UU Abritase Sudah Usang

Produk perundang-undangan yang mengatur arbitrase di Indonesia dianggap telah usang. Undang-undang nomor 30 Tahun 1999 dianggap tidak bisa mengakomodasi hukum arbitrase internasional.


Menurut Hartini, dengan adanya keterbatasan UU tersebut, kerap kali membuat peraturan arbiter internasional sulit diakomodasi arbitrase nasional.

"Padahal, banyak sengketa yang melibatkan arbitrase internasional harus masuk ke ranah arbitrase nasional," katanya.

Sementara salah satu arbiter, Yohanes Sogar Simamora mencontohkan beberapa kelemahan perundang-undangan nasional saat ini. Misalnya, ruang lingkup peraturan perundangan yang masih menggunakan produk perundangan perdata.

"Seharusnya dibagi antara yang khusus mengatur penyelesaian sengketa, atau hanya khusus menyelesaikan masalah arbitrase. Kalau di negara-negara lain, biasanya dibagi," kata Sogar di tempat yang sama.

Sogar juga menyoroti terkait badan hukum arbitrase yang harus memiliki badan hukum yang jelas. Hal ini juga belum diatur secara spesifik di UU tersebut.

Selain itu, profesor yang juga pengajar di Universitas Airlangga ini berpendapat, UU tentang arbitrase seharusnya juga memuat tentang larangan pembatalan putusan hukum arbitrase. Sebab, menurut pasal 70 Undang Undang arbitase UU nomor 30 tahun 1999 tersebut, putusan arbitrase masih dapat dibatalkan.

"Seharusnya, putusan dari pengadilan arbitrase harus bersifat final dan mengikat," tegasnya.

Oleh karena itu, produk perundangan yang telah berusia 19 tahun perlu dilakukan penyegaran. Untuk menggali bahan evaluasi, BANI perwakilan Kota Surabaya rencananya akan menggelar Seminar bertajuk "Harmonisasi UU No 30 tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif peneyelesaian sengketa perkembangan hukum arbitrase internasional", pada Sabtu (17/11) mendatang.  

Dengan peserta sekitar 150 orang, seminar ini akan diikuti oleh beberapa pegiat arbitrasi. Mulai dari kalangan lawyer (pengacara), arbiter, hingga pengusaha.

Adapun pembicara yang dihadirkan adalah Profesor Basuki Rekso Wibowo, Kepala Pusat Litbang Mahkamah Agung, dan Huala Adolf, Wakil Ketua Bani Pusat.

"Di dalam seminar ini akan dibahas perlunya penyesuaian atau harmoniasi UU terhadap perkembangan arbitase internasional," katanya.

Nantinya, setelah mendengar masukan peserta dari seminar tersebut, Bani akan merumuskan bahan perbaikan perundangan arbitrase. Nantinya, bahan itu akan diserahkan kepada DPR sebagai pihak yang menghasilkan produk perundangan.

"Rekomendasi itu bisa bersifat penyempurnaan atau membuat perundangan yang baru," pungkas pria yang nantinya menjadi moderator di acara tersebut.[aji

ikuti terus update berita rmoljatim di google news