas,” tambahnya.
Salah satu poin penting dalam RUU KUHAP adalah penguatan hak-hak tersangka. Di antaranya, hak untuk didampingi advokat sejak awal pemeriksaan, rekaman proses pemeriksaan demi transparansi, serta akses terhadap berkas pemeriksaan. Selain itu, RUU juga memungkinkan advokat untuk mengajukan keberatan atas penahanan dan melakukan permohonan praperadilan.
RUU ini juga mengatur kemungkinan peralihan status tersangka menjadi saksi mahkota untuk mengungkap keterlibatan pelaku lain dalam tindak pidana. Hal ini dianggap strategis guna membongkar delik penyertaan yang seringkali sulit dibuktikan.
Tak hanya itu, tindakan penahanan yang selama ini dinilai subjektif, dalam RUU KUHAP baru telah diatur dengan parameter yang jelas, sebagaimana tercantum dalam Pasal 93 Ayat (5). Misalnya, pengabaian panggilan penyidik dua kali tanpa alasan sah atau pemberian keterangan yang tidak sesuai fakta.
RUU KUHAP juga memuat ketentuan tentang keadilan restoratif (restorative justice) yang kini diatur lebih komprehensif. Bila sebelumnya pendekatan ini hanya dilakukan di tahap penyidikan, kini telah menjadi bagian sistemik di semua jenjang proses hukum.
“Restorative justice tidak hanya menghadirkan perdamaian, tetapi juga menghilangkan unsur subjektif dari perbuatan pidana. Dengan kata lain, pelaku tidak lagi dapat dimintai pertanggungjawaban pidana setelah tercapai perdamaian,” jelas Prof. Abdul Chair.
Namun demikian, ia menyatakan keberatan atas usulan keberadaan Hakim Pemeriksa Pendahuluan (HPP) sebagai pengganti praperadilan. Ia menilai HPP berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dan bertentangan dengan prinsip diferensiasi fungsional antar lembaga penegak hukum.
“Penetapan status tersangka dan tindakan penyidikan adalah kewenangan penyidik. Jika ditentukan oleh HPP, maka akan terjadi percampuran fungsi yang tidak proporsional. Ini bisa menimbulkan konflik norma yang lebih berbahaya dari multitafsir hukum,” ujarnya.
Menurutnya, upaya pembaruan hukum harus selaras dengan asas dan prinsip hukum. Jika tidak, maka akan lebih banyak menimbulkan kemudaratan daripada maslahat. “Kita harus mengingat prinsip kaidah fiqih, dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih—mencegah kerusakan lebih diutamakan daripada meraih manfaat,” tutupnya.
ikuti terus update berita rmoljatim di google news
- Dewan Pers Ingin Bahas Pasal-pasal yang Memberangus Kebebasan Pers
- Dewan Pers akan Dukung RUU KUHP Asal Tidak Dibahas Secara Diam-diam
- AJI Desak Pasal yang Mengancam Kebebasan Pers di RUU KUHP dan RUU ITE Dihapus