Bobby, Signifikan Medan dan Partisipasi Publik: Membumikan Hak Atas Kota

Muhammad Joni/Net
Muhammad Joni/Net

Patik baru saja selesai menonton film ‘Einstain & Eddington’ (2008), untuk kali  kedua.  Film duo fisikawan berkisah fenomena  gravitasi dan perlombaan sains dalam setting perang dunia pertama yang difilmisasi apik-dramatik dan mengajak berpikir dewasa.  Beberapa jenak,  masuk pesan dari Dr.Warjio –Ketua Program Studi (Prodi) Ilmu Politik FISIP USU yang mengundang diskusi politik paruh 100 hari kepemimpinan kota Medan, untuk kali pertama.

Einstain meneliti gravitasi bumi adalah gaya tarik ke bumi, alias daya membumi, karena kausa adanya berat. Tak dalam keadaan berat, bahkan senang ala orang dewasa, tatkala saya diajak bergravitasi membumikan pikiran di helat diskusi bersama Datok Dr.Sakhyan Asmara (FISIP USU), Abu Sahrin, M.Ag. (UINSU), Dr. Dedi Sahputra (Waspada), Dr. Warjio yang tak sendirian, namun atas wibawa tinggi perguruan ternama. 

Diksi senang sengaja dipilih, sebab sudah pasti riang dan tadak benci dalam anasir diskusi. Seperti senangnya saya ketika mendengar kolega wanita Eddington berkata santun kepada fisikawan Inggris yang keren-klimis bernama lengkap Sir Arthur Stanley Eddington.  Katanya, “saya senang Inggris bersikap rasional kepada Jerman”. Padahal Arthur dimisikan kampusnya membuktikan teori Albert Einstein salah, dengan menyokong riset falsifikasi. Arthur mencari jejak jurnal pikiran Albert –yang kala itu masih langka, hanya satu diperolehnya di pustaka. 

Seperti gravitasi yang tak bisa dicegah,  hitungan 100 hari tak datang dua kali. Boleh saja ditangkis tak ada dalam  “abc-xyz” formalitas  penilaian walikota, namun presisi 100 hari itu  kua-akademis  dihela sebagai  timbangan  mencerna rentak pemimpin publik. Usah risau berlebihan menolak justifikasi evaluasi 100 hari.  Jangan menjadikan alasan  menafikan jejak langkah 100 hari adalah fakta yang: jujur, tulus dan apa adanya, selain sebagai kiprah sejarah.  Karena saya, idemditto segenap pembicara tak membawa misi falsifikasi.

Seperti narasi  kolega Arthur yang senang dan dewasa pada sikap rasional Inggris kepada Jerman,  itulah posisi gravitasi kami  dalam diskusi daring yang dihelat 9 Juni 2021 kolaborasi duo kampus negeri: Prodi Ilmu Politik FISIP USU dan Prodi Pemikiran Politik Islam FU UINSU. Helat pemikiran  kampus  pasti dan musti rasional mencerna fakta dan dewasa menghibahkan upaya solusi mengena, melibatkan sains dan bobot nalar sebagai penakar.

Bukan amunisi perang (war),  habit saya menyiapkan “bahan dapur”  demi citarasa  sajian diskusi yang dihelat “dapur” Prodi-nya Dr. Warjio –anak Bandar Klippa, Deli Serdang yang menjejak Harvard dan menyabet beasiswa SEASREP belajar politik Hanoi. Bukankah politik Indonesia subsider Medan lebih bhinneka, jamak warna, ragam etnik, bahkan  dipentaskan rumit dan kolosal, kangmas Warjio? Studi numerologi, nama "Jio" mempunyai kepribadian yang analitis, memahami, pengetahuan, senang belajar, bermeditasi, penuh kesadaran. Tak harus menjual sepeda motor menebus tiket menyeberangi Penang demi sains, bibliografi dan nalar rasional-dewasa  menjawab ini. 

