Membaca Ulang Revolusi 1945

Peneliti pada JPIPNetwork, Rosdiansyah/Ist
Peneliti pada JPIPNetwork, Rosdiansyah/Ist

PERBINCANGAN sejarah pertempuran Surabaya pada November 1945 tak akan pernah ada habisnya. Selalu bisa dibaca ulang bahkan ditafsirkan dengan berbagai bingkai. Utamanya, bagi sebagian besar dari kita menafsirkannya untuk kebutuhan menjaga semangat perjuangan arek-arek Suroboyo mempertahankan kemerdekaan yang sudah diproklamirkan pada 17 Agustus 1945.

Kita flasback sejenak. Sejak 31 Oktober 1945 suasana Surabaya tegang akibat terbunuhnya Brigjen AWS Mallaby sehari sebelumnya. Laksamana Mountbatten spontan kaget, tak menyangka perlawanan rakyat Surabaya begitu hebat. Sampai menewaskan Mallaby. Meski siapa pembunuh Mallaby dan juga bagaimana ia terbunuh, masih misteri. Memang pernah ada yang mengaku telah membunuh Mallaby, tapi pengakuannya masih layak dipertanyakan.

Sejarawan Inggris Richard McMillan dalam bukunya ''The British Occupation of Indonesia, 1945-1946'' (2005) menyebut beberapa faktor yang membuat Inggris gagap menghadapi situasi di Indonesia saat itu. Pertama, instruksi AS kepada Inggris begitu cepat mengakibatkan pengerahan pasukan ke lapangan sangat tergesa. Kedua, tak ada informasi intelijen memadai bagi Inggris sebelum masuk ke Indonesia. Ketiga, Inggris kelabakan meladeni taktik gerilya kota (urban guerilla tactics) yang meletus di Surabaya lalu merembet ke daerah-daerah lain.

Ada empat aktor utama dalam panggung Surabaya jelang revolusi November 1945. Pertama, pasukan Inggris yang baru tiba. Kedua, kehadiran tim Rehabilitation of Allied Prisoners of War and Internees (RAPWI) Belanda sejak 19 September 1945 di Surabaya. Ketiga, balatentara Jepang yang sudah kehilangan semangat berperang. Keempat, arek-arek Suroboyo yang umumnya bukan politisi atau elit politik. Keempat aktor ini saling mengembangkan pengaruh.

Sampai 10 November 1945, tak ada satu pun representasi partai politik dalam aksi massa revolusi di Surabaya. Sebab, partai-partai politik baru berdiri setelah Maklumat X dari Wakil Presiden Mohammad Hatta dikumandangkan 3 November 1945. Sejak itu, sejumlah partai kemudian berdiri. Seperti, Partai Masjumi 7 November 1945, PKI 7 November 1945, Parkindo 10 November 1945, Parsi (Partai Sosialis Indonesia) 10 November 1945, PNI 29 Januari 1946. 

Hakikat Revolusi

Kata ''Revolusi'' pertama kali merujuk pada gejolak sosial mewujud pada kerumunan para pekerja Paris yang menyerang penjara Bastille, pagi hari 14 Juli 1789. Bersama mereka, bergabung pula para serdadu desertir dari angkatan darat kerajaan Prancis. 

Jelang sore, tembok Bastille bobol, gubernur Paris terbunuh. Pada petang hari, Raja Louis XVI bertanya pada Duc de la Rochefoucauld. ''Apakah itu sebuah pemberontakan?''. Rochefoucauld spontan menjawab ''Bukan Tuanku, ini Revolusi!''.

Rochefoucauld menyadari, kerumunan itu bukan sedang protes kelangkaan roti atau gaya hidup mewah Marie Antoinette, sang Ratu. Melainkan, kerumunan turun ke jalan guna menunjukkan dukungan pada Dewan Nasional yang berisi perwakilan para profesional, tokoh publik serta pekerja. Begitu dewan ini didukung rakyat serta angkatan bersenjata yang mbalelo, maka berakhirlah tatanan lama sosial dan politik Prancis. 

Ada dua pandangan tentang revolusi. Pertama, pandangan heroik revolusi. Pandangan ini melihat massa bangkit guna menggusur pemimpin durjana sembari meraih kemerdekaan serta kedaulatan. Kekerasan tak bisa dihindari untuk menghancurkan rezim lama serta menyapu para pendukungnya. Visi ini dipromosikan pendukung revolusi Prancis dan Amerika, Thomas Paine dan Jules Michelet. 

