Presiden Harus Bentuk Tim Independen Ungkap Kejahatan Mutilasi

Aktivis kemanusiaan asal Papua/Net
Aktivis kemanusiaan asal Papua/Net

KEJAHATAN kemanusiaan adalah kebencian umat manusia dimanapun manusia berada, kecuali berjiwa tidak manusiawi. Karenanya kejahatan kemanusiaan harus dihapuskan, itu juga cita-cita nasional. 

Sayangnya kejahatan kemanusiaan di Papua terus terjadi dari tahun 1961 sampai saat ini. Parahnya lagi adalah ada tindakan kejahatan mutilasi yang dilakukan oleh alat negara yakti anggota TNI. Sementara, dalam Konstitusi TNI hanya berada sebagai alat, bukan penentu arah negara.

Sehingga, ketika TNI melakukan kejahatan kemanusiaan apalagi melakukan kejahatan mutilasi, itu tidak hanya menghancurkan prinsip bernegara tapi juga melakukan pelanggaran terhadap konstitusional karena bertentangan dengan pembukaan UUD’45 tapi juga batang tubuh.

Dalam kejahatan tersebut, ketika ada alasan pembenaran dengan motif tertentu sesungguhnya juga adalah bagian dari mendukung tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan terhadap konstitusional dalam bernegara.

Tindakan mutilasi yang dilakukan di Timika Papua, yang dilakukan oleh anggota TNI adalah tindakan kejahatan serius dan luar biasa, dan tindakan tersebut dapat disimpulkan memenuhi ketentuan pasal 9 UU No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM yakni memenuhi ketentuan sistematis atau meluas.

Sistematis sendiri dapat dilihat yakni (1) Jenjang kepangkatan; (2) Senjata sebagai sarana modus untuk melakukan kejahatan mutilasi jika rujukannya kronologis tim Aparat; (3) Adanya upaya pembenaran dengan menyebut simpatisan KKB sehingga aksi dilakukan atas nama kesatuan.

Menurut Komnas HAM Perwakilan Papua, kasus mutilasi 4 warga di Timika memenuhi unsur pelanggaran Ham berat. Dimana lebih jelasnya disebutkan bahwa “tanggal 3 September kami sudah ketemu keluarga korban untuk memverifikasi status kepala kampong dan keluarga mengatakan bahwa satu orang korban adalah benar-benar kepala kampung.

Lalu apakah mereka berafiliasi dengan kelompok bersenjata? Keluarga mengatakan tidak, mereka adalah benar-benar warga sipil biasa. Tidak ada perlawanan, ada pelaku berpangkat Mayor, Kapten dan rakyat sipil”.

Karena pada pasal 9 menyebutkan “ATAU” maka, harus terpenuhi salahsatunya. Walau jika didalami dari aspek meluas pun dapat dilihat dari adanya korban, yakni (1) lebih dari 1 orang; (2) Usia yang berfariasi yakni orang tua dan remaja; (3) Korban kepala kampung dan warga sipil. Sehingga, dari aspek pemenuhan terhadap hak asasi manusia, terpenuhi. Lebih buruk lagi, tindakan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan adalah dengan mutilasi oleh “state actor”.

Dari tindakann tersebut, tentu selain melakukan kejahatan berat HAM, juga melakukan kejahatan yang dapat dikenakan delik didasarkan pada pasal 340 KHUP, yakni dilakukan dengan sengaja dan direncanakan dengan matang untuk mengambil uang korban dan dilakukan pembunuhan. Tentu sangat mustahil korban memberikan uang cuma-cuma, apalagi menurut Komnas Perwakilan Papua korban tidak melakukan perlawanan. Sehingga, terhadap logika ini, harus didalami dengan baik logika kejahatannya, karena pasal yang tepat dalam KUHP adalah pasal 340.

Aktor Kejahatan HAM di Papua Adalah TNI dan Polisi

Bagi orang Papua, aktor kejahatan HAM di Papua adalah TNI dan Polri. Sehingga, dalam tindakan penyelidikan, tentu sangat susah ditunjukan independensinya. Apalagi, ketika kasus mutilasi yang dilakukan, ada pernyataan yang menyebutkan untuk (1) Transaksi senjata; (2) Simpatisan KKB.

