Soal Vaksin Halal, Menkes Kelabui Umat Islam

Yayasan Konsumen Muslim Indonesia (YKMI) mengkritik isi Keputusan Menteri Kesehatan (Menkes) tentang vaksin halal. Sebab, faktanya pemerintah tetap mempergunakan vaksin nonhalal.


Direktur Eksekutif YKMI, Ahmad Himawan mengatakan bahwa isi Keputusan Menkes HK.01.07/MENKES/1149/2022 tentang Penetapan Jenis Vaksin Untuk Pelaksanaan Vaksinasi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19), tanggal 28 April 2022 seolah-olah telah memasukkan jenis vaksin halal, tapi ternyata tetap memasukkan vaksin nonhalal dalam jumlah besar.

"Isi Keputusan Kemenkes itu hanya seperti permen gula-gula manis yang diberikan Menteri Kesehatan, seolah-olah telah mengakomodir vaksin halal pasca putusan MA tersebut," ujar Himawan dalam keterangannya, Minggu (22/5).

Keputusan Menkes tersebut merupakan tindak lanjut dari putusan MA 31P/HUM/2022 tanggal 14 April 2022 yang mengabulkan permohonan hak uji materiil yang diajukan YKMI yang memutuskan bahwa pemerintah wajib menjamin kehalalan vaksin dalam program vaksinasi.

"Ini sangat konspiratif dan melecehkan umat Islam dan tampak tidak mematuhi Putusan MA," tegas Himawan.

Isi Keputusan Menkes itu, menetapkan jenis vaksin Covid-19 yang dipergunakan oleh pemerintah, yakni yang diproduksi oleh PT Bio Farma (Persero), AstraZeneca, CanSino Biologics Inc, China National Pharmaceutical Group Corporation (Sinopharm), Johnson and Johnson, Moderna, Novavax Inc, Pfizer Inc. and BioNTech, Sinovac Biotech Ltd., dan Anhui Zhifei Longcom Biopharmaceutical Co., Ltd.

Jika dilihat kata Himawan, jenis vaksin yang ditetapkan dalam Keputusan Menkes tersebut bersifat 50 banding 50. Di mana kata Himawan, 50 persen vaksin halal dan 50 persen vaksin haram.

"Sangat tidak proporsional, karena mayoritas pengguna vaksin itu umat Islam yang jumlahnya sangat besar," tegasnya.

Selain itu, Himawan kembali mengingatkan akan batas waktu pelaksanaan putusan MA, di mana kewajiban pemerintah harus menjamin kehalalan 100 persen vaksin yang dipergunakan.

"90 hari adalah batas waktu maksimal untuk melaksanakan putusan MA itu sejak diputuskan, jika tidak maka akan berdampak negatif pada stabilitas politik nasional, karena eksekutif telah mengangkangi yudikatif, ini makin merusak tatanan demokrasi Indonesia. Tapi bisa dikatakan seolah stempel Islamofobia terhadap rezim Jokowi juga akan semakin menguat di tengah masyarakat muslim Indonesia, karena tak mau mematuhi putusan MA terkait vaksin halal itu," jelasnya.

Karena menurut Himawan, putusan MA terkait vaksin halal adalah bersifat final dan mengikat. Maknanya, paskaputusan itu diketok, segala peraturan yang terbit sebelumnya, dinyatakan tidak berlaku setelah 90 hari Putusan tersebut.

"Semestinya pihak pemerintah khususnya Kemenkes harus taat hukum dengan mematuhi putusan MA karena berkorelasi sejak putusan itu dibacakan tanpa menunggu tenggat waktu 90 hari. Hal ini tidak lain untuk memberikan jaminan kepastian hukum," terang Himawan.

Sementara Keputusan Kemenkes tersebut sambung Himawan, seolah-olah berusaha mengelabui umat Islam dan yudikatif.

"Seolah-olah mengakomodir vaksin halal, padahal intinya tetap memasukkan vaksin haram, dan sasaran terbesarnya adalah umat Islam Indonesia, ini tidak bisa dibenarkan," pungkas Himawan.

Sementara itu, Sekretaris Eksekutif YKMI, Fat Haryanto Lisda mengatakan, Keputusan Menkes seharusnya menyediakan kuota lebih besar untuk vaksin halal sesuai dengan jumlah demografi penduduk khususnya umat Islam, bukan 50 banding 50.

"Terbitnya Kemenkes tanggal 28 April itu, sebagai bentuk pengelabuan pada umat Islam. Lebih tepatnya mencampuradukkan halal-haram, tentu yang dirugikan adalah umat Islam," ujar Fat.

Menurut Fat, Kemenkes tidak pernah memberikan transparansi informasi tentang mana jenis vaksin yang halal dan mana yang mengandung unsur tripsin babi.

"Masyarakat banyak tidak memahami dan tidak bisa membedakan mana vaksin yang halal dan yang haram, pemerintah seolah tidak mau tahu atas hal itu, sekali lagi ini merugikan umat Islam," kata Fat.

Anehnya sambung Fat, sikap Menkes yang seolah tetap ngotot melakukan pengadaan, pembelian dan vaksin haram, menjadikan pertanyaan besar bagi umat.

"Ada apa ini? Ada agenda apa ini? Adakah komitmen bisnis dengan industri farmasi besar dunia yang memaksa vaksin mereka masuk wilayah Indonesia?" pungkas Fat.