10 Warga Tewas Akibat Negara Abai Wujudkan Diolag Jakarta-Papua

Aktivis kemanusiaan, Martheen Goo/Net
Aktivis kemanusiaan, Martheen Goo/Net

MANUSIA pada prinsipnya ingin hidup aman dan damai. Karenanya, aspek HAM menjadi penting sebagai ruang proteksi umat manusia. Dan di Indonesia, hal tersebut dirumuskan dalam pancasila, pembukaan dan batang tubuh UUD"45.

HAM jadi spirit pembangunan negara. Semangat itu juga mengantarkan rakyat membentuk negara agar semangatnya mengusir penjajahan. Tentu penjajahan adalah musuh kemanusiaan.

Hal tersebut berbeda dengan praktIk di Papua. Papua direbut dengan paksa, dengan kekerasan dan dengan kejahatan HAM. Setelahnya, operasi militer digenjot terus menerus. Sangat susah Papua diwujudkan menjadi tanah damai.

Proses Pepera pun dilakukan dengan kejahatan HAM. Kesemuanya itu memberikan gambaran bahwa tidak ada ruang aman dan damai bagi orang Papua. Pendekatan selalu dilakukan dengan pendekatan militer.

Ketika UU No. 12/1969 diberlakukan di Papua, tetap diikuti dengan pendekatann militer. Bahkan setelah diberlakukan UU No. 21/2021, pendekatan yang sama masih tetap dilakukan. Padahal, dalam semangat “Good Governance”, jika merujuk semangat desentralisasi asimetris, harus lebih pada menyelesaikan problematika. Sayangnya dalam UU tersebut tidak ada aspek problematika. bahkan pendekatan militer tetap dilakukan, pada hal itu salahsatu aspek problematika.

Begitu perubahan, UU 21/2001 menjadi UU 2/2021 terjadi perubahan menjadi UU Sentralistik. Hal yang bertentangan dengan semangat desentralisasi asimetris justru dipraktekan. Ternyata motifnya (1) Jalan tol pemekaran; (2) Keuangan dikontrol pusat; (3) Pendudukan yang berdampak pada (1) marjinalisasi; (2) potensi pelanggaran ham; (3) kehancuran dan kehilangan tanah adat; serta (4) kehancuran ekologi.

Tentu, kesemuanya itu justru menambah masalah dan justru akan melahirkan konflik horizontal. Karena jika konflik horizontal yang akan tercipta di Papua, itu akan condong pada konflik Sara.

Mestinya, negara harus bijaksana dan menghindari hal-hal yang akan membuat konflik di internal warga atau pun konflik warga dengan aparat negara. Karena ketika suatu rakyat merasa terancam, mereka akan menjadi singa untuk melakukan perlawanan agar mempertahankan kehidupannya apalagi ini berhubungan ras.

Dari dinamika tersebut, 10 warga kali ini menjadi korban di Papua, harus dilihat dalam situasi yang panjang, terlepas dari siapa pelakunya. Ini akibat dari situasi Papua yang dibuat tidak aman dan nyaman, tidak ada demokrasi, tidak ada dialog, tidak ada pendekatan-pendekatan humanis. Apalagi dari awal Papua direbut dengan kejahatan kemanusiaan. Mestinya negara mewujudkan Papua tanah damai dengan cara-cara yang bermartabat.

Negara Harus Bertanggung Jawab Atas Tewasnya 10 Warga

Andai dari dulu negara mewujudkan Papua tanah damai melalui Dialog Jakarta-Papua yang ditawarkan Jaringan Damai Papua, banyak orang tidak akan jadi korban, bahkan 10 orang itu tidak akan jadi korban.

Almarhum Dr. Muridan (Peneliti Senior LIP) menyebut “Dialog tidak membunuh siapapun”. Artinya bahwa, mestinya negara mau berdialog karena negara tidak membunuh siapapun tapi bisa mengantarkan semua pihak membawa Papua menuju tanah damai.

Sementara, Almarhum Dr. Pater Neles Tebay menyebut “Dialog tidak lagi menjadi kata tabuh, dialog sudah menjadi kata kunci untuk menjadi sarana mewujudkan Papua tanah damai dan menjadi kebutuhan”.

Sehingga, mestinya untuk membuat Papua tanah damai, harus menjadi kebutuhan negara. Negara sudah harus wujudkan Papua tanah damai melalui Dialog Jakarta Papua. Almarhum sudah menjelaskan hal itu pada Presiden SBY kala itu maupun Presiden Jokowi.

Sayangnya, kedua Presiden tidak memiliki niat untuk mendorong perdamaian di Papua melalui Dialog Jakarta-Papua. Karena niat itu harus dilihat dengan tindakan kongkrit seperti menunjuk Special Envoy, mengangkat wakil presiden sebagai penanggungjawab politik. Hal yang sama ketika dilakukan untuk Aceh. Akibat dari pengabaian tersebut, warga sipil korban sia-sia. Bahkan ada juga korban dari TNI/Polri. KKB, TPN.

Siapapun mereka, mereka adalah manusia. Mereka mempunya keluarga. Mereka menjadi harapan dan kebahagiana keluarga. Dengan berkorbannya mereka, maka semua harapan sirnah bahkan justru menciptakan kebencian di antara sesama manusia. Mestinya negara berpikir dan bertindak soluktif mewujudkan Papua tanah damai agar tidak terjadi masalah tersebut.

Negara mestinya berhenti mendorong hal-hal yang justru hanya akan mengorbankan banyak nyawa seperti dengan cara merubah UU Otsus yang inkonstitusional, dan mendorong DOB bahkan memobilisasi militer ke Papua dan membuka lebar kaum migran menguasai Papua. Hentikan hal-hal yang anti kemanusiaan tersebut. Wujudkan Papua tanah damai melalui dialog Jakarta-Papua.

Atas kegagalan negara wujudkan Papua tanah damai, 10 warga harus meninggal. Negara harus bertanggungjawab karena itu dapat diduga ada unsur kesengajaan tidak membuat Papua tanah damai. Keluarga korban juga dapat menuntut negara. Dan agar tidak terjadi korban-korban berikutnya, negara harus segera gelar Dialog Jakarta-Papua. Presiden segera tunjuk special envoy, dan angkat penanggung jawab politik.

Semangat konstitusionalisme adalah mewujudkan perdamaian, kesejahteraan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Dan jika ada piihak-pihak yang menghalangi hal itu, sesungguhnya mereka melakukan praktek perlawanan terhadap Pancasila dan konstitusionalisme negara.

*Penulis adalah Aktivis Kemanusiaan dan Peminat HTN