Distorsi Kognitif Bisa Hambat Upaya Penurunan Covid-19

Ilustrasi/Net
Ilustrasi/Net

Pemberitaan mengenai tingginya kasus positif Covid-19 dan tingkat kematian akibatnya akhir-akhir ini juga dibarengi dengan munculnya berita yang menyebutkan masih adanya kelompok orang atau golongan yang tidak menerima dan tidak percaya terhadap Covid-19. 

Pada kelompok orang ini, karena tidak percaya adanya covid kemudian menampilkan perilaku yang kontra produktif. Sebagian dari mereka juga secara aktif menyampaikan ketidak percayaannya baik melalui media sosial atau tidak dengan menyampaikan informasi yang berkebalikan dari informasi yang sebenarnya atau juga dengan memanfaatkan berita atau kasus terkait Covid-19 secara tidak berimbang, seperti melakukan vaksin corona dapat menyebabkan kematian, data jumlah pasien Covid-19 di rekayasa, termasuk data kematian akibat Covid-19.

Kepercayaan yang keliru dan pemahaman yang salah terhadap segala informasi mengenai covid ini bertentangan dengan kondisi yang senyatanya. Hal ini menunjukkan adanya kesalahan dalam berpikir atau proses berpikir yang irasional dan tidak realistis karena tidak berdasar dengan menganggap pikiran dan pendapatnya yang benar. Sedangkan pemikiran orang lain yang bertentangan dengan pemikirannya dianggap keliru dan salah. 

Dalam ilmu psikologi, kesalahan berpikir ini disebut dengan distorsi kognitif atau cognitive distortion. Distorsi kognitif adalah proses kognisi yang menghasilkan pemikiran negatif yang tidak memiliki penjelasan atau dasar konseptual tetapi menghasilkan perasaan negatif dalam pikiran dan tubuh individu. Distorsi kognitif biasanya muncul dengan penyimpangan kenyataan karena menciptakan pandangan yang tidak realistis tentang persepsi atau suatu pandangan. 

Oleh karena itu orang dengan distorsi kognitif tidak dapat melihat gambaran sebenarnya dari realitas. Distorsi kognitif juga digambarkan dengan proses kognisi yang logis tapi irasional, menyajikan pandangan realitas yang tidak realistis, maladaptif karena menyebabkan suasana hati yang negatif, menghambat pemikiran produktif tentang situasi dan memperkuat yang mendasari keyakinan irasional.

Pada konteks situasi pendemi saat ini, orang dengan distorsi kognitif dapat menjadi berbahaya jika dibiarkan, dan menghambat upaya pemerintah untuk menurunkan tingkat penderita covid-19. Mereka yang meyakini bahwa virus corona itu tidak ada akan menampilkan perilaku tidak mau mengenakan masker, tetap bergerombol, mengabaikan jarak sosial yang dianjurkan, atau tidak mau melakukan vaksin sehingga berpotensi meningkatkan jumlah kasus dan penderita Covid-19. Selain itu efek yang ditimbulkan bisa seperti bola salju sehingga memunculkan kecemasan dan kebingungan di masyarakat.

Bentuk lain dari adanya distorsi kognisi adalah ketika individu langsung melakukan penyimpulan terhadap suatu kondisi atau peristiwa tanpa mencari data pendukung atau disebut juga jumping to conclusions. Contohnya ketika pemerintah memberlakukan PPKM kemudian menganggap bahwa tindakan pemerintah tersebut sebagai bentuk ketidak berpihakan pemerintah kepada rakyat karena membatasi pergerakan dan perekonomian. Membandingkan secara tidak berimbang atau unfair comparisons juga menjadi salah satu bentuk distorsi kognitif.

Contohnya melakukan perbandingan dengan kondisi luar negeri, bahwa di luar negeri sudah tidak memakai masker, dan menyatakan bahwa virus corona sudah tidak ada. Membuat keputusan yang hanya didasarkan pada emosi atau emotional reasoning juga menunjukkan adanya distorsi kognitif. Contohnya memutuskan tidak melakukan protokol kesehatan karena beranggapan bahwa kalau sakit atau meninggal itu bukan karena virus corona tapi karena memang sudah waktunya.

Melakukan generalisasi yang berlebihan atau overgeneralization juga merupakan bentuk distorsi kognitif. Contohnya saat ada satu kasus kematian setelah di vaksin, kemudian menyimpulkan bahwa semua kematian setelah di vaksin disebabkan oleh vaksin corona.

Distorsi kognitif ini dapat terjadi ketika individu menggunakan atau memanfaatkan informasi dengan sumber data yang tidak tepat sebagai dasar dalam melakukan analisa situasi. Hal ini bisa disebabkan karena informasi yang tersebar, isinya tidak dapat dipertanggung jawabkan, tidak ilmiah, atau tidak jelas dasarnya, dan disampaikan oleh orang yang bukan ahlinya pada konteks yang dibahas. Oleh karena itu penting bagi masyarakat memastikan keabsahan suatu sumber berita ketika akan menanggapi suatu situasi, peristiwa, atau persoalan. 

Pastikan bahwa pihak yang menyampaikan informasi berita adalah orang yang ahli dibidangnya dan informasi yang disampaikan juga didukung oleh data ilmiah yang dapat dipertanggung jawabkan. Selain itu jangan langsung percaya dengan informasi yang diberikan oleh satu sumber data saja. Penting juga untuk melakukan cross check atau double check kepada sumber data yang lain agar informasi yang diperoleh menjadi lebih komprehensif.

Penulis adalah pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya