Vaksinisasi, Kepanikan Fiskal, dan Pertumbuhan Ekonomi 2021

Rizal Ramli/RMOL
Rizal Ramli/RMOL

VAKSINASI yang diharapkan akan mengurangi resiko dan kematian akibat pandemi, kelihatannya baru akan mulai intensif setelah semester 2, 2021, karena keterlambatan supply vaksin (thanks kepada Menkes sebelumnya). Paling cepat, effektifitasnya baru akan terasa di akhir 2022.

Dengan tingkat vaksinasi yang rendah dan lambat itu, walaupun dibantu dengan mikro-lockdown, sulit diharapkan ekonomi akan cepat membaik di tahun 2021. Tidak semudah “angin sorga” yang diucapkan oleh ‘Menkeu Terbalik’ bahwa ekonomi Indonesia akan melesat 5,5% tahun 2021 — wong sebelum covid saja rata-rata hanya 5,1%.

Selain masalah pandemik, pertumbuhan kredit sangat rendah, bahkan negatif (-1,39% November 2020). Terendah sejak krisis ekonomi 1998, karena likwiditas di masyarakat dan lembaga keuangan tersedot setiap kali pemerintah menerbitkan Surat utang Negara (SUN), apa yg disebut sebagai “crowding-out”. Jadi boro-boro nambah, likwiditas di masyarakat “disedot” — itulah yang menyebabkan daya beli rakyat semakin merosot.

Di bidang fiskal, keseimbangan primer negatifnya semakin besar. Artinya hanya untuk bisa membayar bunga utang, harus meminjam lebih besar lagi dengan bunga lebih tinggi dari negara-negara yag ratingnya lebih rendah dari RI – sudah bagaikan “Menggali Lobang, Menutup Jurang”. Menunjukkan bahwa pengelolaan fiskal amburadul dan ugal-ugalan – walaupun dengan muka tebal tetap bela diri bahwa ‘pengelolaan fiskal hati-hati (prudent).

Itulah yang menjelaskan kenapa otoritas panik, tabrak sana-tabrak sini untuk memperbesar likwiditas: paksa BI cetak uang 350 triliun, pake Uang Haji (38,5 triliun) untuk infrastruktur, Uang Wakaf, naikkan pajak pulsa dan token dan sebagainya. 

Bukannya menghentikan semua proyek infrastrukur selama 2 tahun (seperti Krismon 1998), tapi genjot terus dari 281 triliun (2020) naik jadi 417 triliun (2021), salah satunya dengan mengurangi anggaran pandemi dari 212 triliun (2020) dikurangi jadi 169 triliun (2021). Jelas tidak ada fokus dan prioritas, terus genjot infrastruktur walaupun ekonomi rakyat sudah berantakan. Kenapa ? Karena bancakan (mark-up) proyek-proyek infrastruktur itu 10-20%. Jelaskan motifnya?

Ada perbaikan di ‘current account defisit’, karena impor anjlok lebih besar dan sedikit kenaikan ekspor.

Jika pengeluaran untuk golongan bawah terus ditingkatkan, melalui transfer langsung via perbankan, seperti yang dianjurkan RR sejak Maret 2020, bukan model Bansos, yang dikorupsi gila-gilaan oleh elit partai. Ada harapan ekonomi bisa tumbuh 2%-an tahun 2021. Tapi kalau terus tanpa fokus dan tanpa priorotas seperti selama ini, yo ambyar.