Mahalnya Kejujuran 

Noviyanto Aji saat memainkan monolog karya Putu Wijaya. Foto: Repro
Noviyanto Aji saat memainkan monolog karya Putu Wijaya. Foto: Repro

RIKNO, anak TK yang lugu, keras, dan pantang menyerah. Suatu hari Rikno mendatangi neneknya dan bertanya sesuatu yang selama ini membelenggu otaknya. 

"Nenek, Rikno tanya sesuatu?” 

"Mau tanya apa toh, Cu!” Seru sang nenek penasaran. 

"Anu nek, itu loh, Rikno mo nanya me**k itu apa?” 

"Apa???” 

Si nenek kaget bukan alang kepalang. 

Ia naik pitam. "Dasar anak guoblok. Anak cecunguk. Dungu. Tidak tahu aturan. Siapa yang mengajari kamu berbicara tidak sopan begitu, hah, ayo jawab?” Rikno diam saja. 

"Riri…Riri…kemari kamu nak. Ini anakmu telah berbuat kurang ajar pada orang tua.” 

Si nenek memanggil anaknya, yang juga ibu Rikno. Riri yang berada di dapur merasa telinganya kepanasan, dia buru-buru menghampiri ibunya yang berada di ruang tengah. 

Si nenek mendesak Rikno sambil mencubit-cubit pahanya. Dengan terbata-bata Rikno menjawab lirih: 

"Rikno…Rikno…cuma pengin tahu….ah, ga jadi ah, nanti ibu juga marah!” 

"Sudahlah kamu bilang saja sama ibu, ibu ga akan marah kok!” 

"Rikno cuma ingin tahu me**k itu apa?” 

"Hah,” plok, seketika itu tamparan Riri melesat di pipi anaknya, dasar anak tidak tahu diri. Nih rasakan lagi.” 

Plok! Plok! Seketika itu Rikno menangis sejadi-jadinya. 

"Hua….hua…hua…” 

Murka sang ibu rupanya melebihi murka sang nenek. 

"Biar saja, ayo nangis yang keras, biar sekalian ditambah pukulan oleh ayahmu.” 

Tak lama sang ayah yang merasa terusik tidurnya terbangun dan menunjukkan raut muka merah padam. 

"Ada apa ini. Apa kalian tidak tahu kalau ada orang tidur?” 

"Ini yah, anakmu sudah mulai kurang ajar. Kecil-kecil sudah mikir pornografi. Siapa yang mengajarimu, hah, ayo jawab.” Jawab Riri geram. 

Setelah mendengar penjelasan dari ibu, ayah berpikir sesaat dan bertanya. "Hmm…jadi itu yang kamu tanyakan.” 

"Ya udah sana kamu ganti baju, terus ikut ayah. Akan ayah tunjukkan dimana me**k itu.” 

Betapa senang hati Rikno karena ternyata ayahnya sangat pengertian. Sebentar lagi rasa penasarannya segera terobati sebab ayah akan menunjukkan kepada Rikno apa itu me**k.

***

Siang itu Rikno dan ayah pergi ke Bonbin. Di depan kandang gajah, mereka berhenti. Ayah menunjukkan pada anaknya dengan menuding ke arah gajah. Nah, itu dia yang namanya me**k!” 

"Gajah itu me**k,” Rikno garuk-garuk kepala, wah besar sekaleeee…” 

"Husy, bukan gajah, tapi ituuuu….” 

"Yang mana yah…” 

Rikno berusaha menajamkan pengelihatannya. "Apa yang panjang itu!” Seru Rikno. 

"Kalau itu belalai namanya. Yang di belakang itu loh. Yang tepat di ekornya.” 

"Oh, itu ya yang namanya me**k. Iya yah aku tahu. Jadi me**k itu fungsinya untuk nelek ya yah.” 

Sang ayah semakin frustasi dengan anaknya. Lelaki itu kehabisan ide. 

"Ya sudah kita lihat di sana lagi.” 

Tak jauh dari tempat mereka berdiri, terlihat dua ekor kera sedang memadu kasih. 

