Sunyi Senyap: Antikorupsi pada Pemilihan Rektor

Soeyanto Soe/Net
Soeyanto Soe/Net

BERITA penangkapan Rektor Universitas Lampung beberapa waktu lalu menggemparkan jagat akal sehat kita. Menampar marwah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Komitmen Good Governance kementerian yang dipimpin Nadiem Makariem ini jadi terlihat jauh panggang dari api.

Boro-boro ingin memperbaiki mutu akademik, membenahi mental pimpinan lembaga pendidikan saja Nadiem terkesan asal-asalan. Tidak ada konsep kepedulian yang jelas untuk memilih pejabat-pejabat yang bersih.

Betapa tidak, Karomani, sang rektor tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Empat tersangka sudah digelandang ke persidangan. Jumlahnya bisa saja bertambah karena kasus penyuapan ini berbentuk kejahatan berjemaah.

Karomani tidak sendiri. Dus perlu dicatat pula: untuk sah sebagai rektor, Nadiem Makarim-lah yang melantik Karomani. Akankah besok-besok ada lagi rektor-rektor era Nadiem yang menyusul ditangkap KPK?

Praktik-praktik suap penerimaan mahasiswa baru ala kasus Karomani sebenarnya sudah menjadi rahasia umum di berbagai universitas di Indonesia. Para orang tua aktif bisik-bisik menjelang tahun ajaran baru. Kasuk-kusuk mencari celah agar anaknya yang dungu itu terjamin kuliah di perguruan tinggi negeri. Mereka tebal harta tetapi tipis martabat.

Dilalah publik pun tidak banyak berkomentar. Hanya satu-dua yang mengungkapkan keprihatinan. Bahkan kasus Sambo yang gemerlap saja, daya tahan publik tidak terlalu kuat mengikuti proses persidangan. Padahal kasus-kasus semacam ini berpengaruh pada karakter dan peradaban kita. Atau mungkinkah karakter bangsa ini sesungguhnya telah betul-betul pragmatis?

Kita sudang jarang sekali bicara kualitas etik. Bicara akhlak. Kita hanya melulu dicekoki ajaran agama yang terkait surga-neraka. Kita gemar bicara pengadilan akhirat. Namun kita lalai pada urusan-urusan hukum duniawi. Kita sibuk merayu Tuhan dengan ibadah tetapi mengutil, menilap, menipu, dan mencopet kita juga rajin. Sehingga uang haram pun kita pakai untuk amalan-amalan ilahiyah. Kalau sudah urusan uang haram, kita jago belagak pilon.

Itulah mengapa kementerian dan dunia kampus juga senyap dalam bicara gerakan anti-korupsi. Unila yang sekarang harus menggelar pemilihan rektor dipercepat, gaung anti-korupsi juga tak terdengar dari kalangan internal kampus.

Tatkala tahapan-tahapan pemilihan dilakukan, visi-misi hanya memunculkan perang gagasan terkait kinerja rektorat. Kinerja yang lebih mengacu pada level tukang, level pekerja, bukan level akademik.

Andai para calon rektor itu lebih fokus pada kinerja akademik, sedikit banyak mereka pasti akan bicara juga tentang gagasan anti-korupsi di kampus. Mengingat dunia akademik itu inheren dengan standar moral dan komitmen etik. Apalagi Unila sedang mempunyai permasalahan hukum dengan KPK. Wacana anti-korupsi tidak harus muncul dari calon rektor semata tetapi semestinya publik dan kalangan akademisi seluruh Indonesia juga mengulik dan menggugat.

Pun begitu, di puncak kekuasaan sana, kementerian harus menjadi pengibar bendera mengangkat corong. Memberi sabda anti-korupsi. Terutama pada momen-momen dan situasi seperti ini. Mewanti-wanti agar pemilihan rektor setransparan mungkin. Menghalau semua gelagat korup. Ini malah Kementerian mendadak gagap. Lidahnya kelu. Tampak bingung dan cemas kalau-kalau kasus Karomani menjadi avalanche meluluhlantakkan jajaran Kemendikbudristek.

