Wabup Malang Tunggu Hasil APIP, Soal Dugaan Pemotongan BPNT di Desa Selorejo

Wakil Bupati Malang, Didik Gatot Subroto/RMOLJatim
Wakil Bupati Malang, Didik Gatot Subroto/RMOLJatim

Wakil Bupati Malang, Didik Gatot Subroto menunggu hasil dari Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP), yaitu Inspektorat terkait adanya dugaan pemotongan Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) di Desa Selorejo, Kecamatan Dau, karena adanya instruksi dan pengkondisian oleh Aparat Desa agar mengumpulkan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS).


Bahkan warga diminta menulis PIN pada bagian putih KKS, seperti yang dirilis Malang Coruption Watch (MCW)

"Mengenai keterkaitan soal dugaan pemotongan BPNT, saya yakin APIP, dalam ini Inspektorat memiliki kewenangan mengambil langkah-langkah seperti pemanggilan hingga pemeriksaan. Kalau memang disana masuk dalam kategori pelanggaran. Pelanggarannya seperti apa? Masuk dalam konteks pembinaan ya dilakukan pembinaan. Apabila tidak, nanti Inspektorat yang berkewenangan menyampaikan ke Aparat Penegak Hukum (APH). Mangkanya ini kan masih berproses, saya belum tahu secara khusus," ungkap Didik. Rabu (23/06) di salah satu hotel Kota Malang.

Masih kata Didik, bentuk tranparansi penyaluran BPNT  sudah kesesuain data tentang nama dan alamat ( by name, by address) dari pusat. Sehingga tidak boleh ada intervensi.

"Misalkan ada masyarakat yang akan dapat BPNT, trus saya datangi ke rumahnya, lalu saya bilang akan membantunya, namun bantuannya akan dipotong, itu tidak boleh. Maka dari itu, jika ada pengakuan seperti ini, perlu ada pembuktian," tandasnya.

Selain itu, Didik juga mengatakan, banyak kendala yang terjadi dilapangan terkait penyaluran bantuan.Terkadang jumlah data calon penerima bantuan dan penerima yang tercatat tidak berimbang.

Sehingga hal itu membuat pihak Desa mencari pola, supaya semua dapat terakomodir.

"Misalkan ada masyarakat yang berhak menerima bantuan, kemudian secara administrasi tidak punya KTP atau ketika waktu pendataan tidak terjangkau, dan membuat mereka tidak dapat bantuan. Akhirnya, pihak desa mencari pola. Yang tadinya terdaftar cuma 10 orang, ternyata yang berhak ada15 orang. Secara adminitrasi hukum tidak boleh. Namun biasanya dibuatkan kesepakatan bersama, yang terpenting itu benar-benar diwujudkan dan dibarengi payung hukum yang jelas melalui peraturan desa. Nah apakah itu sudah dilakukan atau tidak, hal ini yang perlu diluruskan," pungkasnya.