Telaah Kondisi Bangsa dari Sektor Ekonomi

Andi Rante/Ist
Andi Rante/Ist

DALAM perjalanan mengisi kemerdekaan hingga saat ini masih saja ada ketidakpuasan oleh sebahagian kecil element bangsa. Dari fase orde lama, orde baru hingga era reformasi saat ini tak pernah bangsa ini keluar dari yang namanya riak riak akibat ketidakpuasan terhadap penguasa.

Dan ini semua diawali dari ketidakpuasan terhadap sumber sumber ekonomi yang mereka dapatkan. Sejarah peradaban manusia adalah sejarah perebutan kekuasaan untuk memiliki sumber daya-sumber daya. Setidaknya ada 3 sumber daya di sini, yaitu sumber daya energi, pasar dan manusia.

Inilah yg menjadi target perebutan. Apalagi pondasi ilmu ekonomi kapitalis telah menegaskan bahwa sumber daya alam dan energi sangatlah terbatas dan tidak mampu memenuhi kebutuhan seluruh umat manusia. Maka yang terjadi adalah free fight liberalism; homo homini lupus; yang kuat memangsa yg lemah. Padahal, kata Mahatma Gandi, sumber daya yang ada di bumi ini cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia, tapi tidak untuk keserakahan segelintir orang.

Thomas L. Friedman Dalam bukunya "The World is Flat", Friedman menjabarkan bahwa abad XXI adalah abad di mana dunia ini seperti datar, karena semua manusia mudah sekali terhubung dan berkomunikasi meskipun jarak ribuan kilometer dan benua serta samudera memisahkan mereka. Sebuah gambaran bahwa manusia saling membutuhkan dan tidak dapat disekat-sekat oleh batas demarkasi bernama negara. Inilah yang diistilahkan dengan global village, yang punya slogan baru "mendekatkan yang jauh, menjauhkan yg dekat". Lebih jauh, David C. Korten dalam bukunya "The post-corporate world : life after capitalism", mengetengahkan sebuah pandangan bahwa kita harus ke luar dari kapitalisme dan memulai sebuah kehidupan baru yang lebih adil bagi semua. Lalu bagaimana tatanan dunia masa depan ? Apakah seperti yg diprediksikan oleh Samuel Huntington dalam bukunya "Clash of civilizations", yaitu terjadinya benturan antara peradaban Barat, China, India, Islam, dan seterusnya?

Kehadiran Pandemic Covid-19 sejak awal tahun 2020 lalu, menjadi variable paling menentukan bagi pergeseran gerak tatanan sosial ekonomi global. meskipun harus diakui bahwa, pola dan struktur sosial dan ekonomi global telah mengakar secara massif dan dikendalikan oleh hanya segelintir elit dalam waktu yang lama, namun therapy shock corona virus yang diharapkan menjadi momentum restart struktur sosial ini, justru semakin mempertegas dampak buruk modernisme dan kapitalisme. 

Mekanisme kapitalisme yang menghendaki kondisi yang borderless antar Negara dan penggunaan masif technology information, benar-benar mendapatkan durian runtuh dari situasi krisis kemanusiaan pandemic covid-19 ini. Akibatnya, kehidupan sosial ekonomi kelompok sosial mayoritas (menengah-bawah) menjadi rentan dan semakin tidak pasti (uncertainty). Yang jadi sorotan public adalah tingkat gini ratio akibat pandemic ini. 

Selain karena efek pembatasan aktifitas sosial, Hampir semua negara mengalami kontraksi diakibatkan karena ketidakpastian dalam menghadapi dan menangani wabah. Di Asean sendiri pun takluput hal tersebut, dari data yang kami himpun Gambaran Ekonomi Negara-negara Asean

SINGAPURA Pada tahun 2020 Q1 : -0,7%, Q2 : -13,2 %, Q3 : -5,8% dan Q4 : -2,4%. Sedangkan di tahun 2021 di Q1 : 0,2% (yoy)

