Kejahatan dan Modus Playing Victim, Sang Pelaku Menyamar Korban

Moh Hasan/RMOLJatim
Moh Hasan/RMOLJatim

KETIKA butiran-butiran air mulai jatuh dari balik tirai hitam langit, malam itu kita memulai perjalanan. Kami, empat penumpang menuju jalan pulang Malang-Bangkalan. Sedan tua dengan spek mesin diremajakan, yang kami tumpangi disopiri seorang teman wanita. Ledakan suara mesin yang ruas mendominasi keheningan malam seolah menjadi lagu yang membangunkan hati dan pikiran kami.

Terpesona dengan kecepatan yang menggurita, sebuah menit berikutnya, warna-warna kota mulai merahasiakan dirinya dari pandangan kami. Sebentar lagi hingga kami benar-benar ditelan oleh kegelapan dan hanya sinar lampu jalanan dan sorot lampu mobil yang menjadi pemandangan kami.

Agaknya, kecepatan yang dia punya dalam mengemudikan mobil adalah sesuatu yang menakutkan bagi saya. Saya belum pernah naik kendaraan yang larinya sekencang maling diburu massa. Sudah kebiasaan saya berkendara hanya dengan kecepatan 50km/jam, itu telah membentuk lapisan ketakutan dalam diri saya.

Dari dalam mobil di jok depan sebalah sopir. Mata saya terbuka lebar, memandangi pemandangan jalan yang cepat berlalu di depan saya. Kekacauan dalam pikiran dan perasaan saya yang merasuki, sehingga saya terhenti dalam kenikmatan pengucapan doa-doa untuk keselamatan kami.

Sesi debat yang belangsung dalam teras hati saya, dengan kecepatan kita bergerak membuat saya merasa seperti seorang peziarah ke tanah suci Mekah. Sepanjang perjalanan itu, doa memenuhi hati saya yang merasa terjaga dalam pengawasan dengan hati yang penuh harap.

Sepasang makhluk manusia yang ada di kursi bagian belakang, telah terlelap dalam mimpi mereka, suami-isteri itu terhanyut dalam bantal lembut dan nyenyak dari tidur. Sedangkan saya meski dipancing oleh kerinduan yang mendalam untuk tidur, tapi kegelisahan mengendalikan diri saya. Keputusan saya untuk tetap terjaga menjadi teman si pengemudi dalam rentang perjalanan malam itu.

Mendengarkan galau hatinya, cerita tentang perjuangan dan sakit hatinya yang membuat saya merasa sedikit bersalah karena sudah luluh lantak dengan perasaan hampa. Dia bercerita tentang bagaimana dia merasa tertipu oleh temannya sendiri dalam urusan bisnisnya, pola pikir 'playing victim' oleh mitra bisnisnya telah merusak gaung dari reputasinya dan merusak integritas bisnis dan keuangan.

Malam itu, ketika kehidupan menyajikan berbagai dimensi dari kenyataan, perjalanan kami bukan hanya sebatas perjalanan fisik, tapi juga sebuah penjelajahan pikiran dan emosi, sebuah menuju pengertian yang mendalam tentang kehidupan. Itu adalah perjalanan yang pencapaiannya jauh dari garis akhir perjalanan itu sendiri.

Ketika ramuan kata-kata 'playing victim' mengendap-endap masuk telingaku yang masih asing tentang istilah itu. Rasa penasaranku sedikit semakin bersemangat. Dengan cepat, jemariku bermain di atas layar hp, mencari informasi lewat mesin search.

Setelah semua sudut pikiranku terang benderang dengan pemahamanku seputar karakteristik playing victim, aku memahami kenapa temanku yang berkulit eksotis itu tampak frustrasi dan kesal. Dalam situasi seperti itu, siapapun juga pasti akan kebingungan.

Bertemu dengan orang yang bertindak seperti korban, meski nyatanya dirinya lah penyebab dari situasi buruk yang terjadi, tentu saja bikin frustrasi dan kebingungan. Aneh memang, keberadaan 'playing victim' di hidup kita, yakni mereka yang merasa jadi korban, tapi kenyataannya merekalah yang mulai menciptakan kekacauan. Ini mirip dengan gambaran yang disinggung oleh sahabatku tadi.

Peran yang dimainkan oleh seorang 'playing victim' tidak mudah dipahami. Seolah-olah mereka mendapatkan kepuasan saat orang lain melihatnya sebagai orang yang lemah, bagaikan korban serangkaian kejahatan atau konflik yang dia sendiri lakukan. Sebagai hasil dari pengalaman atau manipulasi dari pihak ketiga, mereka memainkan cerita mereka dengan harapan memenangkan simpati dan perhatian orang lain.

Orang-orang dengan mentalitas korban, yang selalu merasa menjadi korban dan memanipulasi orang lain agar mempercayai dirinya, justru merusak hubungan antar manusia. Cenderung menciptakan kerancuan, ia menyalahkan orang lain atas kesalahan yang seharusnya ia tanggung sendiri.

