Menang Piala Thomas tanpa Merah Putih

 Piala Thomas/net
Piala Thomas/net

KITA bangga atlet-atlet kita berhasil merebut kembali Piala Thomas setelah 19 tahun. Luar biasa. Selamat. Mengalahkan Tim Tiongkok pula di final.

Walau, rasa bangga itu bercampur kekecewaan karena Sang Merah Putih tak tampak menjulang tinggi. Yang tampak hanya bendera PBSI.

Itu bukan salah atlet-atlet kita. Mereka pun kecewa. Saya tahu, bagi para atlet, bisa mengibarkan atau menjulangkan Sang Merah Putih adalah kebanggaan tersendiri. Karena hanya atlet dan Presiden yang bisa mengibarkan bendera kita di luar negeri.

Yang salah karena kita tidak mematuhi dan dianggap tidak kooperatif terhadap aturan yang ditetapkan oleh Badan Anti-doping Dunia ( WADA). Permintaan WADA terhadap sample urine beberapa atlet kita tidak dipatuhi oleh LADI ( Lembaga Anti Doping Indonesia) dengan berbagai alasan.

WADA memang tegas untuk menjamin kompetisi olahraga yang sehat dan jujur. Atlet top dunia sekalipun kalau terbukti doping akan diberi sanksi tegas. WADA juga berharap, setiap negara membentuk lembaga anti-doping nasional yang juga bersifat tegas.

Persoalannya, seringkali ada conflict of interests pada lembaga anti-doping nasional. Di satu pihak bertugas menjalankan protokol anti-doping yang profesional, di lain pihak ada semangat untuk mendukung atlet-atlet nasionalnya agar bisa menang dalam kompetisi internasional. 

Di beberapa negara yang disanksi keras oleh WADA, justru lembaga anti-doping nasional secara sengaja berusaha membantu atletnya untuk lolos dari pemeriksaan doping. Bahkan, otoritas olahraga nasionalnya dianggap membiarkan hal itu terjadi secara sistemik. Itulah yang terjadi dengan Rusia, salah satu raksasa olahraga dunia, yang kemudian disanksi oleh WADA tidak bisa ikut Olimpiade. WADA memang tanpa pandang bulu.

Mendapat sanksi WADA membuat kita menjadi negara pariah olahraga. Dan akhirnya menyulitkan kita sendiri dan atlet-atlet kita. Tidak boleh menjadi tuan rumah kejuaraan Internasional, tidak boleh ikut kompetisi dengan bendera negara kita, dsb. Kemudian, lembaga anti-doping negara lain, dalam hal ini Jepang, ditunjuk sebagai penyelia bagi pelaksanaan anti-doping di Indonesia.

Ini semua tidak perlu terjadi.

Kalau saja lembaga anti-doping kita bersikap profesional dan tegas terhadap atlet-atlet kita sesuai dengan protokol WADA. Bukan kita mau menyulitkan atlet kita, atau berprasangka buruk terhadap atlet-atlet kita, tapi kita perlu menyosialisasikan protokol anti-doping yang tegas untuk kepentingan kita sendiri. Karena kita tidak mau atlet kita, apalagi negara kita, dituduh mau menang dengan cara curang.

Bagi kita, menang dengan cara ksatria adalah satu-satunya opsi. Menang dengan keringat, semangat pantang menyerah, dengan Merah Putih di dada, itulah kemenangan sejati.

Semoga urusan ini segera bisa diselesaikan dengan baik oleh LADI, KOI, dan otoritas olahraga tertinggi kita Kemenpora. Jangan sampai terlalu lama menjadi "batu kerikil di sepatu" olahraga kita.

Penulis adalah bekas menteri pemuda dan olahraga.