Sementara, pernyataan itu dibantah oleh keluarga korban seperti yang dirilis di Media Suara Papua bahwa korban adalah (1) Masyarakat sipil; (2) Ke Timika untuk membeli bahan bangunan.

Terhadap dua pernyataan tersebut, dapat diduga memiliki menstrea (1) Mencari cara untuk meringankan ancaman pidana bagi pelaku; (2) Sebagai upaya untuk mencari dukungan rakyat di Indonesia agar tidak memojokan institusi TNI. Tentu, jika hal itu terbukti dalam penyelidikan yang lebih independen, maka, aktor-aktor harus diproses hukum apalagi, patut diduga bahwa selain penyalahgunaan kewenangan tapi ada upaya turut serta dalam melindungi kejahatan terhadap kemanusiaan tersebut.

Presiden Harus Membentuk Tim Independen untuk Melakukan Penyelidikan Secara

Tepat, Benar, Terukur, dan Berasaskan Semangat Keadilan

Ada beberapa aspek penting yang harus direspon Presiden dengan membentuk tim independen untuk membongkar kejahatan mutilasi agar ada keadilan, yakni (1) Aktor kejahatan kemanusiaan di Papua adalah TNI/Polri sehingga butuh tim independen yang objektif dan taat hukum; (2) Tindak pidana yang dilakukan adalah kejahatan kemanusiaan yang paling berat dan parah karena aparat negara memutilasi manusia; (3) adanya pernyataan keluarga berbeda dengan pernyataan TNI; (4) Adanya beberapa keganjilan dalam penyelidikan dan penyidikan.

Terhadap poin (3) terjadi perbedaan keterangan, di mana: (a) seperti dijelaskan di atas selain beberapa perbedaan pendapat lainnya. Kemudian terhadap poin (4) dapat dilihat bahwa jika ada dalam sistim komando pangkat lebih tinggi, pusat keputusan selalu ditentukan oleh pemilik komanda dalam sebuah peristiwa, sehingga, masyarakat yang terlibat bersama hanya berstatus ikut serta atau membantu, kecuali berperan sebagai informan atau intelijen dari komando tersebut. Terhadap masalah ini, harus dilakukan penyelidikan secara menyeluruh, apakah ada komunikasi lebih atas atau tidak, untuk kepentingan keadilan.

Presiden dapat membentuk tim independen yang berasal dari unsur (1) Komnas HAM; (2) Kompolnas; (3) Kepolisian; (4) TNI; (5) Akademisi dari UNCEN; (5) Tokoh Gereja dimana karena basisnya adalah Katolik dan Kingmi; (6) Tokoh Masyarakat; (7) Pemda Nduga dan Timika; (8) Pengacara keluarga korban. Hanya dengan demikian transparansi serta keterukuran penyelidikan dapat terjadi guna mendorong keadilan.

Diharapkan kepada DPR-RI, DPD-RI, Komnas HAM, Kompolnas, Tokoh-tokoh Agama, Kaum Akademisi, Kaum Intelektual, seluruh NGO dan pekerja kemanusiaan dimana pun berada untuk mendesak/merekomendasikan/menyampaikan kepada Presiden untuk segera bentuk tim independen agar melakukan penyelidikan yang utuh, konsekuen dan menyeluruh agar proses hukum bisa berjalan baik, dan pemenuhan rasa keadilan bisa terealisasikan.

Dan untuk menghentikan berbagai kasus kejahatan di Papua, Presiden juga diharapkan mendorong Perundingan/Dialog dengan mengangkat wakil Presiden sebagai penanggungjawab politik untuk melaksanakan perundingan Jakarta-Papua, dan kemudian, mengutus “Special Envoy” untuk mempersiapkan proses dilaksanakan Perundingan Jakarta-Papua agar terwujudnya Papua Tanah Damai. Presiden sudah harus menunjukan aspek kemanusiaan terhadap pentingnya perdamaian. Semua pihak bisa desak Presiden gelar perundingan.

Penulis adalah aktivis kemanusiaan asal Papua