Makhluk dari spesies ini cenderung manipulatif biasanya membalik cerita, tak segan menunjuk orang lain yang sebenarnya adalah korban, ditudingnya sebagai sumber masalah dalam situasi yang terjadi. Biasanya, saat orang bermental playing victim terjebak dalam kesalahan mereka sendiri, mereka akan berkelit dengan mengatakan, "Aku begini, ya ulah kamu juga."

Mereka dengan peran ini, baik dalam kisah asmara, keluarga, atau pertemanan, biasanya berakhir dalam hubungan toksik. Dengan selalu merasa menjadi "korban", orang yang suka memainkan korban bisa menuntut perhatian berlebihan dan membuat orang lain bersalah. Hal ini jelas akan menimbulkan kesalahpahaman dan stres bagi semua yang terlibat.

Memainkan korban berarti bertindak seolah merasa menjadi korban sebagai mekanisme bertahan, sembari membuat orang yang benar-benar menjadi korban merasa bersalah. Memainkan korban ini memang sering terjadi dalam berbagai jenis hubungan, mulai dari pertemanan, asmara, pekerjaan, hingga pernikahan. 

Ada banyak alasan mengapa seseorang bersikap seperti korban, bisa saja ingin melindungi diri sendiri agar luput dari sebuah sanksi, tidak mau disalahkan, dan tidak bertanggung jawab atas kesalahan yang mereka lakukan. 

Playing Victim yang memiliki nama ilmiah Victim Mentality Syndrome atau disingkat VMS , menurut Public Library of Science, terjadi ketika seseorang menyalahkan orang lain, meski sebenarnya ia lah yang membuat kesalahan. Biasanya dilakukan oleh mereka yang enggan bertanggung jawab atas kesalahan yang mereka lakukan dan sebaliknya menyalahkan orang lain.

Pada kondisi seperti ini, pelakunya merasa dikecam dan tidak mendapatkan perlakuan yang layak, mendapatkan hak mereka yang sepatutnya. Singkatnya, bermain korban adalah cara untuk menghindari bertanggung jawab atas masalah yang mereka buat sendiri namun dengan sengaja menuduh orang lain sebagai penyebab.

Selama perjalanan membelah keheningan malam Malang-Bangkalan, setelah membaca beberapa artikel dari berbagai portal, saya sadar bahwa saya bukan hanya penonton dalam drama kehidupan ini. Ternyata, saya juga pernah menjadi korban dari seseorang yang begitu kucintai, seseorang yang kujadikan sandaran hati, hanya untuk kemudian memahami bahwa ia juga bermain dua sisi.

Dia bukan yang kukira dulu. Sebuah pengalaman pahit, sebuah luka yang begitu mendalam dari seseorang yang memainkan 'playing victim'. Di balik nyeri itu saya memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Bergulir maju, tanpa memberikan diriku alasan untuk berhenti dan melihat ke belakang.

Kendati tak ada cara yang ajaib untuk menghadapi orang yang senang memainkan peran sebagai korban. Namun, yang pasti, menurut catatan sejumlah artikel yang sudah saya baca, diasarankan saat berhadapan dengan orang macam ini,  lebih baik untuk menjaga ketenangan dan tidak terjebak dalam skenario yang ia buat.

Cukup dengarkan dan jangan terbawa emosi. Sebab, kebanyakan para pelaku VMS memiliki sikap “tidak mau mendengarkan orang lain” dan mereka  hanya perlu didengarkan tanpa harus berdebat. Namun perlu diingat untuk jadi pendengar yang baik kita menempatkan diri sewajarnya, jangan sampai terpapar sifat buruknya. Jangan biarkan orang ini terus-terusan melancarkan modus operandinya. Sesekali nasehati bahwa perbuatannya salah.

Seiring perjalanan pulang, teman wanita sambil memegang setir, dia terus bercerita pengalaman pahitnyan. Suasana malam yang lirih tampak seperti bingkai sempurna bagi berkilauan dalam matanya. Dilapisi suhu malam yang dingin, suaranya merdu seperti ombak yang mengalir di tepi pantai, mengisi dadaku dengan kekaguman. Sepasang mataku juga terpaku pada sosoknya, paras manisnya yang begitu mempesona seolah-olah terbentuk dari madu yang paling murni.

Kecantikan yang mengisi setiap jengkal dari citra yang kusembunyikan di hatiku, ibarat gambaran yang begitu manis dan menenangkan hingga menjadikan perjalanan ini semakin terasa menakjubkan. Dalam perjalanan ini, gema kenangan pilu dan keindahan yang saya saksikan sekarang, saling bertaut membentuk sebuah cerita yang akan saya ingat sampai jauh di hari mendatang.

*Penulis wartawan Kantor Berita RMOLJatim.