Apa daya. Jangankan kementerian dan publik seluruh Indonesia, para akademisi internal Unila saja bungkam. Mungkin sudah bergerombol menjadi tim sukses masing-masing calon rektor. Mungkin karena di kalangan dosen-dosen senior, sejak lama mereka sudah terbiasa menikmati politiking ala kampus. Akan tetapi di mana suara-suara dosen muda? Hening total. Sudah terkontaminasi jugakah mereka?

Guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Agaknya seperti inilah wujud para dosen muda. Hampir semua universitas di Indonesia membungkam suara mereka. Ketakutan yang ditebarkan oleh dosen-dosen tua yang rutin menjilat kekuasaan, membuat mereka tidak berani bersuara kritis. Harumnya prestise jabatan membuat mereka mabuk. Lupa kalau mereka adalah kaum akademik. Lupa kalau mereka bukanlah tukang. Mereka malah mewujud selaksa politisi dan centeng.

Dosen-dosen muda ini lebih asik menyemai kepatuhan pada mahasiswa-mahasiswanya. Budaya feodal ditumbuhkan habis-habisan. Budaya menulis nol. Budaya debat minus. Nilai akademik hanya sebatas kertas. Hanya untuk gagah-gagahan sang dosen sebagai penetap nilai hasil belajar. Mahasiswa pun dinilai sikapnya. Jika tidak tunduk dan patuh, jika tidak bermanis-manis, jangan harap dapat nilai A. Secerdas apapun dia. Begitu pula sebaliknya, bila penurut, mahasiswa maha bodoh pun bisa memperoleh nilai terpuji.

Fenomena-fenomena semacam yang tidak pernah diselami oleh kementerian. Nadiem hanya sibuk mengurus teknologi pendidikan dan angka-angka tetapi bengong dalam melihat pembentukan karakter.

Pemilihan rektor seharusnya disikapi secara serius dan sungguh-sungguh. Rektor yang baik bukanlah urusan KPK. Rektor yang baik itu tanggang jawab utama ada di pundak sang pelantiknya.

Mengapa? Karena rektorlah faktor determinan dalam membentuk budaya kampus. Dia yang akan memberi arah peningkatan mutu akademik. Dia yang akan membangun kampus yang berorientasi riset. Dia yang akan memberi contoh mahasiswa dalam membangun mental mengabdi pada rakyat sebagai cara mencintai bangsa dan negaranya. Membangun peradaban yang berbasis scientific!

Nah, jika di Indonesia ini ternyata ada banyak Karomani-Karomani yang lain, betapa hancurnya masa depan bangsa ini. Kita akan dibebani mahasiswa-mahasiswa pas-pasan yang hanya tahu bagaimana merampas hak orang lain.

Mahasiswa yang sejak awal sudah belajar mentolerir ketidakadilan. Manusia-manusia yang menggampangkan proses. Mahasiswa-mahasiswa yang berjiwa pragmatis. Mereka sudah dipastikan akan lebih rajin berusaha menyogok dosen-dosennya daripada belajar giat dan tekun.

Maka sudah waktunya Kemendikbudristek berbenah. Betul-betul komit untuk hal-hal pencegahan korupsi. Pemilihan rektor harus dikawal dengan kecermatan tinggi. Rapat Senat Unila sudah menetapkan tiga calon rektor pengganti Karomani. Mereka semua (Asep Sukohar, Lusmeilia Afriani, dan Suharso) tersebut namanya dalam sidang pengadilan.

Kementerian mesti bisa menelisik dan mendukung yang relatif terbersih: yang bukan antek Karomani dalam menikmati uang haram. Yang bukan kaki-tangan ataupun penyetor uang-uang siluman.

*Penulis adalah Consultant Director Citra Indonesia.