THAILAND pada tahun 2020 Q1 :-1,8%, Q2 : 12,2%, Q3 : -6,4%, dan Q4 : -4,2%. Sedangkan di tahun 2021 pada Q1 : -2,6% (yoy)

FILIPINA di tahun 2020 pada Q1 : -15,2%, Q2 : -16,5%, Q3 : -11,5% dan Q4 : -9,5% dan pada tahun 2021 di Q1 : -4,2% (yoy)

VIETNAM ditahun 2020 pada Q1 : 3,68%, Q2 : 0,4%, Q3 : 2,62%, Q4 : 2,91% dan di tahun 2021 di Q1 : 4,48% (y0y)

MALAYSIA ditahun 2021 pada Q1 : 0,7%, Q2 : -17,1%, Q3 : -2,7%, Q4 : -3,4% dan ditahun 2021 pada Q1 : -0,5 % (yoy)

INDONESIA ditahun 2020 pada Q1 : Tumbuh negatif diangka 2,97%, pada Q2 terkontraksi hingga -5,32%, Q3 pada posisi -3,49% dan Q4 itu tumbuh diposisi -2,19%. Pada tahun 2021 di Q1 mengalami peningkatan ke posisi -0,74% dan pada Q2 tumbuh positif ke angka 7,07% (yoy), dan Q3 pada angka 3,51 % (yoy).

Dari gambaran ini, sempat terjadi resesi khususnya di Indonesia, dimana terjadi penurunan pertumbuhan ekonomi yang selalu memperlihatkan angka yang negatif. Indikatornya adalah:

Pengangguran meningkat

PDB menunjukkan angka negative

Ketidakseimbangan antara Produksi dan Konsumsi

Neraca dagang yang menunjukkan trend negative, dan lainnya.

Banyak upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam mengatasi masalah yang ditimbulkan akibat pandemic covid-19 ini. Upaya-upaya yang telah dilakukan oleh Pemerintah seperti Program Pemulihan Ekonomi Nasional, Omnibus Law UU CIPTAKER, Vaksinasi dan kebijakan lainnya seperti pembatas aktivitas social (Lock Down maupun PPKM) dan lainnya memberikan hasil yang cenderung sesuai harapan kita semua. Ketidakyakinan public akan tumbuhnya ekonomi melalui jalur investasi dengan adanya UU CIPTAKER karena pesimistis melihat pandemic covid-19 yang belum memperlihatkan tanda akan berakhir, begitupun resesi bisa saja terjadi Kembali akibat dampak pandemi 

Melihat kondisi ekonomi global dan optimisme yang diperlihatkan oleh Pemerintah, beberapa Lembaga internasional memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2021 memperlihatkan angka yang positif. Seperti IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2021 itu di angka 6,1%, World bank di angka 4,8%, ADB di angka 5,3% dan OECD di angka 4%. Ramalan ramalan beberapa Lembaga internasional ini bisa terwujud jika vaksinasi dan Upaya Pengendalian Covid-19 berjalan maksimal ( Tercapainya Herd Imunity) serta Jumlah Dana PEN serta Alokasinya musti tepat.

Upaya Pemerintah melalui program nya untuk mengatasi kondisi pandemic ini yang Nampak pada besaran Dana PEN (Pemulihan Ekonomi Nasional) dari tahun ke tahun semenjak pandemi melanda Indonesia memperlihatkan keseriusan Pemerintah dalam Pemulihan Ekonomi dan Penanganan Covid-19 serta dampaaknya bagi stabilitas ekonomi nasional. Ditahun 2020 (Rp 641,16 T kemudian di Revisi menjadi Rp 667,2 T lalu Rp 695,2 T) dan Tahun 2021 itu alokasi Dana PEN sebesar Rp 372,3 T direvisi menjadi Rp 403,9 T lalu pada bulan juni kemarin terjadi revisi lagi yang semula Rp 699,43 T menjadi Rp 744,75 T akibat lonjakan kasus covid-19. Perubahan akan terus terjadi karena melihat perkembangan yang sangat dinamis dan ini diatur dalam Perppu no 1 Tahun 2020 yang telah berubah menjadi UU No 2 Tahun 2020 (UU Covid). Adapun target dari dana PEN tersebut adalah untuk beberapa sektor:

