Tekan Kasus TBC, Pemkot Surabaya Masifkan Sosialisasi Cegah Penularan

Eri Cahyadi/RMOLJatim
Eri Cahyadi/RMOLJatim

Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya terus melakukan berbagai upaya pencegahan dan pengendalian penyakit Tuberkulosis (TBC) di Kota Pahlawan. 


Salah satunya adalah dengan melakukan kolaborasi dan sinergi bersama unsur hexa helix melalui optimalisasi komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) videografi Orkestra Cinta Merdeka TBC, di Graha Sawunggaling, Senin (20/1).

Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi mengatakan, kegiatan penyuluhan ini merupakan upaya eliminasi TBC di Surabaya. 

Sekaligus mendukung percepatan target nasional dalam eliminasi TBC tahun 2030. 

Tujuan kegiatan ini adalah untuk menyampaikan informasi terkini mengenai situasi capaian program TBC di Kota Surabaya.

“Kita punya tekad untuk mengeliminasi TBC. Karena TBC merupakan salah satu penyakit yang sulit terdeteksi. Mereka biasanya malu, akhirnya tidak mengaku dan menularkan ke keluarga maupun tetangga,” kata Wali Kota Eri dikutip Kantor Berita RMOLJatim.

Ia melanjutkan, optimalisasi KIE dalam bentuk media sosial mengenai program TBC rutin dilakukan kepada semua unsur yang tergabung dalam Tim Percepatan Penanganan TBC di Kota Surabaya. 

“Bahkan Direktur Rumah Sakit Universitas Airlangga, Prof. Dr. Nasronuddin menciptakan lagu, di situ disebutkan, yang sakit jangan di diskriminasi. Stigma juga harus dirubah, ini cocok dengan target pemkot melalui RW 1 Nakes 1,” ujar dia.

Wali Kota Eri menjelaskan bahwa Pemkot Surabaya telah memiliki layanan kesehatan dengan konsep RW 1 Nakes 1 (R1N1) yang bertujuan untuk mempermudah dan mendekatkan pelayanan media kepada warga Surabaya. 

Layanan ini menjadi bagian dari pencegahan ketika warga mengalami sakit ringan atau berisiko tinggi.

“Dalam 1 RW bisa tahu yang hamil berapa, yang sakit berapa, dan semuanya. Itulah yang saya sebut sebagai Surabaya Bergerak. Lalu di sambutlah dengan gerakan pencegahan TBC ini, semoga dengan model ini TBC bisa dieliminasi di Kota Surabaya, dengan stigma bahwa orang terkena TBC jangan dijauhi, bisa berinteraksi tetapi menggunakan masker,” jelasnya.

Di samping itu, TBC berbeda dengan COVID-19 sehingga tidak perlu dibangun tempat khusus TBC. Sebab, jika ada tempat khusus maka menimbulkan stigma di masyarakat bahwa penderita TBC harus diasingkan.

“Pendekatannya berbeda, dokter menyampaikan penderita bisa tetap berinteraksi dengan menggunakan masker dan rutin mengkonsumsi obat sehingga bisa sembuh. Penderita TBC jangan diskriminasi, kami koordinasi dengan DPRD bagaimana pendekatan itu dilakukan,” terangnya.

Ia menyebut, penderita TBC biasanya enggan mengaku. Saat mendapat perawatan dan pengobatan, penderita seringkali bosan mengkonsumsi obat secara rutin. 

Akibatnya banyak penderita yang mengalami resisten obat. 

“Karena orang yang sakit masih belum berani lapor, TBC bisa disembuhkan dengan mengkonsumsi obat selama enam bulan dan menggunakan masker,” pungkasnya.

ikuti terus update berita rmoljatim di google news