Kekosongan Hukum Kasus Indra Kenz

Dosen Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta, Bakhrul Amal/RMOL
Dosen Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta, Bakhrul Amal/RMOL

PERKARA judi online yang melibatkan Indra Kenz telah selesai diputus. Tidak tanggung-tanggung putusan terhadap kasus judi berselimut investasi itu berujung pada pidana penjara hingga 10 (sepuluh) tahun. 

Akan tetapi di tengah putusan yang dianggap telah memenuhi rasa keadilan tersebut ternyata masih menyisakan tanda tanya bagi beberapa pihak. Pihak yang dimaksud adalah korban investasi bodong atas kasus tersebut. Pertanyaan mereka bukan soal berat ringannya hukuman.

Bukan pula soal beban ganti rugi yang ditanggung terpidana. Tetapi mereka memberi tanda tanya besar soal benda atau barang bukti yang kemudian disebutkan di dalam putusan "dirampas untuk negara".

Ekspresi kecewa korban kemudian viral di dunia maya. Mereka menangis dan mengharapkan apa yang telah hilang darinya dapat kembali.

Kekuatan Eksekutorial Putusan

Sebenarnya, jika kita telisik lebih jauh, apa yang dilakukan oleh Majelis adalah hal yang tepat. Tepat disini bukan dimaknai dalam tinjauan sisi substansi tetapi ditinjau dari sisi keadilan formal.

Secara sifat, putusan hakim memiliki kekuatan eksekutorial. Artinya adalah putusan hakim memiliki kekuatan untuk dilaksanakan sesuai dengan apa yang ditetapkan dalam putusan itu secara paksa oleh alat-alat negara.

Oleh sebab kekuatan eksekutorial di atas maka putusan hakim harus terang dan jelas. Terang dan jelas disini maksudnya adalah tidak multi tafsir, tidak membuat keragu-raguan, ataupun juga tidak menimbulkan permasalahan baru di kemudian hari.

Putusan Berdasar UU

Selain putusan memiliki kekuatan eksekutorial, putusan hakim juga dipandu oleh undang undang. Itulah yang dikenal dengan asas pembuktian negatif. Dimana hakim ketika memutuskan tidak hanya berdasarkan keyakinan belaka tetapi harus sesuai dengan undang-undang.

Terkait barang bukti di dalam KUHAP dijelaskan bahwa hakim berhak melakukan tiga hal. Pertama benda itu dikembalikan kepada yang berhak dengan cara pihak-pihak yang berhak itu harus disebut di dalam putusan. Kedua dirampas untuk negara yang nantinya dirusak atau dimusnahkan hingga tidak dapat lagi digunakan. Atau ketiga, yakni benda itu dirampas sebab masihi dipergunakan untuk perkara yang lain.

Dari sisi eksekutorial dan sisi pembuktian negatif maka ditemukanlah bahwa makna jelas dan terang perihal barang bukti adalah, jika dikembalikan maka harus disebutkan "barang bukti apa yang dikembalikan" dan "dikembalikan kepada siapa". Selain itu putusan pengembalian barang bukti itu juga harus memuat dasar berupa alat bukti kenapa barang bukti itu harus dikembalikan kepada pihak terkait.  

Barang Bukti Berselimut Investasi

Perkara judi berselimut investasi harus dibedakan dengan perkara pencurian biasa. Pertama perkara tersebut dilakukan secara online. Kedua, tansaksi yang dilakukan biasanya melalui mekanisme elektronik.

Hal itu tentu berbeda dengan pencurian biasa, semisal pencurian sepeda motor. Dimana di dalam pencurian sepeda motor biasanya pihak korban atau pihak yang memiliki sepeda motor mempunyai alat bukti kepemilikan, entah itu STNK ataupun BPKB. Sehingga dengan hal tersebut hakim akan lebih mudah dalam memutus barang bukti sepeda motor tadi untuk dikembalikan kepada yang berhak.

Selain itu jumlah pencurian biasa pun biasanya tidak melibatkan banyak pihak. Barang bukti yang diperoleh Aparat Penegak Hukum dengan jumlah korban yang melapor sama. Tentunya setelah disesuaikan dengan alat bukti yang dimiliki dan barang bukti yang diperoleh Kepolisian.

Perkara judi berselimut investasi bukanlah perkara yang sederhana. Barang bukti kejahatan yang diperoleh Aparat Penegak Hukum jumlahnya diketahui mencapai ratusan miliar. Dari mulai barang bukti yang telah berbentuk aset maupun yang ada di dalam rekening.

Sementara di sisi lain jumlah korban yang melaporkan dengan jumlah barang bukti yang ditemukan nilainya berbanding jauh. Oleh sebab itu jika Majelis harus menyebutkan bahwa barang bukti itu "dikembalikan" di dalam putusan, maka putusan tersebut berpotensi menimbulkan masalah baru dalam proses eksekusi.

Setidaknya muncul pertanyaan dikembalikan kepada siapa saja? Berapa masing-masing jumlahnya? Jika kemudian muncul selisih maka sisanya bagaimana?

Atas dasar pertimbangan itu maka hakim memutuskan barang bukti tersebut dirampas untuk negara. Harapannya barang bukti itu nantinya dikelola negara agar dapat dikembalikan kepada yang berhak. Tata cara pengembaliannya adalah dengan melapor kepada aparat penegak hukum pelaksana eksekusi, sembari melampirkan alat bukti yang jelas dan terang bahwa dia memang sebagai korban.

Inilah yang dinamakan bahwa putusan itu tidak melihat dari sebatas sisi keadilan belaka. Tetapi harus memperhatikan pula kepastian hukum dan kebermanfaatanya.

Kekosongan Hukum

Problem demikian sesungguhnya telah terjadi kisaran sepuluh tahun terakhir. Sebelumnya adapula korban kasus investasi bodong bermodus koperasi, real estate, perkebunan, kasus penipuan bermodus tour and travel, yang memuat putusan serupa. Putusan "dirampas untuk negara" dan menimbulkan kegelisahan korban.

Hal ini semestinya segera diatasi dengan dua hal. Pertama hakim diberikan kebebasan untuk menemukan hukum (rechtsvinding) melalui mekanisme judicial activism. Atau kedua, yakni Pemerintah maupun Legislatif membuat aturan baru terkait pengelolaan barang bukti secara khusus, utamanya manakala jumlah barang bukti yang ditemukan memiliki selisih atas jumlah korban yang melaporkan.