Transformasi PBNU Antara Sukses dan Krisis

M. Syarbani Haira/Ist
M. Syarbani Haira/Ist

PIDATO Yang Mulia, Kyai Haji Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya), Ketua Umum Tanfidziah PBNU, pada saat acara Syawalan Bersama Sahabat Media di Gedung PBNU, Jakarta Pusat, Selasa, 22 April 2025 lalu, memantik respons yang beragam warga nahdliyyin khususnya, serta rakyat Indonesia pada umumnya.  

Respons bernada negatif, disampaikan secara terbuka, dua netizen melalui media online. Akun Adimas menulis, “mengklaim ulama tapi kelakukan jauh dari teladan Nabi Muhammad SAW”. Sedang akun Aadd menulis, “Adik nya kemana pak? sampe sekarang blm keliatan tuh batang hidungnya”.

Sementara, melalui media sosial terbatas, kritik terhadap PBNU saat ini justru lebih dahsyat. Bahasanya bahkan sarkastis, sangat kasar. Intinya, apa yang dipaparkan Gus Yahya dalam forum Syawalan Bersama Sahabat Media di PBNU itu hanya “bualan” belaka. 

Cerita sukses PBNU, di bawah kepemimpinan Gus Yahya selama tiga tahun terakhir, diklaim sudah banyak melakukan transformasi yang terjadi dalam organisasi tersebut. Gus Yahya bilang, “transformasi yang saya kerjakan bersama teman-teman di PBNU sudah mencapai titik optimal, siap bekerja lebih progresif di dalam mengejar agenda-agenda yang menjadi ketetapan organisasi”.

Gus Yahya memberikan contoh karya suksesnya, seperti perangkat organisasi kini telah tertata dengan rapi hingga ke tingkat desa. Penyiapan sumber daya manusia yang dilakukan secara massif, melalui pelatihan kader-kader NU di berbagai wilayah. Juga aspek pendanaan dan tata kelola organisasi yang dinilainya semakin baik dan profesional. 

Betulkah Sukses?

Ternyata cerita sukses PBNU itu hanya klaim sepihak Gus Yahya. Bukan hasil analisis pengamat atau pakar NU, misalnya. Atau berdasar hasil penelitian akademis kampus kenamaan tertentu. Atau bisa pula dari hasil inspeksi internal PBNU sendiri. 

Salah satu kelemahan utama PBNU itu adalah karena NU yang tidak atau belum memiliki Badan Pengawas, semacam inspektorat di kalangan pemerintah. Bahwa NU punya Lembaga Syuriah, yang secara fungsional bisa melakukan pengawasan, memang iya. Tetapi eksistensi elite Syuriah tak punya nyali jika sudah berhadapan dengan Ketua Tanfidziah. Akhirnya, fungsi pengawasannya pun menjadi mandul. 

Saya pribadi dulu, dalam kapasitas sebagai Ketua Tanfidziah PWNU, pernah mengusulkan perlunya Badan Pengawas tersebut. Mereka diambil dari 3 (tiga) kelompok masyarakat: Pertama, kalangan ulama pesantren. Kedua, kalangan akademisi kampus. Ketiga, para aktivis NU itu sendiri (yang jumlahnya ditentukan kemudian). Badan Pengawas bersidang setiap 3 bulan, menerima pengaduan dan keluhan warga, mengevaluasi kegiatan dan program, serta memberikan penilaian dengan skor 0 hingga 100 (terhadap PBNU, PBNU, PCNU dan lembaga-lembaga yang ada, serta Banom-banom-nya). 

Jika saja klaim Gus Yahya itu misalnya berdasar hasil kajian atau temuan Badan Pengawas, maka dapat dipastikan klaim itu betul-betul akurat. Tetapi ini hanya klaim sepihak Ketua Umum pribadi, maka itu patut dipertanyakan kebenaranya. Betulkah sukses, sudah mencapai titik optimal, sebagaimana yang disampaikan dalam acara syawalan tersebut?

Jika diadakan pengamatan, atau survei lapangan, umumnya publik menilai tak berkorelasi positif. Betulkah organisasi kaum sarungan itu sudah tertata secara rapi hingga ke desa-desa. Pasti publik akan senyum-senyum duka mendengarnya. Konsolidasi pengurus saja saat ini tersendat-sendat. Beberapa PWNU dan PCNU tak bisa konferensi karena orang yang mereka percaya belum ketemu. Belum lagi PWNU tak otonom dalam menentukan jadwal, harus persetujuan PBNU. 

Ironisnya, yang sudah konferensi pun masih menemukan masalah baru. Karena alasan tertentu, SK-nya tak dikeluarkan oleh PBNU. Ini menjadi problema baru. Bisakah mereka menghadiri konferensi PCNU, padahal belum punya legalitas. Ini belum lagi jika kita membahas kepengurusan kecamatan (MWC), kelurahan dan desa (Ranting) serta komunitas atau wilayah tertentu (Anak Ranting). So, bahasa sukses itu cuma sebatas klaim sepihak Gus Yahya saja, bukan sesungguhnya.  

