- Pemilu 2024, Antara Harapan dan Beban Masalah
- Pejabat Kemenkeu yang Terlibat Seharusnya Sudah Bisa Ditangkap, Termasuk SMI
- Samboisme, Aparat Kok Tidak Kapok-kapok
EMPAT puluh hari Rizal Ramli pergi. Tanah kuburan masih basah. Kita doakan semoga RR tenang di sana. Kerusakan demokrasi di Indonesia yang sering dikritisi Rizal Ramli semasa hidupnya kini semakin parah. Presiden Joko Widodo berkampanye dan menyatakan berpihak secara terang-terangan. Tentu setelah RR tiada.
Rizal Ramli memang lugas, tidak mengenal takut. Ketika berkunjung ke Pulau Rempang, RR menyatakan Rempang dikosongkan karena Jokowi boneka Xi Jinping. China akan membangun pangkalan militer di Rempang. Sebab itu Jokowi harus dijatuhkan sebelum Pemilu.
Masih terngiang ucapan RR yang juga diberitakan banyak Sosmed. Ngeri. Kenapa RR tidak mengenal takut. Dia yakin keberpihakannya terhadap bangsa, terutama rakyat Indonesia selama 50 tahun berkiprah, sangat kental sekali. Tidak satupun yang dia takuti. Hanya Tuhan yang dia takuti. Itu juga disampaikan manakala RR tampil sebagai narasumber di TV.
Satu hal yang saya pahami selama bersama Rizal Ramli adalah integritas yang mengagumkan. Itu sebabnya dia ditakuti, bahkan jadi ancaman penguasa. Karena tidak satupun cacat yang bisa dijadikan sandera untuk mendiamkan RR. Bahkan serangan buzzer. Tidak mempan. RR tidak akan bisa digertak atau diminta diam.
RR adalah tokoh nasional yang beda. Di Indonesia banyak tokoh dan penguasa serta mantan penguasa diam dan takut, karena terjerat kasus. Para elite politik maupun para pejabat yang sedang manggung banyak terjerat berbagai kasus.
Rizal Ramli pernah mengungkapkan “kenakalan sahabatnya” opung LBP (Luhut Binsar Pandjaitan) yang punya kebiasaan “memelihara” para petinggi Parpol dan pejabat pemerintahan/menteri yang mempunyai kasus. Dijadikan “kerbau” dicokok hidungnya, sehingga nurut. Beruntung RR tidak bisa menjadi kerbau. Beda dengan para pejabat atau mantan pejabat yang menjadi penurut, takut kasusnya diangkat.
Dalam memperingati 40 hari kepergian RR menghadap sang Khalik, saya ingin cerita tentang integritas diri RR. Belum pernah saya ungkap ke media. Hanya ke beberapa sahabat.
Dari ribuan teman RR. Saya bahagia sebagai teman yang dipercaya. Selalu diikutkan dalam pertemuan rutin dan terbatas setiap dua kali seminggu. Kadang bisa setiap minggu. Di rumahnya, di Jalan Bangka. Hanya sebelas orang. Saya satu-satunya dari luar kota Bandung. Sejak 2012. Sejak saya tidak lagi bertugas di Aceh.
RR sangat terbuka kepada sahabat tentang apa yang dialami, selalu disampaikan dalam pertemuan terbatas. Banyak hal. Sebelum saya cerita fakta. Perlu juga saya cerita tentang bagimana RR memelihara kesehatan dirinya.
Pernah beberapa tahun yang silam. Sebelum pertemuan tim dimulai, kami bersebelas diajak masuk ke kamar pribadi. Hanya melihatkan perutnya, bekas operasi. Ketika Covid, RR menyediakan tim kesehatan di rumahnya, setiap peserta rapat diperiksa. Dicolok hidung untuk swab test.
Rutin RR mendatangkan dokter, sehingga tim kecil, termasuk saya, pernah disuntik vitamin C. Dokter didatangkan ke rumah. Pernah bersama dalam satu mobil pribadinya menuju suatu tempat. Saya diberi minuman Yakult, yang disimpan di storage mobil. Sangat sehat dan terjaga.
Seba itu saya begitu terkejut mendengar kepergian Rizal Ramli. Karena belum pernah mendengar tentang penyakit yang diumumkan rumah sakit sebagai penyebab kematiannya. Selama bergaul bersama RR dan rutin ketemu, belum pernah mendengar tentang hal itu. Bisa jadi RR tidak tahu, dalam pertemuan rutin dia tidak pernah cerita. Kenapa tiba-tiba ada penyakit itu menyerang secara dadakan. RR sudah pergi, tidaklah mungkin ditanya lagi. Apakah dia tahu? Wallahualam.
Saya ingin menceritakan pengalaman yang belum pernah saya sampaikan ke media. Tahun 2009 saya ditelepon Rizal Ramli. “Fril, kamu masih di Aceh?” “Kembali dong, bantu saya. Mau mencalonkan diri jadi Presiden”. “Saya punya cara untuk mensejahterakan bangsa ini,” katanya.
Ketika itu saya minta maaf, tidak bisa, karena masih terikat kontrak kerja. Akhirnya mengikuti perkembangan dari jauh. Tim RR ketika itu dikoordinir almarhum Bram Zakir, aktivis 77-78 dari UI. Setahu saya gagal, karena beberapa Parpol kecil-kecil yang sudah mengikat janji berpindah mendukung SBY.
