Menteri Nadiem Tutup Kampus ITM Akibat Adanya Konflik Pengurus Yayasan

 Diskusi Hukum Mahasiswa dan Alumni ITM atas pencabutan izin operasional kampus mereka/RMOLSumut
Diskusi Hukum Mahasiswa dan Alumni ITM atas pencabutan izin operasional kampus mereka/RMOLSumut

Menteri Nadiem Makarim menutup Institut Teknologi Medan (ITM) akibat adanya konflik kepengurusan Yayasan Dwi Warna yang menaunginya. Penutupan kampus ITM memunculkan reaksi dari kalangan mahasiswa dan para alumni.


Dilansir dari Kantor Berita RMOLSumsel, Selasa (12/20). Salah satu cara mereka menyikapinya yakni dengan menggelar diskusi hukum yang dihadiri oleh para mahasiswa dan alumni dari perguruan tinggi yang terletak di Jalan Gedung Arca, Medan Kota tersebut pada Senin (11/10).

Diskusi ini menghadirkan beberapa pembicara seperti Sekjen Perhimpunan Alumni ITM Gomgom J Sihombing, dan beberapa praktisi hukum seperti Julheri Sinaga dan Harizal.

"Kita ingin merespon persoalan ITM, kami alumni yang peduli dengan keadaan ini memfasilitasi para mahasiswa untuk memperkaya wawasan tentang opini hukum atas penutupan ITM tersebut," kata Gomgom Sihombing kepada wartawan.

Gomgom yang kini juga menjabat Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Nasional Bintang Muda Indonesia (DPN BMI) ini menjelaskan, bahwa kalangan mahasiswa ITM sangat perlu dibekali oleh pengetahuan mengenai pandangan hukum atas peristiwa yang terjadi. 

"Dengan memperkaya pandangan hukum yang dapat mereka tempuh atas persoalan ini maka tentu akan memudahkan jika mereka ingin mengambil langkah hukum atas persoalan yang terjadi," ungkapnya.

Salah seorang mahasiswa ITM, Agung Pandiangan saat memberikan pandangan dalam Diskusi Hukum Mahasiswa dan Alumni ITM di Hotel Grand Antares itu menyebut penutupan ini juga tak terlepas dari tuntutan mahasiswa yang dianggap sebagai blunder. 

"Saya kira ini tidak terlepas dari andil mahasiswa yang menginginkan ITM ditutup. Blundernya terjadi saat mendatangi dikti dan meminta agar ini ditutup," katanya.

Atas kondisi ini, menurutnya saat ini yang harus dipikirkan adalah bukan mempertahankan kembali kampus yang terletak di Jalan Gedung Arca, Medan tersebut. Namun langkah-langkah untuk menyelamatkan mahasiswa agar dapat menamatkan perkuliahan termasuk dengan opsi pindah kuliah.

"Saya tidak sepakat terhadap alumni yang menginginkan ITM tetap dipertahankan, saya justru lebih berfikir agar alumni memfasilitasi pemindahan mahasiswa," ungkapnya.

Namun, pendapat ini sendiri tidak sepenuhnya disepakati oleh mahasiswa lain. Tona Ardiansyah Marpaung dari jurusan Teknik Mesin mengatakan justru ITM harus tetap dipertahankan. 

Tidak hanya karena berkaitan dengan nilai historis dan romantisme di kampus ITM, namun lebih pada memastikan bahwa kalangan mahasiswa akan lebih mudah selesai jika ITM bertahan namun dengan solusi yang bersifat segera.

"Kita harus rasional, kalaupun pindah saya tidak yakin administrasinya akan mudah. Bisa jadi akan memunculkan persoalan baru, artinya perpindahan ini justru jadi masalah baru. Jadi, saya kira lebih baik ITM dipertahankan dan jika memungkinkan dengan solusi mereka berdamai, dan ada instrumen-instrumen untuk 'memaksa' perdamaian itu," ungkapnya.

Di sisi lain, penutupan operasional Institut Teknologi Medan (ITM) oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Dikbudristek) dinilai sebagai tindakan yang tidak cerdas dengan alasan untuk menyelamatkan kampus tersebut dalam dunia pendidikan.

Penutupan kampus oleh Menteri Nadiem Makarim ini justru terkesan berlebihan. "Ini seperti keinginan membunuh tikus namun lumbungnya yang dibakar, maka bukan hanya tikus yang mati," kata praktisi hukum, Julheri Sinaga dalam kesempatan yang sama.

Julheri yang juga memiliki pengalaman dalam menangani proses hukum dalam persoalan konflik kepengurusan yayasan di Kampus Universitas Islam Sumatera Utara (UISU) ini menjelaskan, Kemendbudristek merupakan 'orang tua' bagi dunia pendidikan di Indonesia. Kementerian ini memiliki peran yang sangat besar dalam melakukan pembinaan terhadap berbagai persoalan yang berkaitan dengan dunia pendidikan termasuk dualisme yayasan yang menaungi salah satu institusi pendidikan.

"Karena itu, dalam hal ini kita sangat berduka bahwa ITM dibunuh oleh orangtuanya sendiri. Apa ini yang dilakukan untuk mewujudkan cita-cita UU 1945 yakni mencerdaskan kehidupan bangsa?," ungkapnya.

Dalam paparannya dihadapan para mahasiswa dan alumni ITM, Julheri menjelaskan bahwa sesuai dengan undang-undang, maka yayasan merupakan milik publik dan bukan milik para pendiri yang dapat diwariskan kepada keturunannya. Cara pandang mengenai inilah yang seharusnya dipahami oleh seluruh pihak agar dapat berfikir jernih dalam mengelola yayasan.

"Dan kondisi atas kondisi yang terjadi sekarang ini di ITM, ada langkah-langkah hukum yang dapat dilakukan oleh mahasiswa selaku pihak yang dirugikan. Salah satunya menggugat ke PTUN," pungkasnya.