Tersebab terpengaruh perlombaan sains Arthur-Albert, patik menelusuri referensi ikhwal kota: ‘Kota untuk Semua’ dari Wicaksono Sarosa, ‘Kaca Benggala – Perkembangan Habitat Manusia di Indonesia’ karya Tjuk Kuswartojo, (2019), dan ‘Medan dan “Install” Ulang Sungai Deli’,  opini saya di online Waspada (2020). Eureka, patik mendapatkan pencerahan: signifikan Medan! 

Memori saya ikhwal Medan pun terkubak pada  asrinya gedung  molek Balaikota, pohon trembesi –tegar, besar dan tegak sabar—yang oksigennya meneduhi situs Lapangan Merdeka --yang berlomba eksis dengan bangunan kedai-kedai makanan  bernama, bermerek mondial, dan padat modal. Terbayang eksotika seni arsitektur  lama  Kesawan dan rumah (museum) Tjong A Fie, taman/tugu Lily Suhery dengan dagunya melekat ke biola, bagaimana ceritanya?

Mengapa soal itu ditanya? Sebab, di belahan dunia manapu dibangun kota,  warga memerlukan taman dan ruang terbuka hijau (idealnya 30%);   tak hanya dapur dan kedai.  Karena warga kota tak hanya punya  perut dan mulut,  namun menghidupi dan mendewasakan jiwa warga dengan sekolah dan madrasah, dengan akademi dan universitas, dengan mereguk  kebudayaan subsider kesenian. Sebab itu, Medan tak hanya melulu membanggakan kuliner dan “kitchen”-nya tumpuan Asia,  namun kota metropolitan yang layak dihuni, bernilai guna setiap lekuknya, memberdayakan warga, dan mencerahkan adab tabiat berkota, ruang publik apik dan resik, dan bebas asap rokok. Ini sekerat sumbangsih mendefenisikan kota berkah Medan sinonim Deli.

Genahi Sungai Deli

Tersebab  sungai Deli sudah menjadi ciri dan takdir kota Medan, sama seperti kota-kota  terpandang di penjuru dunia.  Seperti sungai Thames --menawan hati dengan  menara Great Bell-- yang melewati  London sampai ke laut. Sungai Rhein di Koln –yang bantarannya menyediakan laluan  pejalan kaki, pengowes  sepeda, juga atraksi berkesenian. Pun demikian sungai Malaka yang menyajikan  Malaka Cruise, mereka  membentuk  Perbadanan Sungai dan Pulau Malaka (PPSM), Majelis Bandara Malaka Bersejarah (MBMB) dan melibatkan partisipasi warga dengan Program ‘Cintai-lah Sungai Kita’ (Love Our River). Saya dan rombongan The HUD Institute (2017) tertegun  mendengar ujaran Datuk Zainal bin Hussein (datuk Bandar Malaka)  dan Nazary Ahmad (Ketua Pegawai Eksekutif PPSM) –yang terkesan kenyang pengalaman.

Bagaimana dengan  kota Medan yang tak kikis historis dengan sungai Deli?  

Masihkah berbakti dan molek sungai Deli?  Mengapakah laluan airnya mengecil, keruh, dan  diwartakan acap  meluapkan banjir? Benarkah sungai dilingkungi bangunan bendawi sampai ke sempadan mendekati, kala ditengok dari balik tingkap hotel bermerek menjulang? Karena pentingnya  sungai Deli bagi takdir Medan, maka patut  falsifikasi  frasa lama milik saya sendiri dari ‘Tak  mungkin Medan tanpa Kesawan’ menjadi ‘Tak mungkin Medan tanpa Sungai Deli’.

Majelis pembaca, untuk menjaga dan  merawat  nama-nama situs di Medan itu memiliki titik sintuh dengan urusan pemerintah kota (Pemkot) –jika  merujuk lampiran urusan pemerintah kota versi UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan daerah (UU Pemda). Walau patut disadari, jamak  hambatan dan keterbatasan yuridis-formal ikhwal urusan pemerintahan konkuren UU Pemda efektif menjawab tantangan praksis-lapangan. 

