Penerapan ambang batas pencalonan presiden (Presidential threshold) 20 persen hanya menguntungkan partai besar dan tidak demokratis.
- Parpol Berani Gugat PT 20 Persen Bakal Banjir Dukungan Publik
- Presidential Threshold dan Bursa Pilpres Monopolistik
- Jika Pilpres dan Pileg Digelar Serentak Mestinya Preshold Nol Persen
Pengamat Komunikasi Politik Universitas Esa Unggul Jakarta, M. Jamiluddin Ritonga mengatakan, partai besar akan semena-semena menentukan siapa yang akan diusung pada setiap pilpres.
"Masyarakat akhirnya harus menerima capres dan cawapres yang diputuskan partai besar," demikian kata Jamaludin dalam keterangannya dilansir Kantor Berita Politik RMOL, Senin (24/5).
Selain itu, partai politik gurem harus mengikuti kehendak partai besar meskipun mereka bisa jadi punya calon yang lebih baik.
"Akibatnya pasangan yang diajukan pada setiap Pilpres menjadi terbatas. Celakanya pasangan yang maju kerap kali tidak diharapkan sebagian masyarakat karena pertimbangan banyak hal," kata Jamaludin.
Dampak dari sistem itu, kata Jamaludin masyarakat harus dipaksa menerima calon presiden yang telah diputuskan oleh partai besar.
Dampak lainnya, kata Jamaludin, akan menutup peluang anak bangsa yang mumpuni menjadi Capres. Padahal, banyak stok anak bangsa di luar kader partai yang juga layak mendapatkan peluang sebagai kontestan Pilpres.
"Jadi, PT yang tinggi itu membuat proses rekrutmen calon menjadi tidak demokratis. Orang-orang yang jauh dari partai peluangnya menjadi tertutup untuk maju pada pilpres," demikian analisa Jamaludin.
ikuti terus update berita rmoljatim di google news
- MK Hapus Presidential Threshold, Jokowi Tak Bisa Kendalikan Pilpres 2029
- PT 20 Persen Dihapus Tak Jamin Oligarki Berhenti Bermain
- Politik Dinasti dan Oligarki Berakhir Usai Presidential Threshold Dihapus