Dua Kecerdikan Singapura Saat Negosiasi FIR dengan Indonesia

PM Singapura Lee Hsien Loong dan Presiden Joko Widodo/Net
PM Singapura Lee Hsien Loong dan Presiden Joko Widodo/Net

Pemerintah Singapura dinilai cerdik saat bernegosiasi dengan Indonesia berkaitan dengan perjanjian Flight Information Region (FIR).


Gurubesar Ilmu Hukum Internasional dari Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana mengurai ada dua kecerdikan Singapura yang berhasil mengecoh Indonesia dalam perjanjian tersebut.

Pertama, Singapura mengecoh dengan bermain pada isu yang sangat detail FIR. Lawyer dari Singapura, menurut Hikmahanto sangat cermat dalam menerapkan panduan “the devil is in the details”.

Kalimat ini menggambarkan bahwa seorang lawyer harus harus bermain di level yang detail untuk bisa menang. Bila lawan negosiasi tidak suka dengan urusan detail, maka akan menjadi makanan empuk.

"Boleh saja Indonesia berbangga bahwa pengelolaan FIR telah berhasil diambil alih oleh Indonesia setelah berpuluh-puluh tahun berjuang. Namun dalam kenyataannya Singapura masih tetap sebagai pihak pengelola karena mendapat pendelegasian," katanya kepada wartawan, Minggu (30/1).

Pernyataan itu merujuk pada isi perjanjian yang mendelegasikan pengelolaan FIR  ketinggian 0 hingga 37.000 kaki di Kepulauan Seribu kepada otoritas penerbangan Singapura. Di mana pendelegasian diberikan selama 25 tahun dan dapat diperpanjang sesuai kesepakatan kedua negara.

"Ini berarti pemerintah Indonesia tidak memiliki cetak biru untuk melakukan pengambilalihan mulai dari infrastruktur yang dibutuhkan, hingga sumber daya manusia yang mengoperasikan," imbuhnya.

Kecerdikan kedua Singapura adalah memaketkan perjanjian FIR dengan perjanjian pertahanan.

"Pemaketan seperti ini sangat merugikan di tahun 2007 saat perjanjian ektradisi ditandemkan dengan perjanjian pertahanan," ucapnya.

Dia mengurai, Singapura tahu detail efektivitas berlakunya perjanjian FIR. Maka, selain wajib diratifikasi oleh parlemen masing-masing juga harus dilakukan pertukaran dokumen ratifikasi.

Oleh karenanya Singapura akan mensyaratkan pada Indonesia untuk melakukan secara bersamaan pertukaran dokumen ratifikasi kedua perjanjian sekaligus.

"Bila hanya salah satu, maka Singapura tidak akan menyerahkan dokumen ratifikasi dan karenanya perjanjian tidak akan efektif berlaku. Singapura berkalkulasi perjanjian pertahanan tidak akan diratifikasi oleh DPR mengingat menjadi sumber kontroversi pada tahun 2007, sehingga tidak pernah dilakukan ratifikasi," tutupnya seperti dimuat Kantor Berita Politik RMOL.