"Kamu lihat kera yang sedang berciuman itu!” 

"Kenapa dengan mereka yah?” 

"Lihat saja dulu.” 

"Sudah yah.” 

"Ya itu me**k,” sahut ayah. Saat itu kera sedang bercinta juga mirip manusia. 

Rikno masih belum paham. "Yang mana me**k?” 

"Gini aja biar ayah jelaskan sedikit. Kamu tahu yang di atas itu.” Rikno mengangguk. 

"Dia itu pejantannya. Nah, yang di bawah itu betinanya.” 

Rikno mengangguk paham. 

"Kamu tahu apa yang sedang mereka lakukan? Mereka sedang bercinta. Kamu lihat bagian bawah itu, apa yang dilakukan si jantan terhadap si betina. Lihat baik-baik.” 

"Sudah yah, jadi itu ya yah.” 

"Ya nak, itu yang namanya me**k.” 

"Iya yah, sekarang Rikno sudah paham.” 

"Kalau kamu sudah paham, kamu dilarang bertanya lagi soal me**k ke orang lain. Kamu paham yang ayah katakan ini.” 

Rikno menggangguk, tetapi dia tetap belum paham. "Apa benar me**k itu kera yang saling tumpang tindih.” 

***

Menjelang sore, keluarga Rikno kedatangan tamu. Seorang pejabat. Di ruang tamu pejabat itu menunggu. Tanpa banyak cincong Rikno segera bertanya ke pejabat tersebut. 

"Bapak siapa?” 

"Saya anggota dewan.” 

"Apa itu anggota dewan?” 

"Wakil rakyat.” 

"Jadi bapak tahu segalanya.” 

Sang pejabat tersenyum memandang Rikno. Dengan senyuman itu, Rikno menganggap sang pejabat seorang yang memiliki kemampuan dan pengetahuan yang baik. Pikirnya, ah, tidak ada salahnya bertanya soal me**k. 

"Pak, boleh bertanya?” 

"Silahkan!” 

"Tapi bapak jangan marah ya.” 

"Tergantung pokok pembahasannya.” 

"Apa itu me**k, Pak?” 

Sang pejabat kaget. Matanya melotot. Tak lama dia mengumpat dengan umpatan tidak mencerminkan seorang anggota dewan, yang katanya wakil rakyat itu. 

"Diamput…dasar anak bebal. Siapa yang mengajari kamu berkata seperti itu. Mana bapakmu, mana ibumu? Pasti mereka tidak berbudi, tidak berakal.” 

Sang pejabat marah dengan berkacak pinggang. Tak lama ayah Rikno dan istrinya keluar menemui tamunya. Tetapi mereka lantas disambut caci maki. 

"Apa kalian tidak pernah mengajarkan tata krama pada anak kalian. Bagaimana anak sekecil itu bisa berkata me**k. Itu tidak sopan namanya. Bodoh!” 

"Maafkan kami pak. Sebenarnya Rikno sudah berkali-kali kami berikan penjelasan, tetapi rupanya dia belum mengerti.” 

Ayah Rikno tidak bisa menyembunyikan rasa malunya di hadapan tamu agung. Sudah berapa kali ayah bilang jangan bertanya soal itu lagi.” 

Dan…tiba-tiba plok! Sebuah tamparan mendarat di wajah Rikno. Pukulan yang akan diingat untuk selamanya. 

"Mulai sekarang kamu ayah usir. Kamu tidak boleh tinggal di sini lagi. Dan ayah tidak mau mengganggapmu sebagai anak. Mulai sekarang kamu tinggal saja di desa dengan bibimu,” ancam ayahnya. 

***

Rikno sekarang disekolahkan ayahnya di desa. Dia ikut bibinya. Tetapi Rikno sudah mulai paham mengenai keadaan di luar sana yang seperti hukum rimba. Orang salah ngomong saja langsung dihakimi. 

Masa orientasi sekolah TK sudah selesai. Kini Rikno memulai ajaran baru sebagai siswa kelas nol besar. 

