Kelalaian Pemerintah Menjadi Sumber Bencana di Aceh

Ombudsman Aceh meminta Pemerintah Aceh mengimplementasikan qanun-qanun Aceh terkait perlindungan, pengelolaan lingkungan hidup, sumber daya alam dan tata ruang. Aturan-aturan tersebut diharapkan dapat menghindarkan Aceh dari bencana banjir dan kekeringan yang terus berulang.


“Aturan-aturan itu jangan dibiarkan mati percuma,” kata Ketua Ombudsman Aceh, Taqwaddin, Jum'at (15/5), dilansir dari RMOLAceh.

Saat ini, kata Taqwaddin, Aceh memiliki Qanun Aceh tentang Perlindungan Sumber Kawasan Air, Qanun Aceh tentang Lingkungan Hidup, Qanun Aceh tentang Kehutanan, dan Qanun Aceh tentang Perlindungan Satwa.

Taqwaddin juga meminta kepolisian dan kejaksaan peduli upaya menegakkan aturan terhadap perusak hutan. Taqwaddin meminta kepolisian membantu polisi hutan untuk berpatroli di dalam kawasan hutan dan memburu pelaku pembalakan liar.

Taqwaddin juga mengajak semua komponen rakyat Aceh, baik pemerintahan, lembaga swadaya masyarakat, pebisnis, dan masyarakat untuk membangun komitmen bersama melakukan upaya prevensi, mitigasi, kesiapsiagaan, dan pengurangan risiko bencana (PRB).

Hal ini penting untuk dilakukan mengingat kerusakan akibat bencana tidak hanya diderita oleh warga di sekitar lokasi kejadian. “Kita semua, termasuk pemerintah, juga merasakan dampaknya. Maka, karenanya, upaya meminimalisir risiko bencana harus dilakukan secara optimal,” kata Taqwaddin.

Dalam diskusi melalui video konferensi bertema Upaya Penanggulangan Bencana Banjir yang diinisiasi Ombudsman, sejumlah narasumber menyampaikan pandangan mereka terkait pengelolaan lingkungan di Aceh.

Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Aceh Sunawardi mengatakan banjir saat ini terjadi karena banyak pembangunan yang tidak mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Selain itu, juga adanya perusakan alam berupa perambahan dan pembalakan kayu secara ilegal.

Sementara Syahrul, ahli hidrologi, menyebutkan bahwa kondisi curah hujan saat ini memang pada posisi ekstrem. Ditambah lagi dengan kegiatan cocok tanam masyarakat pada posisi lahan yang kemiringannya 45 persen. Hal ini dinilai Syahrul juga berbahaya. Syahrul juga mengungkapkan banyak muara yang tertutup sendimentasi, sehingga air tertahan dan tidak dapat mengalir dengan baik.

Sementara Eko Nur Wijayanto, Kepala BPDASHL Krueng Aceh, mengatakan bahwa saat ini laju deforestasi di Aceh sangat tinggi. Sehingga potensi bencana khususnya banjir dan longsor sangat besar.

“Kita harus melakukan mitigasi bencana, apa lagi saat ini laju deforestasi sangat tinggi, banyak tutupan hutan yang hilang. Sehingga potensi terjadi bencana banjir dan longsor sangat besar” ungkap Eko.

Menurut Eko, banjir genangan di Banda Aceh beberapa hari yang lalu sebenarnya Krueng Aceh mampu menampung debit air tersebut. Namun karena drainase yang kurang optimal sehingga air tidak dapat mengalir ke sungai.

Adapun Nazli Ismail, Ketua Prodi Magister Ilmu Kebencanaan Unsyiah, pada kesempatan tersebut menegaskan bahwa upaya penghijauan kembali sangat perlu dilakukan. Karena saat ini banyak areal hutan yang rusak dan lahan kritis di Aceh.