PPKM Darurat Bisa Digugat

Ilustrasi /ist
Ilustrasi /ist

MASYARAKAT dapat melakukan gugatan ke Pengadilan atas peraturan, keputusan dan tindakan materiil pemerintah terkait PSBB hingga PPKM Darurat dalam pengendalian Covid-19, sepanjang adanya kerugian yang dialami.

Pertama, warga yang merasa dirugikan dalam PSBB bisa menggugat melalui PTUN atas Kepres No. 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Covid-19 dan Kepres No. 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non Alam Penyebaran Covid-19 Sebagai Bencana Nasional dan Instruksi Menteri Dalam Negeri No.15 Tahun 2021 tentang Pemberlakuan PPKM Darurat Jawa-Bali (ketentuan pasal 53 ayat (1) UU PTUN). 

Kedua, warga juga bisa menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menguji dua undang-undang yang jadikan dasar Pemerintah dalam membuat keputusan PSBB maupun PPKM Darurat. Yakni, UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan dan UU No.24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Gugatan ini dilakukan untuk menguji apakah kedua UU tersebut bertentangan dengan UUD 1945 (ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK).  

Gugatan tersebut tidak bisa dilepaskan dari paham ajaran negara hukum, baik yang dikenal dalam paham rule of law atau rechtstaats. 

Ajaran negara hukum tersebut pada dasarnya mendasari pembatasan kekuasaan organ negara, yang memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat melalui konsep hak asasi manusia, administrative justice dengan tujuan menghendaki pembatasan kekuasaan negara (limitation of state power) atau pembatasan kekuasaan pemerintahan (limited government).

Peran hukum perdata sendiri sebagai sarana kontrol yuridis bagi pemerintah sebenarnya akan bergeser dan berangsur-angsur menepi apabila paham konstitusionalisme yang dikonkritkan dalam rezim hukum administrasi berkembang secara mapan dan signifikan dalam sistem hukum suatu negara, administrative law is concretized of constitutional law.

Dibandingkan dengan hukum perdata, hukum administrasi memiliki objek yang lebih spesifik, yakni fokus kepada kekuasaan pemerintahan, khususnya menyangkut relasi antara pemerintah dengan warga masyarakat (publiekrechtelijking), bukan privaatrechtelijke rechtbetreking antara pemerintah dengan warga masyarakat. Namun di Indonesia,warisan hukum perdata masih membayang-bayangi hukum administrasi. 

Kehadiran UU Administrasi Pemerintahan membawa implikasi perluasan kompetensi absolut PTUN. Implikasi perluasan kewenangan tersebut menimbulkan beragam penafsiran menyangkut perubahan ruang lingkup kompetensi absolut, sebagian pihak  berpendapat bahwa kini hakim perdata tidak berwenang lagi mengadili perbuatan melawan hukum pemerintah, karena kini kewenangan Peratun termasuk mengadili OOD sebagaimana dimaksud oleh SEMA No. 4/2016. 

Namun pihak lain menilai bahwa kehadiran UUAP tidak dengan sendirinya menghapuskan kewenangan hakim perdata mengadili OOD, dengan alasan pengertian tindakan faktual dalam UUAP hanya merupakan spesies dari genus perbuatan OOD, disamping perbedaan alat uji OOD yang selama ini mengacu kepada yurisprudensi OOD sedangkan alat uji keabsahan tindakan faktual adalah peraturan perundang-undangan dan AAUPB.

Menurut saya, ketentuan pasal 27 ayat (2) UU 2/2020 tentang penanganan Covid-19 telah menyalahi prinsip negara hukum, karena suatu negara dikatakan sebagai negara hukum apabila supremasi hukum (ketentuan pasal 1 ayat (3) UUD 1945) sebagai landasan penyelenggaraan negara dijalankan tidak hanya sebatas hukum yang dibuat, namun  sebagaimana hukum tersebut dilaksanakan dengan baik.

Jika digabungkan dengan unsur selanjutnya, kalimat “tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” menjadi kalimat yang krusial karena pada kalimat tersebut terdapat unsur yang menjadikan pasal itu menjadi pasal yang superbody karena memberikan imunitas kepada pejabat pemerintahan yang bersangkutan untuk tidak bisa dimintai pertanggungjawaban atau dikoreksi melalui lembaga peradilan. 

Sehingga ketentuan dalam pasal 27 ayat (2) UU No 2/2020 (selanjutnya disebut UU Penangan Covid-19 juga bertentangan dengan prinsip equality before the law atau kesamaan hukum (ketentuan Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945).

Unsur iktikad baik pada pasal ini dianggap menyerahkan penilaian terhadap ada tidaknya penyelewengan kekuasaan yang menibulkan kerugian pada keuangan negara secara subyektif penuh kepada penyelengara pemerintahan. Artinya tidak ada kejelasan makna unsur “iktikad baik” atau unsur ini merupakan sebuah norma kabur. 

Bila dikemudian hari ditemukan kasus penyelewengan kekuasaan terhadap keuangan negara dalam penanganan pandemi Covid-19 akan sangat sulit untuk membuktikan unsur pasal tersebut karena sebelum digunakan suatu pasal mestinya sudah memiliki penafsiran atau interpretasi yang jelas. Sehingga perlu  adanya interpretasi yang jelas terhadap makna unsur iktikad baik dan bagaimana tolak ukur dari interpretasi unsur iktikad baik dalam pasal 27 ayat 2 (dua) UU Penanganan Covid-19.

Berdasarkan penjelasan di atas, untuk menganalisa ketentuan Pasal 27 Ayat 2 UU Penanganan Covid-19 digunakan pendekatan interpretasi historis dan interpretasi sosiologis/teleologis. Interpretasi historis dari unsur iktikad baik dengan memperhatikan maksud-maksud yang disampaikan oleh pemerintah pada saat perancangan dan penetapan UU Penanganan Covid-19 ini adalah mengandung arti segala tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang dalam undang-undang ini harus dijalankan berdasarkan tata kelola yang baik. 

Dan secara sosiologis iktikad baiik dalam undang-undang ini berarti segala perbuatan yang sesuai dengen tujuan undang-undang ini ditetapkan yaitu menunjang stabilitas dalam sektor keuangan. Stabilitas sektor keuangan merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan ini dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, yang harus dijalankan berdasarkan tata kelola yang baik dan bertujuan untuk menunjang stabilitas sektor keuangan.

Wartawan Kantor Berita RMOLJatim