Besar harapan Rikno di sekolah barunya ini dia akan menemukan jawaban dari pertanyaannya tersebut. 

Saat bu Yanti membuka ajaran pertama, dia kemudian bertanya kepada murid-muridnya. 

"Hayo anak-anak, ada yang pengin bertanya?” 

Semua murid diam. Tak ada yang berani bertanya. Saat itu kegundahan Rikno timbul tenggelam. 

"Saya bu…” Rikno yang mengacungkan tangan. Semua mata memandang pada anak berumur 5 tahun tersebut. 

"Anu bu, Rikno mau tanya, tapi ibu jangan marah ya…” 

"Lho buat apa ibu marah, lha wong kamu aja belum bertanya!” Seru Ibu Yanti. 

"Rikno cuma pengin tahu me**k itu apa?” 

"Apa…” 

Seketika raut wajah ibu guru memerah. Namun bu Yanti tidak marah. 

"Kamu yakin dengan pertanyaanmu itu Rik?” Rikno mengangguk dengan pandangan mata serius. 

Bu guru balik bertanya ke murid-murid kelas. 

"Apa ada di antara kalian yang tahu apa itu me**k?” 

Semua anak saling beradu pandangan. Semua anak membisu. Sebagian menggeleng kepala. 

"Rikno, apa kamu yakin pengin tahu apa itu me**k.” 

"Iya bu.” Jawab Rikno mantab. 

"Apa kamu sudah siap?” Tanya bu guru. 

"Iya bu. Rikno sudah siap lahir dan batin.” 

"Baiklah kalau itu kemauanmu. Ibu tidak akan menjelaskan padamu, sebab kamu sendiri pasti tidak akan mengerti. Ibu akan menunjukkannya padamu.” 

Semua anak baik Rikno tak sabar menanti detik-detik mendebarkan itu. 

"Rikno…” kata Ibu guru membuka roknya di depan Rikno dan murid-murid satu kelas lainnya. 

Dia lalu menunjuk ke arah me**k. 

"Akh…akhh…ibu guru jorok….ibu guru jorok..” 

Seisi ruangan kelas berhamburan keluar. Mereka yang melihat ulah sang ibu guru tidak tahan, lari tunggang langgang, kecuali Rikno.

Dengan rasa keingintahuan yang sangat tinggi, Rikno memperhatikan me**k. 

"Jadi ini yang dinamakan me**k itu?” Tanya Rikno. 

Bu guru mengangguk. 

"Kok bentuknya seperti bibir bu?” 

"Iya Rikno. Memang bentuknya seperti bibir. Dari sinilah kamu, ibu, dan orang tua sedunia ini dilahirkan!” Jawab bu guru yang kemudian menutup kembali auratnya.

***

Berita bu guru menurunkan rok menggemparkan desa. Para murid melaporkan ke orang tua masing-masing. Para wali murid serempak berdemo. Mereka mendesak bu guru diusir. Yanti, demikian namanya tak kuasa menahan derita yang dihadapi. 

Malang nasib bu guru Yanti. Saat ia mencoba untuk jujur, tetapi kejujuran yang didapatnya sungguh menyakitkan. Usai diusir dari kampung, bu guru Yanti menjadi tunawisma dadakan”. 

Dimana-mana kehadirannya selalu ditolak. Bahkan di desa tetangga namanya kerap menjadi buah bibir. Malang nian nasibnya. Hidupnya terlunta-lunta. Semua orang sangat membencinya. 

Hingga akhirnya malam itu…

Adalah malam paling tragis dalam hidup bu guru. Saat sedang berteduh di pos gardu, dia dikejutkan tiga pria bertubuh kekar dan bertato. 

Dari mulut mereka keluar aroma alkohol dan asap rokok. Ketiga pria itu lantas menghadang. 

Seorang dari mereka mengenalnya. 

“Aku tahu kamu. Kamu…kamu kan guru TK yang telanjang di depan murid-muridmu. Ini dia ibu guru cabul yang sering dibicarakan orang itu,” kata mereka. 

