Politisi PKB: Inmendagri 53/2021 adalah Kebijakan yang Mundur

Anggota Komisi V DPR RI, Neng Eem Marhamah/Net
Anggota Komisi V DPR RI, Neng Eem Marhamah/Net

Syarat wajib tes PCR bagi penumpang pesawat yang mulanya diatur melalui Instruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri) 53/2021, dan kemudian diitindaklanjuti Satgas Penanganan Covid-19 dengan mengeluarkan SE 21/2021  dinilai memberatkan masyarakat.


Banyak pihak menilai kebijakan ini sebagai langkah mundur pemerintah, mengingat tingkat vaksinasi nasional kini sudah meningkat, sehingga seharusnya penumpang moda transportasi udara tidak perlu lagi menggunakan PCR melainkan cukup antigen.

Selaku Anggota Komisi V DPR RI, Neng Eem Marhamah menerima keluhan masyarakat terhadap aturan ini. Katanya, mereka yang ingin menggunakan moda transportasi pesawat keberatan, utamanya yang berasal dari daerah-daerah yang infrastruktur farmasinya kurang memadai.

"Mereka tersendat (untuk naik pesawat) dikarenakan Tes PCR itu, akhirnya tiket mereka hangus dan akhirnya mereka harus tes PCR lagi dan menunggu hasilnya itu baru besoknya, jadi otomatis mereka harus menginap," kata Eem dalam diskusi Forum Legislasi dengan tema "Menyoal Aturan Penumpang Pesawat Wajib PCR”, Gedung Nusantara III, Komplek Parlemen, Senayan, Selasa (26/10).

Legislator dari Fraksi PKB ini mempersoalkan adanya kebijakan ini. Sebab dia menganggap kebijakan yang diatur melalui Inmendagri 53/2021 tak menunjukkan kemajuan, padahal kondisi pandemi Covid-19 di Indonesia sudah melandai dalam beberapa waktu terakhir.

"Saya kira Intruski Mendagri nomor 53 itu adalah kebijakan yang mundur, karena pandemi sudah melandai dan kesadaran masyarakat akan vaksinasi sudah mulai banyak, mereka sudah merasakan bahwa vaksinasi itu untuk meningkatkan imunitas mereka, jadi yang vaksin juga sudah banyak," ucapnya.

Menurutnya, melandainya pandemi Covid-19 seharusnya dijadikan langkah awal meningkatkan kebangkitan ekonomi nasional dan masyarakat. Tapi dengan adanya kebijakan mewajibkan tes PCR untuk penumpang pesawat, justru akan merugikan industri penerbangan.

"Jelas ini merugikan tidak hanya di industri penerbangan tetapi pelaku ekonomi lain saya kira itu juga memberatkan, apalagi masyarakat menengah ke bawah," tuturnya,

Dia mencatat, industri penerbangan selama pandemi ini mengalami kerugian hingga Rp 2.867 Triliun. Nilai tersebut setara dengan keuntungan selama 9 tahun untuk industri penerbangan secara Global.

"Jadi berat juga, apalagi tidak semua orang bisa masuk industri penerbangan ini, ditambah lagi dengan persyaratan adanya PCR padahal sebelumnya ada antigen, kenapa saat pandemi melandai justru disuruh wajibkan PCR?” tutupnya.