Bidang Kesehatan terkait penanganan virus

Perlindungan sosial

Dukungan terhadap usaha kecil mikro dan menengah

Pemberian insentif bagi dunia usaha (relaksasi pajak dan stimulus lainnya)

Insentif Usaha

Pembiayaan Korporasi

Jika melihat keseriusan Pemerintah dalam upaya Pemulihan Ekonomi dan Penanganan Covid-19 yang dilihat dari besaran dan struktur alokasi dana PEN, serta serapannya musti diatas 90%, Optimisme akan ekonomi Kembali membaik pasti akan terwujud.

Dalam rilis baru baru ini terkait pertumbuhan ekonomi Indonesia di quartal 2 baik dari BI maupun Pemerintah dan BPS, angka pertumbuhan ekonomi kita diatas kertas sesuai rilis dari otoritas terkait menunjukkan angka yang sangat fantastis. Pada quartal ke-2 tahun 2021 Ekonomi kita tumbuh secara pesat di angka 7,07%. Dari data ini menunjukkan upaya pemerintah dalam menangani dampak pandemic covid-19 terhadap stabilitas ekonomi nasional. Ancaman akan terjadinya DEPRESI EKONOMI bisa di hindari.

Namun bukan berarti Pemerintah selesai mengatasi masalah bangsa, masih banyaknya pengangguran yang belum terserap oleh dunia kerja, masih banyak usia usia produktif yang tidak merasakan dunia kerja. Terdapat 19,10 juta orang (9,30% penduduk usia kerja) yang terdampak covid-19 yang terdiri dari pengangguran karena covid-19 (1,62 Juta orang), Bukan angkatan kerja karena covid-19 (0,65 Juta orang), sementara tidak bekerja karena covid-19 (1,11 Juta orang) dan penduduk bekerja yang mengalami pengurangan jam kerja karena covid-19 (15,72 Juta orang),sumber BPS.

Selain masalah ketenagakerjaan, aspek lain yang tidak kalah pentingnya adalah persoalan ekonomi sector publik dimana jumlah utang Pemerintah semakin meningkat. Dari berbagai sumber, Utang negara saat ini totalnya Rp 6.625,43 T dengan rasio utang Pemerintah terhadap PDB sebesar 40,85 % dan angka ini masih bisa saja bertambah. Walaupun masih aman sesuai ketentuan perundangan yang diatur dalam UU keuangan Negara No 17 Tahun 2003 bahwa batas rasio utang terhadap PDB adalah 60% tetapi pada posisi ini sebenarnya sudah sangat mengkhawatirkan. Pemerintah harus mengkalkulasi dengan seksama kemampuan bayar kita sebab ini bisa menjadi pemicu gejolak keuangan dan hal yang bisa terjadi terulang Kembali seperti peristiwa 98 silam.

Dalam dinamika tatakelola system keuangan sebuah negara, Utang merupakan hal yang biasa terjadi, tetapi mesti diperhatikan beberapa aspek yakni kemampuan negara membayar Pokok pinjaman, bunga pinjaman dan tentunya kondisi keuangan dalam negeri yang dilihat dari kondisi APBN . Dalam catatan para pakar ekonomi menjelaskan bahwa APBN kita semakin terperosot tapi disisi lain pemerintah harus menyiapkan bayar pokok pinjaman sebesar Rp 400 T belum lagi bunga pinjaman sebesar Rp 770 T sehingga dalam setahun utang yang harus dibayar negara sebesar Rp 770 T.

Jika keuangan negarapun tak mampu membayar pokok dan bunga utangnya itu sebab melihat kondisi APBN maka pemerintah pasti akan berutang Kembali sehingga kondisi negara kita ibarat lagi gali lubang tutup lubang dan gali lubang terus dan seterusnya akan begitu. Pemerintah harus mempertimbangkan kondisi terhadap utang yang dikonversi dengan mata uang asing. Ini harus diantisipasi oleh Pemerintah agar kondisi ini tidak terjadi sebab menjaga rasio utang kita sangat perlu dilakukan agar kegaduhan baik secara fundamental keuangan negara dan tidak berimbas secara politik.

