RMOLBanten. Sebagai ekspresi dukungan politik di Pilpres 2019, perang tagar sama sekali tidak bermanfaat bagi kehidupan berdemokrasi di Indonesia. Bahkan, perang ini berpotensi inskonstitusional.
- Pendaftaran Calon KPU Bawaslu Dibuka 18 Oktober, Ini Syarat-syarat yang Harus Dipenuhi
- Gerilya Menangkan Prabowo, Kader Gerindra Di Jember Temui Kiai Dan Tokoh Masyarakat
- Kapolri Terbitkan Maklumat Pencegahan Covid 19 Saat Pilkada Serentak
Dalam konstitusi, elit politik hanya boleh menjelaskan program yang terukur dan menawarkan sosok para calon legislatif dan eksekutif.
Sementara persoalan ganti presiden atau tetap presiden menjadi ranah kedaulatan rakyat, otonomi rakyat, bukan intervensi dari elit politik.
"Rakyat harus merdeka menentukan pilihan. Tidak boleh terjadi penggiringan opini apalagi mengarahkan penentuan pilihan, seperti #2019GantiPresiden dan #2019TetapPresiden," ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima redaksi, Kamis (17/5).
Perang tagar, menurutnya, menjadi tendensius kepada sosok tertentu dan tidak produktif. Bahkan, sama sekali tidak ada manfaatnya bagi rakyat, bangsa dan negara, kecuali hanya memanipulasi persepsi publik untuk tujuan prakmatis dari segelintir elit politik tertentu.
"Tagar #2019GantiPresiden versus tagar #2019TetapPresiden sangat tidak baik dari aspek pendidikan politik di tanah air," sambungnya.
Kata dia, politik harus mencerdaskan masyarakat. Untuk itu, seharusnya para elit politik bertarung pada visi misi, gagasan, ide yang tentunya diturunkan pada tingkat program yang terukur secara kualitatif dan kuantitatif.
Program ini menjadi janji politik yang harus direaliasikan dan ditagih oleh seluruh rakyat Indonesia kepada suatu regim pemerintahan tertentu dalam kurun waktu lima tahunan,†tukasnya. [ian]
- Bank Dunia dan IMF Tidak Ikhlas Sri Mulyani Diganti Dradjad Wibowo
- Golkar Lakukan Penyegaran Pengurus DPP, Ini Daftarnya
- Komisi C Usul Pemprov Kerjasama Dengan Pihak Swasta Untuk Kelola Program Trans Jatim