Pelatihan kader juga bisa dinilai bermasalah. Mulai dari sisi prioritas lokasi, hingga sampai ke soal teknis dan outputnya. Dari sisi lokasi, ada daerah-daerah yang dipacu. Tetapi di sisi lain, ada pula daerah-daerah yang diabaikan. Belum lagi soal outputnya. Ada pelatihan hanya sekadar formalitas, untuk memenuhi syarat seseorang untuk menjadi Ketua, sedang sikap dan pola pikirnya tak berkorelasi. NU di beberapa daerah menjadi amburadul, karena dipimpin oleh orang yang sudah bersertifikat, tetapi tak care bahkan tak ngerti pada NU itu sendiri. NU dibiarkan merana, yang ketua-nya bisa menjadi kepala kantor instansi pemerintah.   

Cerita Menghidupkan Gus Dur

Saya pribadi, saat Muktamar NU di Lampung Desember 2021 lalu, bergabung dengan rekan-rekan pendukung Gus Yahya, setelah dua periode mendukung Kyai Said Aqil Siradj. Tema Gus Yahya yang ingin menghidupkan pemikiran Gus Dur sangat memukau. Saya bahkan berkenan hadir ke Balikpapan (Kalimantan Timur), buat meyakinkan rekan-rekan NU dalam sebuah dialog. 

Banyak sahabat-sahabat yang juga tertarik oleh tema tersebut. Tetapi setelah berlangsung kepengurusan, hasilnya malah “zero”. Itu hanya ada dalam bayang-bayang saja. Bahkan NU dibangun oleh Gus Yahya bertolak belakang dengan ide-ide Gus Dur yang dikenal populis serta merakyat itu. Jika Gus Dur pernah menjadikan Istana Negara menjadi Istana Rakyat, Gus Yahya malah menjadikan PBNU seperti Kantor Menteri Pertahanan, di mana tak semua warga NU bisa mampir dan bertatap muka langsung dengan pengurus. Ada birokratisasi jam’iyyah.

Inilah antara lain keprihatinan banyak rekan, termasuk sahabat kita Gus Salam (Kyai Haji Abdus Salam Shohib). Pimpinan Pesantren Denanyar, Jombang, Jawa Timur ini belakangan menggerakkan MLB NU (Musyawarah Luar Biasa NU), karena menurutnya banyak kesalahan akumulatif kepemimpinan PBNU sekarang. Bagi Gus Salam, Kantor PBNU itu kantor ummat, seperti sikap Gus Dur, yang bisa dikunjungi setiap saat. Bukan seperti kantor aparat keamanan pemerintah, yang dijaga ketat.

Gus Salam tak lupa mengkritik sikap Gus Yahya yang dinilainya inkonsistensi, misalnya soal politik, hubungan dengan pemerintah, agenda kerja, tata kelola jam’iyyah, dan sebagainya. Termasuk masalah tambang yang sesungguhnya secara ideologis NU telah mengharamkan merusak lingkungan. Belum lagi pertanyaan substantif, apakah NU itu lembaga bisnis, atau dakwah? 

Memperhatikan situasi ini, sekaligus untuk meluruskan hajat mulia Gus Yahya untuk menghidupkan kembali pemikiran Gus Dur di lingkungan NU, Pertama Gus Yahya harus mau melakukan muhasabah diri, apa yang terbaik untuk dilakukan dalam menakhodai jam’iyyah NU ini. Jika Gus Yahya memang seorang penerus Gus Dur, bukalah dialog dengan pemikiran yang jernih. Jangan merasa sudah hebat sebagai Ketua Umum, sehingga orang lain tak diopeni, diabaikan, dan bahkan dilecehkan. Teori filsafat “tak ada asap, tak ada api” harus dicermati baik-baik. Tak mungkin publik mengkritik jika tak ada masalah di dalam diri kita.

Kedua, jika memang solusinya muktamar dipercepat, apa salahnya, sebagaimana kerap kali disuarakan banyak pihak. Belajarlah bijak seperti Pak Harto Mei 1998, mundur sendiri, karena ada tekanan. Atau model BJ Habibie yang memilih pemilu dipercepat ketimbang suara sumbang terus bergema. Atau model Gus Dur yang memilih damai, tak kisruh dalam berebut kekuasaan. Pilihan-pilihan ini patut dipertimbangkan Gus Yahya cs.

Ketiga, tetaplah “keras hati, keras kepala”, sehingga semua suara orang tak perlu didengar. Karena yang benar hanya diri sendiri, orang lain salah semua. So, kritik orang lain tak perlu didengarkan, sebagaimana prinsip selama ini. Entah sampai kapan tak akan membaca berita yang isinya melorotkan nilai kepribadian. Dalam ideologi NU itu banyak sekali kaidah yang lazim digunakan jika sedang ada masalah. Saat saya berkunjung ke beberapa kyai sepuh se Jawa Timur akhir 2024 lalu, saya dapat masukan luar biasa dari orang-orang yang kita kagumi tersebut.

Maka itu, bangunlah jam’iyyah NU itu atas dasar prinsip nilai ahlussunnah wal jamaah an-nahdliyyah, tanpa harus menyingkirkan potensi human resources internal NU sendiri. Ini tentu akan lebih mulia dan genuine ketimbang mencari atau merekrut human resources eksternal NU, yang ujungnya justru bisa merusak ideologi NU itu sendiri. Bisa terjadi krisis. Wallahu’alam bissawab … !!!

*Penulis adalah Ketua Tanfidziah PWNU Kalimantan Selatan masa khidmat 2007-2012 dan 2012-2017

ikuti terus update berita rmoljatim di google news