Selain itu, Pemerintah berutang musti meperhatikan kegunaan utang itu . Nyaris utang Pemerintah untuk menutupi defisit APBN kita akibat beberapa post anggaran yang membengkak , dalilnya adalah sebagai bentuk menjaga keseimbangan makro ekonomi. Melihat IHPS (Ikhtisar Hasil pemeriksaan Semester ) BPK RI rata rata 80% APBN/APBD itu habis buat belanja pegawai dan belanja rutin, jadi hanya 20% yang jadi belanja Modal. Kondisi ini harus diperbaiki oleh pemerintah jika hendak menjadikan utang itu produktif dan mendatangkan nilai tambah. Solusi lain untuk menjaga keseimbangan neraca APBN kita adalah dengan melakukan penghematan belanja belanja pemerintah yang tidak relevan dengan penanganan covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional melalui refocusing dan realokasi anggaran seperti yang dicanangkan oleh Pemerintah itu sendiri, hal ini harus dikerjakan dengan konsisten dan efektif. 

Proyek infrastruktur dan Pengeluaran lainnya yang tidak relevan dengan penanganan covid dan dampaknya bagi perekonomian nasional agar kiranya ditekan untuk sementara waktu.

Jeritan masyarakat kecil akan pajak juga menjadi catatan penting untuk pemerintah, kondisi saat ini dimana perekonomian masih lesuh menjadi penghambat bagi masyarakat kecil bisa menunaikan kewajiban pajaknya. Jika corporate besar dan para pemilik kapital diberikan tax amnesty dan insentif pajak lainnya karena melihat kondisi yang tidak stabil seperti ini seharusnya pemerintah juga memberikan hal yang sama bagi masyarakat menengah kebawah sehingga asas keadilan itu terwujud bagi seluruh lapisan masyarakat tanpa terekecuali. Hal inilah yang menjadi pemicu terjadinya disparitas terhadap gini ratio.

Kesimpulan :

Sikap plin-plan dalam menangani covid-19 dan dampaknya bagi perekonomian adalah pemicu makin melebarnya masalah yang dihadapi saat ini. Akibat Covid-19 ini melalui Perpres No 72 tahun 2020 pelebaran deficit diperlonggar hingga batas 6,34% sampai pada tahun 2023. Yang dari semula ambang batas pelebaran defisit itu hanya 3%. Artinya konstitusi sudah sangat memberi ruang besar untuk Pemerintah dalam memperbaiki stabilitas keuangan negara melalui jalur semestinya dalam menangani wabah covid-19 dan dampaknya bagi perekonomian.

Jika melihat keseriusan pemerintah dalam pemulihan ekonomi dan penanganan covid-19 yang dilihat dari besaran dan struktur alokasi dana PEN serta serapannya harus diatas 90%, ekonomi kita pasti akan tumbuh positif. Ketidakyakinan public akan tumbuhnya ekonomi melalui jalur investasi dengan adanya UU CIPTAKER yang telah dibuat oleh Pemerintah karena pesimistis melihat pandemic covid-19 yang belum memperlihatkan tanda-tanda akan berakhir, begitupun pemicu resesi yang harus dijaga adalah pandemi ini. Belum lagi oleh World Bank per 1 Juli 2001, Indonesia turun kelas menjadi negara berpendapatan menengah kebawah (Lower Midle Income Country) dengan GNI U$ 3.870/kapita dari sebelumnya dengan predikat negara dengan penghasilan menengah atas (Uper Midle Income Country) dengan penghasilan U$ 4.050/Kapita. Jadi kuncinya untuk memulihkan ekonomi nasional ada pada penanganan pandemic covid-19.

