Dugaan Nota Fiktif dan Mark Up Disparbud Malang, Akademisi Unisma: Unsur Pidananya Jelas, Mens Rea-nya Ada

Akademisi asal Unisma Kota Malang, M. Fahrudin Andriyansyah/RMOLJatim
Akademisi asal Unisma Kota Malang, M. Fahrudin Andriyansyah/RMOLJatim

Dugaan nota fiktif dan mark up di Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Kabupaten Malang dalam belanja barang dan jasa yang tidak sesuai ketentuan sebesar Rp 202.276.800,00 atas pemeriksaan tahun anggaran (TA) 2020 yang ditertuang dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) tahun 2021, disebut unsur pidananya jelas dan ada mens rea-nya. 


Hal ini disampaikan akademisi asal Universitas Islam Malang (UNISMA) Kota Malang, M. Fahrudin Andriyansyah pada Selasa (8/2).

"Kalau dilihat dari temuan BPK di Disparbud itu, unsur-unsurnya sudah jelas. Apalagi ada pengakuan, sudah jelas ada unsur pidananya. Misalkan ada nota fiktif, mens reanya sudah ada. Jadi niat jahatnya itu sudah ada. Apalagi ada dampak kerugian. Jadi BPK sudah bicara ada kerugian," kata Fahrudin di Kampus UNISMA Kota Malang. 

Disinggung soal temuan BPK bahwa Disparbud sudah melakukan tindak lanjut dengan menyetor ke kas daerah, Fahrudin menyebut bahwa aparat penegak hukum masih bisa masuk untuk melakukan tindak lanjut. 

"Menurut saya, meskipun pengembalian kerugian negara sudah dilakukan. Dasarnya adalah tadi, Pasal 4 Undang-Undang tindak pidana korupsi. Lex specialisnya kesana. Itu clear sudah, intinya di situ. Kembali lagi, ini sebenarnya adalah bicara soal komitmen. Tinggal komitmen dari aparat penegak hukum, mau memproses ini atau tidak dalam pemberantasan korupsi," tegasnya. 

Lebih jauh Dosen di Fakultas Hukum di UNISMA ini menambahkan, bahwa tindak pidana korupsi itu adalah delik materil. 

"Jadi paska adanya putusan Mahkamah Konstitusi, undang-undang tindak pidana korupsi itu bukan lagi delik formil, melainkan delik materil. Maksudnya bagaimana? Kerugian keuangan negara itu bukan potensi, tapi harus riil. Lha bukti ada kerugian keuangan negara itu dari audit. Auditnya dari mana, bisa dari BPKP, BPK maupun audit eksternal," tuturnya. 

Menurut Fahrudin, jika dari temuan itu tidak ada ketegasan dari aparat penegak hukum (APH), maka dipastikan akan berulang. 

"Temuan seperti ini pasti akan berulang. Seolah dibiarkan. Lah, ini nantinya yang akan membawa dampak besar. Itu mengenai pengadaan makan. Sekarang misalkan mengenai pekerjaan fisik, nanti kalau ada temuan dikembalikan, kalau tidak ya masuk kantong pribadi," paparnya. 

Tak hanya itu, lanjut Fahrudin, terkadang para pejabat takut menggunakan anggaran karena takut ditangkap KPK. 

"Janganlah kalian berfikir seperti itu. Kalau kalian lurus, nggak bakalan kena. Kecuali kalau masuk kantong pribadi, itu yang jadi masalah. Menurut saya, itu adalah pemikiran sesat mereka," imbuhnya. 

Di lain tempat, Fauzia Irnani dari Lembaga Bantuan Hukum Nasional Indonesia (LBHNI) mengungkapkan, bahwa dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar apabila memenuhi unsur-unsur seperti, perbuatan melawan hukum, penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana, memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi, dan merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

"Mengenai temuan BPK tersebut, secara pandangan hukum ada dugaan tindak pidana korupsi yang lakukan sesuai Undang-Undang (UU) 31 tahun 1999, juncto UU No 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Unsur kesengajaan dalam "permufakatan jahat" yang merugikan negara disampaikan terang, apalagi ini masih temuan 1 perkara.  Bagaimana jika dilakukan pengembangan, dan ada temuan lebih banyak. Jika sanksinya hanya sebatas sanksi administrasi, dan bentuk teguran saja dari bupati dianggap sudah cukup, berapa banyak kerugian negara nantinya," tandas Fauzia dalam pesan singkat yamg dikirim melalui WhatsApp. 

Fauzia juga menegaskan bahwa APH sudah bisa masuk dengan bukti permulaan temuan BPK tersebut. 

"Sebagai bukti permulaan sudah cukup, bukti baru ditemukan pada saat dilakukan penyelidikan dan pengembangan oleh APH," pungkasnya.