Prof Didik Rachbini Minta Akademisi Kritik Tegas Singkirkan Hama Demokrasi

Prof Didik J. Rachbini/Net
Prof Didik J. Rachbini/Net

Rektor Universitas Paramadina, Prof Didik J. Rachbini khawatir Pemilu 2024 akan kembali mengulang dampak sosial seperti halnya yang terjadi pada pemilu sebelumnya.


Demikian Prof Didik dalam Kuliah Umum Universitas Paramadina bertajuk "Tren Transformasi Media dan Implikasinya pada Kampanye Pemilu 2024" yang digelar virtual, Sabtu (11/6).

Dia memberikan gambaran tentang tingkat keparahan dampak Pemilu Serentak 2019 lalu yang hanya memunculkan dua pasangan calon presiden dan calon wakil presiden.

"Teori Tragedy of The Common tepat untuk menggambarkan dampak buruk dari tahun politik 2018-2019 ketika pemilihan presiden berlangsung dalam suasana ruang publik yang penuh dan dijejali anasir-anasir buruk (buzzer) tanpa keadaban dan merusak demokrasi," ujar Prof Didik dikutip Kantor Berita Politik RMOL.

Secara praktis, pendiri Institute for Development of Economics and Finance (Indef) ini melihat ruang publik yang diisi kebisingan tak beradab para buzzer politik bakal berdampak buruk bagi masyarakat.

"Akibatnya bisa sangat buruk bagi ketahanan nasional di mana sistem sosial budaya akan terlemahkan secara perlahan dan dapat mengakibatkan kematian ruang publik pelan-pelan," ujar Ketua Dewan Pengurus Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) ini.

Karena itu, Prof Didik berharap kontestasi Pemilu Serentak 2024 diwarnai narasi-narasi yang lebih bernilai. Dalam posisi ini, peranan media pun sangat penting dalam menjaga ruang publik tetap sehat.

Selain itu, dia mendorong pemangku kebijakan terkait untuk mengelola kepemiluan dengan baik. Sebab, jika situasi tersebut tidak dilakukan, maka keadaban di masyarakat akan hilang dan hubungan sosial politik tidak akan mempunyai masa depan yang baik bagi perkembangan demokasi.

Apalagi mengingat kehadiran buzzer dan relawan-relawan politik yang terbilang sebagai fenomena baru yang hadir menjelang Pemilu Serentak 2019 silam.

"Kedudukan buzzer dan relawan ada di bawah karpet kekuasaan dipelihara dan dibiarkan. Sayangnya, para akademisi ilmu komunikasi tidak melakukan kritik tegas dan memadai terhadap 'hama demokrasi' tersebut," tandasnya.