- Donatur Tetap Koruptor
- Gus Asli
- Film Ressy
BEBERAPA hari lalu anak saya yang bernama Ali, umur 4 tahun, sakit. Anaknya lemas. Suhu badannya 40. Selalu tidur. Hampir hilang kesadaran. Tak mau makan. Kalau makan muntah.
Seperti biasa saya bawa ke rumah sakit terdekat tipe D. Saat di IGD, langsung dilakukan diagnosa. Anak saya diberi bantuan oksigen. Kata dokter, anak saya harus opname. Sayangnya, BPJS Kesehatan tidak bisa mengcovernya. Karena Ali belum sebulan opname di rumah sakit itu. Meski minta rujukan sekalipun, pihak rumah sakit tetap memasukkan Ali sebagai pasien umum.
Akhirnya Ali dipindah ke Puskesmas tempat kami. Kata dokter, Ali harus diopname. Karena kondisinya sudah lemas. Kami pun diberi rujukan. Kepala Puskesmas bahkan menyarankan agar Ali kembali dirawat di rumah sakit tadi. Sedangkan biaya akan ditanggungnya. Tapi karena surat rujukan sudah kita terima, Ali pun kami bawa ke rumah sakit tipe A di Surabaya Barat.
Kami pikir di sana Ali pasti akan langsung mendapat perawatan dengan maksimal. Rupanya saya keliru. Di IGD, kondisinya full. Kata dokter jaga, tidak ada bed. Beberapa pasien bahkan dirawat di kursi roda. Untuk pasien harus menunggu sampai 10 hari baru bisa mendapatkan bed. Itu kata dokter. Yang sebenarnya saya sesalkan, meski kondisi full, seyogyanya pasien ditangani terlebih dahulu baru ngomong soal bed. Ini si pasien tidak ditangani tapi malah ngurusi bed.
Akhirnya Ali kami bawa ke rumah sakit yang lebih dekat, masih di Surabaya Barat. Rumah sakitnya tipe D. Di sana dokter tidak melakukan penanganan hanya menyarankan agar Ali dibawa ke rumah sakit tipe C. Mengingat fasilitas di rumah sakit tersebut tidak memadai.
Dari situ kami bawa Ali ke rumah sakit tipe C yang lebih jauh, mendekati perbatasan Surabaya-Gresik.
Kami langsung masuk IGD. Kondisinya ramai. Kami langsung bertemu dokter. Tapi kami disuruh daftar terlebih dahulu. Pasien tidak bisa ditangani sebelum daftar. Hanya dicek suhu tubuh. Sudah. Itu saja. Sementara antrian daftar cukup lama.
Khawatir dengan kondisi Ali, mau tak mau dia kami bawa keluar dari Surabaya. Kami meluncur ke rumah sakit di Gresik. Masuk IGD, Ali langsung ditangani. Sementara saya disuruh daftar. Surat rujukan dari Puskemas otomatis tidak berlaku. Karena kami sudah melintas wilayah. Tak lama Ali diambil darah. Hasil laboratorium kondisi Ali normal. Dokter menyarankan Ali diberi infus sekali saja mengingat kondisinya lemah. Baru setelah itu diperbolehkan pulang.
Di rumah, saya merenung. Kok begitu susahnya mendapatkan akses kesehatan di Surabaya. Terlebih notabene kami warga Surabaya. Kota metropolis. Memiliki fasilitas lengkap alat-alat medis. Gudangnya dokter. Berlimpah kampus Fakultas Kedokteran. Melahirkan banyak dokter.
Saya tidak mengecilkan profesi dokter. Tetapi dengan pengalaman saya tadi, sepertinya tugas utama dokter bukan lagi memprioritaskan pasien melainkan lebih pada urusan administrasi.
Dokter rumah sakit tipe D yang pertama kali Ali dirawat mengatakan bahwa sekarang ini pihaknya tidak bisa leluasa memasukkan pasien menjadi tanggungan BPJS Kesehatan. Mengingat ada aturan baru yakni BPJS tidak mengcover 144 penyakit. Artinya jaminan kesehatan BPJS tidak bisa serta merta merujuk pasien ke rumah sakit melainkan harus dilakukan pemeriksaan, pengobatan, dan konsultasi dokter di fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP). Itu pun jika mampu ditangani dari FKTP, pasien tak perlu berobat ke rumah sakit.
Apa saja ke 144 penyakit itu? Pembaca bisa melihatnya di banner-banner rumah sakit dan Puskesmas. Atau cukup di 'Mbah google'.
Dulu, sebelum aturan baru itu diterbitkan, setiap pasien dalam kondisi darurat bisa langsung masuk IGD dan menjalani rawat inap. BPJS Kesehatan langsung menanggung biayanya. Kini, setiap dokter diwanti-wanti untuk tidak mudah mendiagnosa pasien untuk rawat inap. Alhasil, banyak pasien yang masuk IGD memilih pulang. Alih-alih mendapat akses kesehatan memadai, mereka harus menelan kekecewaan.
Hal itu sebenarnya menjadi perdebatan di kalangan dokter sendiri Bahkan orang umum pun mempertanyakan kondisi darurat seperti apa yang perlu penanganan prioritas.
Saya sempat menanyakan perihal 144 penyakit yang tidak dicover BPJS. Bagaimana orang umum tahu bahwa mereka menderita penyakit kategori parah atau tidak sebelum dilakukan pemeriksaan. Dokter itu maklum. Tapi dia kembali lagi ke aturan rumah sakit. Bahwa semua kebijakan yang buat manajemen, intinya harus tunduk pada BPJS.
Sementara Menteri Kesehatan (Menkes), Budi Gunadi Sadikin belum lama ini mengeluarkan statement yang meminta masyarakat menambah asuransi swasta di tengah gencarnya program peningkatan kesehatan masyarakat Indonesia dengan diadakan screening kesehatan secara gratis. Lha kok begitu sih!
Jangan-jangan BPJS mau bangkrut? Atau anggaran BPJS dari masyarakat sudah habis karena dikorupsi?
Ganti pemimpin bukannya pelayanan BPJS Kesehatan bertambah baik, justru semakin di luar nalar. Rakyat disuruh bayar BPJS tetapi susah mendapatkan akses kesehatan. Di satu sisi menterinya menyarankan agar masyarakat menambah asuransi swasta. Dengan harapan agar masyarakat mendapatkan akses kesehatan untuk menanggung 144 penyakit yang tidak dicover BPJS.
Logikanya ya pak menteri, kalau rakyat ikut asuransi kesehatan swasta, mereka tidak akan ikut BPJS. Dan sebaliknya.
Atau begini saja pak menteri, daripada ruwet mengurusi BPJS dan dianggap membebani negara, sebaiknya BPJS dibubarkan. Bagaimana bila masyarakat sakit? Ya, masyarakat harus sehat terus. Jangan sampai sakit. Susahnya berobatnya. Yang boleh sakit hanya pejabat negara. Yang dirawat di rumah sakit hanya golongan pejabat dan keluarganya saja. Jadi kerja dokter akan menjadi ringan. Wallahua'lam.
*Penulis wartawan RMOLJatim
ikuti terus update berita rmoljatim di google news
- Donatur Tetap Koruptor
- Gus Asli
- Film Ressy