PENERIMAAN Peserta Didik Baru (PPDB) 2019 melalui sistem zonasi kembali kacau. Siang tadi, ratusan wali murid yang tergabung dalam Komunitas Orang Tua Peduli Anak SMP-SMA/SMK se-Surabaya (KOMPAK), berunjuk rasa di depan gedung Grahadi Surabaya.
Lain lagi dengan Aris, hingga kini dia tak bisa mendaftakan anaknya masuk sekolah berbasis zonasi. Padahal kriteria utama dalam PPDB adalah jarak. Dia bilang, kuota penuh.
Sedangkan Jason dan para orangtua harus mendatangi DPRD Surabaya untuk mencurahkan keluh kesahnya. Menurutnya, PPDB telah membuat anaknya kesulitan masuk sekolah. Padahal jarak tempat tinggal dengan SMP Negeri terdekat sekitar 1,5 KM, bahkan nilai anak mereka rata-rata tinggi di atas angka 9 lebih.
Jason juga mengaku, beberapa SMP Negeri yang ada di sekitar tempat tingalnya adalah SMPN 11, SMPN 27, SMPN 15, SMPN 58, SMPN 31. Tetapi dari sejumlah sekolah tersebut, siswa yang diterima terjauh jaraknya sekitar 900 meter.
Sementara Tuji mengaku harus mendaftarkan anaknya melanjutkan ke SMK Telkom Sidoarjo, tentunya dengan biaya tidak murah. Dia terpaksa harus menjual perhiasan untuk membayar uang gedung.
Tuji beralasan anaknya tidak mau sekolah di sekolahan negeri. Alasan klasiknya hampir sama, sang anak sudah paham bagaimana sekolah di sekolahan negeri. Prestasi tidak menjadi jaminan.
Bahkan Juni tahun lalu, ada seorang remaja putri berinisial EPA (16) lulusan SMP di Blitar, Jawa Timur, ditemukan tewas bunuh diri. Belakangan diketahui EPA agak kecewa karena khawatir tidak bisa masuk di salah satu SMA negeri favorit di Sekolah Menengah Atas (SMA) 1 Blitar karena sistem zonasi yang diterapkan Kemendikbud. Sistem zonasi ini memprioritaskan anak yang berdomisili di Kota Blitar. Sedangkan domisili EPA masih ikut orang tuanya di Kelurahan/Kecamatan Srengat, Kabupaten Blitar. Kuota siswa luar kota juga dibatasi hanya 10 persen. Padahal orangtua EPA sudah berusaha menenangkan agar anaknya melanjutkan SMA di Srengat.
Dari kisruh sistem zonasi ini, tak pelak membuat situs PPDB Jatim dan PPDB Surabaya down. Tentu setiap kepala dinas pendidikan wilayah (Jatim dan Surabaya) membuat alibi masing-masing. Ada yang beralasan situs sedang disinkronisasi. Entah apa maksudnya.
Padahal sudah banyak pihak orangtua/wali murid yang dirugikan akibat sistem zonasi ini. Bahkan Komisi E meminta agar sistem zonasi dihentikan dan dikaji ulang.
Alasan yang hampir sama dihadapi semua orangtua murid. Kemungkinan tidak hanya di Surabaya, tidak juga di Jawa Timur. Daerah lain di Indonesia pasti mengalami kendala sama.
Masalahnya, ya itu-itu juga. Biang keroknya Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 51/2018 tentang penerimaan peserta didik baru tahun ajaran 2019/2020.
Berdasarkan Permendikbud 51/2018 diatur PPDB melalui zonasi, disebutkan seleksi calon peserta didik baru dilakukan dengan memprioritaskan jarak tempat tinggal terdekat ke sekolah dalam zonasi yang ditetapkan. Jarak tempat tinggal terdekat dimaksud adalah dihitung berdasarkan jarak tempuh dari Kantor Desa/Kelurahan menuju ke sekolah.
Jika jarak tempat tinggal sama, maka yang diprioritaskan adalah calon peserta didik yang mendaftar lebih awal. Umumnya, jalur zonasi memiliki kuota paling besar dari semua jalur penerimaan. Misalnya, di PPDB SMA Jawa Timur, kuota jalur zonasi adalah 50 persen, sedangkan di PPDB DKI Jakarta kuota yang disediakan untuk zonasi adalah 60 persen.
Sekilas latar belakang sistem zonasi, aturan ini diterapkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy dari meniru sistem pendidikan di Jepang. Di sana, siswa SD dan SMP lebih diarahkan untuk belajar berteman baik dan bekerja sama, bukan bersaing. Nilai-nilai tersebut ditanamkan sejak dini.
Salah satunya siswa SD/SMP wajib berjalan kaki ke sekolah dan tidak boleh diantar jemput orangtua. Orangtua dapat memanfaatkan waktunya untuk hal-hal produktif lainnya.
Selain itu, kemacetan lalu lintas juga tidak terjadi. Saat berangkat ke sekolah, siswa-siswa yang berada dalam zonasi yang sama diatur Parent Teacher Association (PTA). Satu zonasi memiliki beberapa tempat berkumpul siswa. Dari sini siswa akan berjalan bersama-sama menuju sekolah dengan dipimpin ketua regu.