Sebelum tergoda  murni menalar dengan yuridis formal UU Pemda dan tidak  terlanjur  rabun jauh sejarah, mari menoleh Medan dari latar sejarahnya. Kota Medan  tak lepas dari disain kota metropolitan semenjak  sebelum Indonesia merdeka.  Medan dirancang menjadi  kota moderen dari kapitalisasi-industrialisasi perkebunan era kolonial Belanda yang mengucurkan padat modal. Membina bayi metropolitan, pasti ada dokumen rancangan dan instrumen teknis membangunnya. 

Seperti mazhab hermeneutika dalam hukum, agaknya menata lagi inci demi inci kota Medan patut merujuk dokumen rancangan kota ori dan otentik  yang disiapkan sang ahli penata kota tatkala pertama kali dibangun –yang diinvestasi dan dimodali-- demi deru mesin ekonomi kota. Pun setarikan nafas menjaga lestari dan aseli sungai Deli?  Akankah ada  rancangan kota baru yang ditakar mahal, namun land value capture-nya tak dikapitalisasi? Tak dimanfaatkan menjadi rizki cq.ekonomi kota lebih berkah pun bernilaiguna? 

Adakah diketahui dan dimanakah dokumen itu berada, untuk membuktikan prognosa maksud  dibangunnya kota?

Bukan Polis (negara kota)  era Yunani kuno, Medan adalah unit pemerintahan yang tunduk  rezim UU Pemda. Pemko  Medan tak bisa menyimpang dari Urusan Pemerintahan Konkuren (sebut saja “UPK”) yang bersifat wajib dan pilihan. Termasuk UPK berkaitan Pelayanan Dasar –yang melekat  pada  semua pemerintah daerah--  yang diatur  Pasal 12 ayat (1)  huruf a sampai f. 

Begitu pula  UPK  atas perumahan rakyat dan kawasan permukiman (huruf d), yang ajaibnya Lampiran D Angka 1 UU Pemda --yang berisi matriks Urusan Pemerintahan bidang Perumahan dan Kawasan Permukiman--  menihilkan urusan perumahan MBR (masyarakat berpenghasilan rendah) sebagai urusan konkuren provinsi dan kabupaten/kota. Saya sedikit menyoal inkonsistensi hukum ini dalam diskusi. 

Jangan kira kota hanya kemegahan dan kucuran anggaran. Banyak beban kota melingkupinya. Mulai beban  kelembagaan  karena kota sebagai organisasi berwewenang dengan urusan yang didelegasikan UU Pemda yang acap bersilang dengan aturan yang digelontorkan  segenap sektor.  Walau, penting diteliti propinsi dan kabupaten/kota  konon lebih mematuhi UU Pemda dan garis kebijakan kementerian dalam negeri  daripada beleids regel yang sektoral walau bertitel Peraturan Menteri sekalipun? Cocok Dr. Warjio yang analitis dan berkesadaran? 

Pun tak terbantahkan beban urbanisasi, yang kentara sebagai patologi sosial.  Alih-alih berperan,  urbanisasi di negeri ini  kurang produktif jika dibandingkan negara jiran. Juga, indeks kota berkelanjutan masih rendah. Untuk kota metropolitan  indeksnya 51,89%,  kota besar (53,40%), kota sedang (47,52%), kota kecil (42,29%). 

Berkaca benggala dari beban-beban kota, maka ikhtiar membangun kota Medan tak  hanya  mengandalkan Pemko sendirian. Dalam narasi  kontras,  agaknya –dengan beban kota yang menyergap-- takkan tuntas beban laten kota manapun, andai  hanya bertumpu  visi dan misi dari kontestasi Pilkada belaka. Namun inovasi  kebijakan dan tindakan out of the big boxes bersama dengan pemerintah propinsi dan terlebih lagi pemerintah pusat. Dengan kerangka hukum dan cara kerja birokrasi yang bertumpu pada kaidah ushul fiqih: ‘dalam muamalah kerjakan  apa yang tak dilarang, bukan kerjakan apa yang ada aturan’.