Tahun 2012 saya datang ke Jakarta. RR memberi tugas. Jadi ketua partai di Jawa Barat. Walaupun RR tidak ada di partai itu. Saya bantu membangun partai di Sumbar dan Aceh.
Jelang Pemilu 2014. Setelah gagal di Bawaslu, ada lima partai berperkara di PTUN. Saya diminta RR mendampingi ketua umum selama sidang marathon di PTUN. Mendekati akhir persidangan, ketua umum menyampaikan, dapat bisikan dari “seseorang” di PTUN, bisa lolos dengan Rp3 miliar. Pak Syafril dekat dengan RR, tolong sampaikan.
Pagi saya ke rumah RR di Jalan Bangka. Sedang sarapan. Saya sampaikan bisikan itu. Saya kaget, karena sahabat saya itu menggebrak meja sambil bersuara keras. “Fril, sekali kita lakukan itu, kesananya kita akan rusak. Masalah uang gampang, tapi kaki saya sudah terikat”.
Saya masih mencoba menjawab, “Lha itu kan kapal untuk berlayar”.
“Sudah!, tunggu saja keputusannya, lolos syukur," singkat RR menjawab.
Saya sarapan sembari tercekat. Parpol yang lolos di sidang PTUN untuk ikut Pemilu 2014 ada dua partai, PBB dan PKPI.
Tahun 2015, ketika Rizal Ramli menjadi Menko Maritim, dia menolak reklamasi Jakarta. Dirut Podomoro dicokok KPK. Diganti oleh Cosmas Batubara (CB), aktivis 66, mantan menteri jaman Orba. Sekarang sudah meninggal. Suatu ketika saya dihubungi seseorang via telepon yang mengaku dekat dengan CB, mau ketemu. Saya sebut saja “beliau”. Dari Jakarta “beliau” sendiri ke Bandung. Saya bertemu di resto bersama seorang teman aktivis 77-78.
Beliau merencanakan agar saya atas nama angkatan 77-78 menyelenggarakan seminar dengan keynote speaker RR dan narsumnya CB, semua biaya ditanggung. Sempat juga beliau mention aktivis 77-78 idealis. Nanti akan dibantu membangun kantor aktivis 77-78 dan kebutuhan lainnya.
Saya sempat komentar, “Kenapa CB yang aktivis angkatan 66 itu tidak ketemu langsung di kantor RR yang juga aktivis 77-78”. Menurut beliau “dalam situasi sekarang tidak memungkinkan”.
Saya lurus saja. Saya telepon RR, walaupun Menko, jika tidak rapat ataupun sedang ke istana, telepon diterima. Saya cerita singkat tentang keinginan CB. Dijawab singkat oleh RR, “No way!”. Telepon dia tutup.
Setelah itu saya bicara sesama teman yang ikut bertemu beliau. Gila ya, RR menolak. Padahal keuntungan reklamasi triliunan. Bisa untuk biaya RR jadi presiden. Itulah Rizal Ramli, integritas di atas segalanya.
Saya teringat ketika di era Gus Dur. RR memberikan pisau ke putranya untuk menikam dirinya, gara-gara putranya menyampaikan ditawari jadi salah satu komisaris.
Beda jauh dengan Joko Widodo yang dengan anteng “menggendong” putranya menjadi calon wakil presiden, walaupun melanggar etika dan melanggar undang-undang tentang nepotisme. Dan sudah diadukan masyarakat ke PTUN dan Bareskrim Polri.
Aduan dugaan korupsi putra Jokowi, Gibran dan Kaesang di KPK oleh seorang akademisi, Ubedillah Badrun, juga didiamkan KPK. KPK sudah berubah. Dulu sebagai lembaga tinggi independen, sekarang berada di bawah presiden. Pegawai KPK menjadi ASN (aparatur sipil negara). Revisi UU KPK juga dilakukan rezim Jokowi.
Saya teringat ketika tiga sahabat aktivis 77-78 mengaku ke saya, mereka dimarahi habis-habisan oleh RR saat menjadi Kabulog. Mereka mendatangi RR, membantu satu pengusaha Cina, kapal yang penuh beras impor terkatung tidak bisa sandar, agar dibantu. “Kalian butuh uang, ngomong, saya beri!, “Jangan ikut merusak rakyat!”.
Itulah Rizal Ramli, seorang tokoh nasional yang sangat disegani, di dalam dan luar negeri. Dia pergi terlalu cepat, sementara rezim oligarki dan dinasti semakin ganas.
Suara RR akan selalu nyaring, walau jasadnya bersatu dengan tanah, sebagai penjaga demokrasi yang mencintai dan dicintai rakyat.
*Pemerhati Kebijakan Publik, Aktivis Pergerakan 77-78, Sekjen APPTNI
ikuti terus update berita rmoljatim di google news
- Asa Sang Rajawali Tak akan Pernah Pupus
- UAS: Rizal Ramli Berani Ungkap Kebenaran Walau Pahit
- Rizal Ramli Pergi di Tengah Pahitnya Kehidupan Ekonomi dan Politik