Tragedi Kanjuruhan

Supoter Arema ditembak gas airmata di Stadion Kanjuruhan/net
Supoter Arema ditembak gas airmata di Stadion Kanjuruhan/net

SEDIH melihatnya. Ratusan supoter Arema tewas di Stadion Kanjuruhan Malang.

Saat itu Arema FC menjamu Persebaya Surabaya pada pertandingan Liga 1, Sabtu (1/10). Pada pertandingan tersebut Arema ditekuk Persebaya dengan skor 2-3. Di sini munculnya kerusuhan. 

Jujur, saya suka menonton derby Jawa Timur ini. Selalu sengit.  Siapapun yang menang dan kalah, sama saja. Kedua tim memiliki sejarah panjang. Sama halnya dengan Persib Bandung dan Persija Jakarta. 

Sayangnya, para suporter Indonesia sejauh ini belum menunjukkan kedewasaan. Banyak kerusuhan terjadi ketika tim kesayangannya kalah.

Hingga kejadian Sabtu kelabu tersebut. Sebanyak 127 suporter tewas. Update terakhir disebutkan 153 nyawa melayang. Jumlah ini bahkan bisa bertambah. 

Sejarah mencatat, tragedi Kanjuruhan sebagai tragedi kedua korban suporter meninggal terbanyak dalam sejarah sepak bola dunia.

Tragedi pertama dengan korban superter meninggal terbanyak di Estadio Nacional, Lima, Peru pada 24 Mei 1964. Saat itu, korban meninggal mencapai 328 orang dan 500 lebih lainnya terluka.

Tragedi Kanjuruhan lebih banyak dari tragedi di Acara Sports Stadium, Accra, Ghana pada 5 September 2001 yang menelan 126 orang jiwa saat pertandingan derby Liga Utama Ghana, antara tuan rumah Hearts of Oak menjamu Asante Kotoko.

Sungguh tragis tragedi Kanjuruhan. Apalagi dalam kejadian ini ada seorang balita yang meninggal. Kemudian ada dua anggota polisi. Dalam hal ini memang tidak bisa semuanya disalahkan pada suporter. 

Tragedi ini tidak terlepas dari regulator PT LIB yang sembrono. Panpelnya yang mata duitan. Broadcasternya atau stasiun TV yang gila rating. Polisinya tidak tahu aturan. Dan, suporternya yang katro. Ini sungguh kombinasi mematikan. 

Untuk yang paling bertanggungjawab tentu yang pertama adalah polisinya. Bagaimana mungkin pengamanan di stadion membawa gas airmata. Padahal aturan FIFA pasal 19 melarang penggunaan gas airmata di dalam stadion. 

Larangan penggunaan gas airmata dikhawatirkan akan mengakibatkan korban jiwa. Yang dilarang dilanggar. Gas airmata ditembakkan ke arah tribun penonton. Korban panik. Berdesak-desakan keluar di lorong sempit. Terinjak satu sama lain. Hingga kehabisan oksigen. Terkena gas airmata saja sudah sulit bernafas, apalagi sampai berdesak-desakan mencari pintu keluar. 

Karena itu penyidikan bisa dimulai dari: kenapa polisi membawa gas airmata? kenapa penembakan gas airmata dilakukan di dalam stadion? kenapa ditembakkan ke tribun penonton? siapa yang memberi perintah menembakkan gas airmata?

Jelas ini adalah pembunuhan. Yang menembakkan harus dipidana. Yang memberi perintah harus mundur dan dihukum. 

Pelaku tidak lagi mempertimbangkan dampak dari perbuatannya. Pelaku tidak mempertimbangkan faktor keamanan. Pelaku sangat sembrono dan mengakibatkan ratusan nyawa melayang. Semua yang terlibat harus dihukum seberat-beratnya. 

Ini bukan lagi soal perseteruan antara Arema FC dan Persebaya Surabaya, melainkan sudah menyangkut kemanusiaan. Nyawa manusia hilang sia-sia. Dibunuh. Dihilangkan di depan mata kita. 

Seharusnya tragedi Kanjuruhan bisa dicegah kalau saja pihak penyelenggara bisa mempersiapkan segalanya dengan matang terutama dari sisi keamanannya. Apalagi ini merupakan pertandingan derby yang sarat gengsi, permusuhan dan kerusuhan. 

Ada meme menarik dicermati: jika sepakbola lebih mahal dari nyawa, maka kami lebih memilih hidup tanpa sepakbola.

Kantor Berita RMOLJatim mengucapkan turut berduka cita atas tragedi Kanjuruhan yang menewaskan ratusan suporter Arema. Semoga kejadian serupa tidak terulang di masa depan, khususnya di persepakbolaan Indonesia.

Wapemred Kantor Berita RMOLJatim