“Malam ini kamu harus melayani kami bertiga.” 

“Tidak. Jangan sentuh saya. Saya tidak pernah berbuat salah pada kalian.” 

Malam itu bu guru diperkosa. Karena tak kuasa menahan sakit yang teramat pedih, perempuan itu akhirnya pingsan dan beberapa jam kemudian menghembuskan nafas terakhir. 

***

Bu guru telah tiada. Ia dimakamkan di pinggiran desa. Semua warga menolak jasadnya. Bahkan ketika dimakamkan tiada seorang datang melayat, begitu pula keluarganya. 

Namun tidak semua menjauhi makam itu. Seminggu usai pemakaman, beberapa orang nampak menziarahi makam. Mereka menangis di pusaranya. Mereka tak lain keluarga Rikno: ayah Rikno, ibu Rikno, Nenek Rikno, Bibi Rikno, dan Rikno. 

Di pusara bu guru, mereka berdoa dengan khusyuk. Usai memimpin doa sang ayah mulai berbicara: 

Kau, adalah pahlawan kami. Darimulah sekarang Rikno mengetahui kebenaran. Kau, adalah kejujuran. Walau kejujuran yang kau jalani terasa pahit, tetapi kau tidak pernah mengeluh. Pengorbananmu terhadap kejujuran sangatlah kami hormati. 

Kau rela mati demi kejujuran. Kau tidak mempedulikan nyawamu walau sebenarnya kau sudah tahu resikonya. Kau adalah pahlawan kami. Telah banyak yang kau perbuat bagi keluarga kami. Meski kami belum pernah bertemu dengan dirimu, wajahmu tetap bersinar di hati kami. Kejujuranmu itulah yang membuat kami membuka mata lebar-lebar. 

Ibu guru yang terhormat, yang kami cintai, kau bagai oase di padang tandus. Meski secuil kejujuran yang kau sebarkan, tetapi hal itu telah banyak memberi kami penerangan. Kini, kami menjadi sadar, bahwa tak selamanya kebenaran itu harus ditutup-tutupi. Dengan kejujuranmu itulah sekarang anak kami dapat mengetahui arti sebuah kebenaran. 

Kami yakin suatu hari kelak anak kami akan selalu mengingat kebaikan yang kau berikan, kami yakin kelak Rikno akan menghormati pengorbanan para guru dan pendidik, bila dewasa nanti dia juga akan tahu betapa mahalnya sebuah kejujuran dan kebenaran. Dan karena pengetahuan serta pemahaman yang kau berikan ke anak kami, kami pun yakin suatu hari nanti dia akan semakin menghargai semua perempuan di dunia. Bu guru, kau adalah pelita bagi kami. Jasa-jasamu takkan pernah kami lupakan.

Sampai kapanpun Rikno tak bisa melupakan jasa-jasamu. Karena kaulah dia sekarang sudah menjadi dewasa. Bukan kami, tapi kau. Kami justru hanya menjadi penghalang bagi perkembangannya. Kami adalah sebuah kebohongan yang selalu tersebar dimana-mana. Kami tak ubahnya kutu loncat yang ketika digusah akan pencolotan, tapi ketika musuh tidak kelihatan kami akan diam-diam mengambil hak orang lain. 

Memang benar apa yang telah kau lakukan, kejujuran sangat mahal harganya. Buktinya kami tidak bisa menjelaskan me**k pada anak kami. Kami adalah tukang tipu, selalu memojokkan orang, selalu menyusahkan orang, tak pernah serius menanggapi setiap permasalahan. Parahnya, kami adalah orang-orang munafik. 

Tidak seperti kau, kau sangat berani menyatakan kejujuran. Kau berani menerjang bahaya. Kami semua tunduk padamu, tunduk terhadap pahlawan bangsa. Semoga arwahmu tenang di sisiNya. 

Wartawan RMOLJatim, ide cerita ini ditulis ulang dari monolog Putu Wijaya beberapa tahun silam