Setelah Lima Tahun Jokowi Baru Sadar Cangkul Masih Impor

Presiden Joko Widodo berbicara Revolusi Industri 4.0. Hal ini kerap dijadikan jargon dalam setiap kesempatan pidatonya.


"Puluhan ribu-ratusan ribu cangkul yang dibutuhkan masih impor. Apakah negara kita yang sebesar ini industrinya yang sudah berkembang, benar cangkul harus impor? Enak banget itu negara yang barangnya kita impor," tutur Jokowi.

Ya, saat ini Indonesia masih banyak impor produk "remeh temeh" dari China. Menurut Jokowi, kebijakan impor cangkul di saat neraca perdagangan nasional yang mengalami defisit tidaklah tepat.

Menanggapi hal itu, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Arief Poyuono melalui pesan elektronik dilansir dari Kantor Berita Politik RMOL, Jumat (8/11) mengatakan, bukan cuma cangkul yang diimpor.

Menurut Arief, andai Jokowi mau jalan ke pasar Jatinegara atau Glodok, maka akan tahu bahwa banyak barang-barang yang jadi keseharian masyarakat adalah produk impor.

"Kangmas Joko Widodo baru sadar setelah lima tahun kalau cangkul itu ternyata made in impor. Bukan cuma cangkul kangmas, yang diimpor banyak," kata Arief.

"Kalau mau jalan deh di Pasar Jatinegara atau Glodok, atau sering-sering buka kaca mobil di lampu merah. Kangmas akan tahu ternyata palu, gelap/tang/peniti, jarum, gunting kuku, korek kuping yang merupakan produk-produk yang tiap hari dipakai masyarakat semuanya diproduksi made in China," tambahnya.

Atas kenyataan bahwa cangkul saja masih impor, menurut Arief, terlalu kejauhan jika Jokowi membicarakan digitalisasi pendidikan seperti yang digagas Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim, Industri 4.0 atau bicara produksi mobil Esemka.

"Wong industri kita saja belum mampu memproduksi korek kuping, jarum, peniti, palu, pahat, pacul, sendok garpu, gunting kuku, obeng dan lain-lain. Jadi banyak industri manufakturing yang produknya pasti ada di setiap rumah penduduk atau dipakai oleh masyarkat tidak bisa diproduksi oleh industri manufakturing kita selama Indonesia merdeka. Nah sebaiknya digalakan industri seperti itu dulu Kangmas," tuturnya.

Karena itu, Arief menyarankan untuk kembali menggalakkan industri seperti itu dulu. Setidaknya, kelak Indonesia yang mengekspor peniti, jarum, cangkul, dan lainya. Bukan lagi jadi importir.

"Paling nggak nanti kita bisa ekspor juga. Apalagi industri seperti itu nggak butuh teknologi digitalisasi atau masuk katagori industri 4.0 yang butuh robotic. Apalagi bahan baku ada di dalam negeri seperti besi tua banyak banget. Dan dengan demikian dampak membuka lapangan kerja juga kan. Sehingga dengan demikian neraca perdagangan dijamin surplus terus kangmas," demikian Arief Poyuono.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan dari 2015 hingga September 2019 jumlah impor cangkul mencapai 505,5 ton dengan nilai US$ 330,03 ribu. Dari total nilai itu, cangkul yang didatangkan dari Jepang senilai US$ 65 dan sisanya dari China.

Jika dirinci per tahun, pada 2015 total cangkul yang masuk ke Indonesia seberat 14,2 ton dengan nilai US$ 6.589. Pada tahun 2016 totalnya seberat 142,7 ton dengan nilai US$ 187,0 ribu. Pada tahun 2017 totalnya sebesar 2,3 ton dengan nilai US$ 794.

Sedangkan pada tahun 2018 totalnya seberat 78,1 ton dengan nilai US$ 33.889 ribu. Pada tahun 2019 tercatat dari Januari sampai September totalnya seberat 268,2 ton dengan nilai US$ 101,6 ribu.[aji


ikuti update rmoljatim di google news