Saran dan Masukan

Salah satu solusi untuk mengurangi kebocoran yang makin parah dalam struktur APBN kita adalah penghematan, proyek proyek infrastruktur di hentikan dulu untuk sementara hingga kondisi keuangan akibat pandemi covid-19 ini membaik serta penghematan penghematan belanja pemerintah yang kurang substantif dengan kondisi saat ini.

Kekuatan Ekonomi masyarakat musti difikirkan oleh Pemerintah sebab masalah ekonomi yang dihadapi bangsa ini akibat pandemi covid-19 adalah masalah fiskal bukan masalah moneter. Pemerintah harus menggenjot anggaran untuk mendorong daya beli masyarakat terlebih dahulu dengan berbagai macam program, program padat karya harus di maksimalkan, sebab masalah yang dihadapi masyarakat sekarang akibat pandemi selain masalah wabah juga ada pada daya beli masyarakat, pengangguran, 

Industri banyak yang tutup. Ini problem nyata sebenarnya yang jika semakin dibiarkan akan menggelinding kemana mana sebab komponen ekonomi ini adalah sebuah mata rantai yang saling berhubungan satu sama lainnya. 

Selain itu Pemerintah harus cari skenario lain misal dengan menerbitkan SBN atau menggenjot Ekspor melalui peningkatan produk produk Industri lokal yang masih bertahan dalam pandemi ini seperti sektor farmasi, pertanian, kuliner , telekomunikasi , memaksimalkan target dari UU Omnibus Law UU CIPTAKER yang di klaim bisa meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan lain lain.

Jika Pemerintah dari awal konsen di area ini, multy flyer effect nya akan membangun industri baru, UMKM akan bangkit, Lapangan kerja akan terbuka lebar yang endingnya adalah daya beli masyarakat meningkat kembali. Jadi menurut pengamatan saya, Pemerintah fokuslah di titik masalahnya, agar masalahnya bisa teratasi. Jika langkah itu tidak dilakukan maka akan makin memperlebar masalah kemana mana.

Upaya-upaya yang telah dilakukan oleh Pemerintah seperti Program Pemulihan Ekonomi Nasional, Omnibus Law UU CIPTAKER, Vaksinasi dan kebijakan lainnya seperti pembatas aktivitas social (Lock Down maupun PPKM) Harus dikerjakan,diawasi dan di pastikan targetnya terealisasi dengan Konsisten.

UU Ciptaker ini perlu memfokuskan arah Industrialisasinya untuk tiap wilayah jika hendak ingin memajukan sektor sektor Industri dalam Negeri beserta Home Industri sebagai penyedia komponen pendukung. Ini bisa mewujudkan Kolaborasi Industri Besar dan Industri Kecil Mikro dalam upaya mengembangkan sektor Industri Dalam Negeri dan Penciptaan Lapangan Kerja.

Penyiapan infrastruktur dan SDM yang unggul bagi para pelaku UMKM dan Ekonomi Kreatif akan menjadikan kekuatan ekonomi kita bisa merajai pasar UMKM dalam negeri ditengah arus pasar bebas berbasis digital. Peningkatan kapasistas SDM, kwalitas produk, teknologi memadai dan infrastruktur yang telah siap menjadi kunci kebangkitan ekonomi nasional dari sector UMKM, UMKM dan Pelaku ekonomi kreatif akan naik kelas dan ini akan berdampak bagi PDB kita.

Pemerintah harus bisa mempertahankan pertumbuhan ekonomi diatas 5% di Quartal ke-3 dan 4 ditahun 2021.

5. Harus ada Kolaborasi antara semua lembaga pemerintahan baik vertikal maupun horisontal dalam penanganan wabah ini termasuk peran serta semua lapisan masyarakat baik BUMN dan Swasta serta Koperasi untuk memulihkan ekonomi nasional.

6. Vaksinasi dan Upaya Pengendalian Covid-19 Berjalan maksimal sesuai target “Dengan Karakter dan Mental Manusia maju maka, NASIONALISME yang merupakan kunci Kebangkitan dan Ketahanan Nasional akan terwujud."

Penulis adalah KETUA PB HMI PERIODE 2021-2023 (BIDANG EKONOMI PEMBANGUNAN)