Menolak Pasien Gara-gara Nomer Antrian

Logo Kantor Berita RMOLJatim
Logo Kantor Berita RMOLJatim

MIRIS melihat puskesmas jaman sekarang, terutama puskesmas di perkotaan. Salah satunya Puskesmas Balongsari, Kecamatan Tandes, Surabaya. Saat saya hendak memeriksakan anak, buru-buru ditolak dan disuruh datang besok pagi. Penyebabnya sepele, nomer antrian penuh. 

Hari ini, Senin (26/9) sekira pukul 14.30 saya mendatangi Puskesmas Balongsari untuk memeriksakan batuk anak saya. Cuma kali ini saya lupa mengambil nomer antrian di https://ehealth.surabaya.go.id/pendaftaran/

Biasanya setiap kali periksakan anak atau ibu ke puskesmas atau rumah sakit, saya selalu mendaftar di alamat situs tersebut. Tapi karena lupa, ya bagaimana lagi. 

Saat itu langsung periksa dadakan. Saat mendaftar ternyata penuh. 

Ditolak. 

Ada tulisan: silahkan memilih hari yang lain.

Dicoba lagi. Sama pesannya.

Oleh penjaga puskesmas berseragam dan bertuliskan Linmas saya disuruh datang lagi besok. 

"Saya daftarkan untuk besok ya pak. Kalau sekarang sudah penuh," kata pria tersebut.

"Sakitnya sekarang. Masa berobatnya besok. Apalagi besok anak saya mau ujian di sekolah," kata saya.

"Kalau sekarang sudah penuh pak," imbuhnya.

Penjaga puskesmas itu tidak bisa berbuat apa-apa. Entah dia mengikuti instruksi atasan atau improvisasi.

Lalu, saya tinggal. 

Cuma yang tidak habis pikir, begitu mudahnya Puskesmas Balongsari menolak pasien hanya gara-gara nomer antrian. Saya jadi bertanya-tanya, bagaimana seandainya ada orang sakit parah terus "diwajibkan" mengambil nomer antrian. Bila tidak punya nomer antrian pasien disuruh datang lagi besoknya. Ya, keburu modar. 

Apalagi saat itu saya melihat keadaan Puskesmas Balongsari sedang sepi. Yang terlihat cuma dua pasien saja. Sementara tiga orang penjaga loket yang mengurusi administrasi tidak melakukan apa-apa alias sedang santai-santainya. Entahlah jika di dalam ruang pemeriksaan para dokternya sedang sibuk memeriksa 100 pasien. 

Aneh saja melihat cara pelayanan Puskesmas Balongsari. Terlepas ada atau tidak adanya nomer antrian, seharusnya pihak puskesmas tidak boleh menolak pasien. 

Pasal 32 dan 190 UU Kesehatan no 36/2009 menyatakan “(1) Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta, wajib memberikan pelayanan kesehatan bagi penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan kecacatan terlebih dahulu. (2) Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka.” Sedangkan pasal 190 UU yang sama, mengatur tentang ancaman pidana bila dengan sengaja tidak memenuhi ketentuan pasal 32 tersebut.

Secara individual, dokter juga terkena kewajiban tersebut, lengkap dengan ancaman pidananya, sesuai UU Praktek Kedokteran 29/2004. 

Pertanyaannya apakah anak saya masuk dalam kondisi darurat? Kan tidak tahu. Bagaimana bisa tahu masuk kondisi darurat atau tidak jika dari luar loket sudah ditolak. Bagaimana dokter bisa tahu mana-mana pasien yang sakit ringan dan parah kalau belum periksa pasien. Bagi saya, yang namanya sakit ya tetaplah sakit. Yang merasakan tidak enak, tidak nyaman, dan terganggu kesehatannya, ya si pasien itu sendiri. Jelasnya, bagi orang sakit yang namanya sakit tetaplah parah dan tidak mengenakkan. Maka, tugas puskesmas maupun rumah sakit, sangatlah tidak etis menolak pasien untuk berobat. 

Sejauh ini pelayanan Puskesmas Balongsari belum memadai. Bukan dari sarana dan prasananya melainkan dari kualitas SDMnya. Hal ini memang tidak sesuai dengan komitmen Pemerintah Kota Surabaya dan Dinas Kesehatan yang menginginkan Puskesmas sebagai pusat pelayanan kesehatan bagi masyarakat Surabaya. Percuma Wali Kota Surabaya selalu gembor-gembor dengan instruksinya bahwa Puskesmas buka selama 24 jam. Dengan kejadian ini, sekiranya instruksi Wali Kota Surabaya sekedar lips service sebab tidak sesuai dengan fakta di lapangan. 

Saya jadi teringat dengan program Dinkes Kota Surabaya. Bahwa per 1 April 2021, warga Surabaya yang ingin berobat ke rumah sakit cukup dengan menunjukkan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Hal ini dikarenakan Kota Surabaya memasuki era Jaminan Kesehatan Semesta (JKS) atau Universal Health Coverage (UHC), yakni program yang menjamin semua orang mempunyai akses kepada layanan kesehatan yang dibutuhkan yang tidak menimbulkan kesulitan finansial bagi penggunanya.

Sayangnya, untuk mengakses program "menunjukkan KTP untuk berobat" tidak berlaku bagi Puskesmas Balongsari. Pasalnya, pasien tetap harus mengambil nomer antrian yang tercantum di situs ehealth.surabaya.go.id

Tulisan ini merupakan kritikan bagi pemangku pelayanan kesehatan di Surabaya khususnya Puskesmas Balongsari, agar ke depan lebih baik lagi dalam menerima dan menangani pasien.

* Wartawan Kantor Berita RMOLJatim