Postulat opini ini, membangun kota Medan –yang kota penting dan strategis di nusantara— absah dan rasional  di-juncto-kan dengan urusan membangun Indonesia Emas 2045 yang  berkeadilan. Tentu dengan partisipasi publik dalam  kaidah  hukum yang dapat dipertanggungjawabkan. 

Terlebih berbekal mandat politik yang digenggam  Bobby Nasution dan Aulia Rahman, maka penting bersikap rasional menemukan dan mengasah anasir signifikan Bobby. Menjadi signifikan Medan. Yang bisa mencuat dan mengkilap karena rajin  membuka lebar keran diskursus publik, yang tak hanya dari warga kota semata,  juga diaspora anak Medan sedunia.

Dalam hal  mengatasi keterbatasan kewenangan Pemko perihal UPK versi UU Pemda, perlu racikan signifikan Medan yang menerobos soal struktural  ikhwal sungai Deli, misalnya. Mengapa? Karena UPK pengelolaan wilayah sungai strategis nasional, kuat melekat dan berhulu ke Jakarta cq. Menteri PUPR. Masih ingat tatkala banjir  akibat luapan debit air  sungai Deli yang  melanda kawasan Tanjung Selamat, Medan (Desember 2020),  Menteri PUPR Basuki Hadimoeljono langsung turun kaki  ke lokasi, dan gerak cepat (gercep) membuat pernyataan  media menuntaskan  banjir dalam 3 pekan  dengan membuat ground shield (Kompas, 7/12/2020).

Apa terobos signifikan tatkala nanti Menteri Basuki mendatangi bantaran sungai Deli bersama  Walikota Bobby?  Mari  membayangkan Menteri Basuki gercep dan  membuat pernyataan jernih  ikhwal keruh sungai Deli kekira berbunyi begini: “Medan berkah yang berseri, genahi sungai Deli kita mulai”.

Publik patut berharap, ada yang berlomba rasional dan dewasa menggali dan mengelola  modalitas signifikan Bobby --yang menantu Presiden Jokowi. Seperti Arthur menggali dan akhirnya membenarkan teori gravitasi Albert, yang semula dimisikan falsifikasi Einstein, dan lebih dari itu bersiap menertawakan Jerman.

Kalau bisa memenangi kontestasi politik –yang rumit dan kolosal-- mengapa tidak berlomba mengasah signifikan Medan?  Yang dikelola  inovatif dan kreatif. Di tengah gelutnya belantara beban kota dan cadasnya hambatan yuridis-formal berbagai kekurangan UPK versi UU Pemda, yang digenapi dengan belum adanya aturan UU Perkotaan.

Signal itu bisa digaspol dan gercep dengan partisipasi publik dan dibimbing kepakaran akademikus kampus. Kapasitas  pakar  sekelas Sakhyan Asmara maupun Warjio misalnya, bisa seperti duo Albert dan Arthur –yang didayagunakan untuk perlombaan langkah rasional  merentak jurus signifikan Medan. Tendensi menyebut dua nama itu  hanya tamsil belaka --yang tidak bermaksud tendensius--  namun memasukkan arti penting  partisipasi publik, membuka ruang publik dan memerankan civil society  dalam kebijakan pembangunan kota Medan; itu juga anasir signifikan.

Epilog opini ini, kota bukan kedai. Kota milik bersama. Kita berhak atas kota (rights to the city), bukan yang ber-hak tinggi saja. Tabik.

Advokat di Jakarta,  Sekretaris The Housing and Urban Development (HUD) Institute, Wakil Ketua Badan Advokasi Konsumen DPP Realestat Indonesia