Dalam hal ini, siswa dilatih mengasah karakter mematuhi aturan berlalu lintas selama perjalanan, bertanggung jawab dan memimpin. Pada perempatan yang padat lalu lintas, petugas piket PTA berjaga untuk membantu siswa menyeberang jalan. Berangkat bersama-sama diyakini mampu melatih kepedulian siswa, baik terhadap teman maupun lingkungan yang dilalui. Berkat perkenalan ini dan juga jarak rumah yang berdekatan, biasanya sesudah sekolah siswa akan bermain di rumah teman-temannya. Bukan lagi jago rumah atau teman dunia maya.
Zonasi salah satu strategi percepatan pemerataan pendidikan yang berkualitas. Kebijakan zonasi diambil sebagai respons atas terjadinya 'kasta' dalam sistem pendidikan yang selama ini ada karena dilakukannya seleksi kualitas calon peserta didik dalam penerimaan peserta didik baru. Sehingga tidak boleh ada favoritisme. Pola pikir ‘kastanisasi’ dan ‘favoritisme’ dalam pendidikan.
Ok, alasan bagus. Tapi apa sudah siap diterapkan di Indonesia. Rasanya tidak seperti bayangan Muhadjir. Terbukti, sistem zonasi malah mendzalimi anak didk dan bikin kacau.
Ada beberapa kelemahan dalam sistem zonasi ini. Kelemahan pertama terletak pada sosialisasi sistem zonasi yang kurang gencar ke masyarakat. Modifikasi sistem tersebut menyimpang dari tujuan utamanya.
Kelemahan kedua, tata cara pendaftaran PPDB. Banyak orangtua masih terjebak dengan predikat sekolah favorit. Predikat tersebut menjadi sebuah kendala karena pemerataan fasilitas sekolah belum terjadi.
Kelemahan ketiga, daya tampung sekolah tak seimbang dengan jumlah pendaftar, jika merujuk pasal 18 ayat 1 bahwa dalam melaksanakan PPDB melalui jalur zonasi dengan kuota paling sedikit 90% (sembilan puluh persen) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16ayat (1) huruf a, Sekolah yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerahwajib menerima calon peserta didik yang berdomisili sesuai zona yang ditetapkan Pemerintah Daerah. Di sini keterbatasan daya tampung yang ada seharusnya bisa diterima oleh peserta alih jenjang dengan syarat-syarat tertentu.
Kelemahan keempat, pasal 18 ayat 2, domisili calon peserta didik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan alamat pada kartu keluarga yang diterbitkan paling singkat 1 (satu) tahun sebelum pelaksanaan PPDB.
Pada ayat 2 ini tidak mengukur dengan jelas migrasi dukcapilnya dari suatu daerah ke daerah lain. Sehingga banyak migrasi dukcapil digunakan hanya untuk memperoleh peluang masuk sekolah negeri atau sekolah favorit. Akibatnya, tertutup peluang siswa alih jenjang di zona tersebut.
Kelemahan kelima, pengertian ‘radius terdekat’ pasal 18 ayat 4 bahwa sekolah memprioritaskan peserta didik yang memiliki kartu keluarga atau surat keterangan domisili dalam satu wilayah kabupaten/kota yang sama dengan sekolah asal.
Kelemahan pasal tersebut merugikan sekolah-sekolah yang tidak terpenuhi daya tampungnya. Akibatnya, guru di sekolah itu tidak terpenuhi jumlah jam mengajar 24 jam. Mereka terancam tak mendapat tunjangan sertifikasi yang selama ini diterima. Padahal PPDB tujuan utamanya untuk pemerataan dan meminimalisir mobilitas siswa ke sekolah tertentu pada akhirnya menuai banyak masalah. Sehingga memunculkan masalah secara berentetan.
Kelemahan keenam, pasal 19 ayat 4 bahwa SMA/SMK yang diselenggarakan oleh Pemerintah daerah wajib menerima peserta didik yang berasal dari keluarga tidak mampu paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah daya tampung.
Aturan ini menjadi bias. Sebab masalah Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) tidak ada sangkut pautnya dengan proses penerimaan siswa baru. Penerimaan dengan jalur SKTM ini menimbulkan gejolak bagi pemegang kartu-kartu lain seperti KIS, KKS, atau lainnya yang pada akhirnya harus diakomodasi.
Dalam praktiknya, daerah justru mengimplementasikannya beda. Di dalam PPDB ada jalur menggunakan SKTM. Sementara dari pasal sebelumnya tentang sistem zonasi, tidak satu pasal pun menyebut SKTM. Nah, di sini pemerintah daerah menggunakan aturan yang mana.
Di satu sisi, sistem zonasi PPDB layak diapresiasi karena merupakan terobosan baru di dunia pendidikan. Namun di sisi lain, sistem zonasi PPDB masih belum matang dan belum ‘teruji’ sehingga mengakibatkan banyak anak kehilangan haknya untuk bersekolah dan mendapatkan pendidikan yang layak.
Satu-satunya solusi, Permendikbud 51/2019 perlu diuji ulang. Kalau pemerintah tidak bisa menguji ulang, maka bisa diuji materiil di hadapan Mahkamah Agung (MA). Tujuannya, agar sistem zonasi PPDB menjadi fair bagi siswa, tidak sekedar mengutamakan jarak tapi lebih dari itu prestasi sang anak didik perlu diutamakan.
Noviyanto Aji
Penulis adalah wartawan
ikuti terus update berita rmoljatim di google news
- Ayo Menulis, Menguatkan Literasi Abad 21!
- Apa yang Dicari Megawati Sehingga Mau Mengepalai Lembaga Riset Sains dan Teknologi?
- Polisi Ditabrak di Blok M, Teori Curt Bartol, dan Iklan Rokok