Pandangan kedua, revolusi mendorong kekacauan atau chaos. Revolusi menghasilkan kekerasan, ketidakpastian, destruktif serta kematian. Para intelektual Inggris seperti Edmund Burke, THomas Carlyle sampai Charles Dickens melihat dampak buruk revolusi Prancis.

Dalam kenyataan, revolusi memang selalu menunjukkan dua wajah tersebut. Wajah heroik cuma wajah horor. Sehingga revolusi sering juga disalah-artikan sebagai pemberontakan. Walau keduanya jelas berbeda secara substantif. 

Ada dua komponen revolusi secara umum. Pertama, penolakan terhadap otoritas pemerintah yang ada dan kedua, upaya untuk menggantinya dengan pemerintah lain, di mana keduanya melibatkan penggunaan cara-cara ekstra-konstitusional. Dalam konteks ini, revolusi dan pemberontakan sama-sama punya tujuan negatif, penolakan total terhadap otoritas pemerintah, tetapi revolusi juga punya tujuan positif, yakni membentuk pemerintahan baru serta menggantikan pemerintahan yang telah dihancurkan.

Matthew Noah Smith pada artikelnya “Rethinking Sovereignty, Rethinking Revolution” dalam jurnal Philosophy & Public Affairs (2008) menyebut kaitan erat revolusi dan kedaulatan. Revolusi dibutuhkan untuk meraih kedaulatan bahkan untuk mempertahankannya. Memang akan timbul korban serta keguncangan sosial akibat revolusi. Struktur sosial-politik lama akan tersingkir atau minimal tak lagi punya pengaruh di atas panggung yang baru. Namun, kedaulatan yang tegak berkat revolusi lazimnya mengandung harapan kehidupan lebih baik.

Revolusi Surabaya

Oleh karena itu, dalam konteks masa kini, revolusi yang pernah terjadi di Surabaya perlu untuk dimaknai kembali. Setidaknya, upaya pemaknaan tersebut jangan terjebak ke dalam retorika heroik atau romantisme masa lalu. Bahwa telah terjadi pertempuran habis-habisan di Surabaya lalu menginspirasi daerah-daerah lain di Indonesia untuk melakukan hal serupa. Meski tak bisa dipungkiri, pertempuran total itu adalah fakta sejarah.

Berkaitan pada kedaulatan, revolusi Surabaya memberi inspirasi, bahwa kedaulatan adalah prioritas berbangsa. Daulat atas nasib sendiri, bukan ditentukan pihak asing manapun. Komunikasi dengan pihak asing bukanlah halangan untuk tetap berdaulat. Artinya, revolusi Surabaya bukanlah revolusi xenophobia (melihat asing sebagai ancaman) dan bukan pula revolusi fasisme. Justru revolusi Surabaya merupakan wujud nyata pembukaan UUD 1945. Kemerdekaan adalah hak segala bangsa. 

Kemerdekaan dan kedaulatan merupakan dua sisi revolusi Surabaya. Setelah merdeka wajib berdaulat. Kemerdekaan tanpa kedaulatan adalah mustahil, sedangkan kedaulatan tanpa kemerdekaan adalah omong kosong. Ketika kekuatan asing memaksakan kembalinya rezim lama, rezim kolonial, maka situasi itu merupakan ancaman nyata terhadap kemerdekaan sekaligus kedaulatan.   

Revolusi Surabaya berlangsung di saat elit politik di pusat sedang menata ketatanegaraan kita. Maka, revolusi ini awalnya terjadi spontan tanpa intervensi kepentingan elit politik yang sedang berbenah. Dari situasi ini bisa dilihat, bahwa bangsa kita mampu melakukan dua hal penting secara simultan. Di satu sisi menata pemerintahan, di sisi lain ada gairah mempertahankan kemerdekaan cum kedaulatan dari arus bawah.

Ada kepekaan masyarakat yang menciptakan revolusi Surabaya bersifat bottom-up, bukan revolusi top-down layaknya di negara-negara lain pada kurun sebelumnya. Revolusi bottom-up mempersyaratkan kesadaran (consciousness) yang sudah mengakar, lalu secara kapilar naik menjadi aksi massa. Kesadaran untuk tidak mau lagi berada di bawah 'Ancien Regime', rezim kolonial yang hendak kembali.

Ala kulli hal, sebenarnya masih banyak hal yang bisa digali sekaligus dikaji dari revolusi Surabaya secara komprehensif. Tentu saja, hasil-hasil kajian itu setidaknya bisa menjadi rujukan bagi kita bagaimana menghadapi geopolitik dunia yang selalu dinamis.

Peneliti pada JPIPNetwork