Oleh-oleh HPN Medan, Kisah Dramatis Bapak Jurnalisku Bambang Eka Wijaya

Herman Batin Mangku (berkacamata) disamping Bambang Eka Wijaya saat uji kompetensi wartawan di PWI Lampung/Net
Herman Batin Mangku (berkacamata) disamping Bambang Eka Wijaya saat uji kompetensi wartawan di PWI Lampung/Net

DI KEMERIAHAN HPN Tahun 2023, saya menemukan jejak jurnalis senior Bambang Eka Wijaya (BEW) di Kota Medan. Ternyata, BEW satu-satunya orang yang pernah mendamaikan perseteruan "dua gajah" Kota Medan.

Keduanya adalah Sahara Oloan Panggabean atau biasa dipanggil Olo yang dijuluki "Goodfather" dengan Gerard Mulia (GM) Panggabean yang merupakan bos media paling berpengaruh.

Keduanya berseteru hebat ketika Pendiri dan Pemimpin Umum Surat Kabar Harian Sinar Indonesia Baru (SIB) GM Panggabean memberitakan maraknya praktik judi di Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2004-an.

Pada masa itu, masyarakat dikejutkan dengan penyerbuan belasan orang ke Kantor Harian SIB di Jalan Brigjen Katamso, Medan. Mereka menghancurkan kaca meja administrasi, tamu, dan ruang iklan di lantai dasar.

Aksi gerombolan bertubuh kekar dan berpenampilan rapih berlanjut dengan mengobrak-abrik peralatan kerja. Mereka juga memukuli tujuh karyawan yang tidak sempat lari pada tengah malam usai "deadline".

Masyarakat dan stakeholder terbelah dua menyikapi kasus ini. Tak ada yang bisa mendamaikan kedua tokoh yang sama-sama bermarga Panggabean tersebut. Suasana Kota Medan sempat tegang. Bisa dibilang, wartawan vs preman.

Saat panas-panasnya itu, ada satu nama yang dinilai bisa mendamaikan perseteruan "kedua gajah", yakni Bambang Eka Wijaya, Pemimpin Umum Harian Lampung Post. BEW diminta para tokoh Medan mendamaikan keduanya.

Ternyata, sebelum singgah di Lampung Post, BEW pernah menjabat redaktur pelaksana (Redpel) SIB hingga tahun 1985 dan kenal baik dengan Olan. BEW merintis karir jurnalistiknya mulai dari reporter di SIB pada tahun 1970.

Kisah ini, saya tak pernah dapatkan dari BEW. Tahun 2004, saya sudah tak lagi bersamanya di Harian Lampung Post. Secara tak sengaja, saya mendengarnya saat "breakfast" di Hotel Swil Bell, Jalan Gajah Mada, Medan, Rabu (8/2).

Saat sarapan itu, Amirudin Sormin bercerita bahwa dirinya pernah diamanatkan memuat tulisan "Buras" yang sudah distok sepekan oleh BEW karena dirinya diminta terbang ke Medan untuk mendamaikan kedua tokoh berpengaruh di kota tersebut.

Tak hanya keberhasilannya mendamaikan keduanya, BEW juga tak pernah bercerita tulisan kolomnya pada halaman satu "Selamat Pagi" di Harian Nasional "Prioritas" milik Surya Paloh juga sempat dinilai paling berani menyindir Cendana pada masa Orde Baru.

Sejak kenal dengannya 1Juni 1993 sampai hari ini di Harian Lampung Post, saya tak pernah dengar dirinya bercerita tentang nyawa yang beberapa kali sudah sampai di lehernya dalam perjalanan jurnalistiknya. Banyak yang mampir di telinga saya, kisah-kisahnya.

Namun, saya tak mau mengkonfirmasinya. Bagi saya, cukup hanya mengamati produktivitas dan bernasnya dalam menulis kolom. BEW guru bagiku. Dia penyemangat awal karya tulisku berupa feuters tentang banyak hal: budaya, sejarah, dan lainnya.  

BEW juga teladan. Dia telah mewarnai banyak jurnalis yang bernas dalam berkarya, namun rendah hati dalam pergaulan. Sakitnya beberapa tahun ini memaksanya tak bisa melanjutkan Burasnya yang sempat bertahun-tahun tak pernah absen sehari pun di Harian Lampung Post.

Di saat meriahknya HPN 2023, BEW masih terbaring melawan sakitnya di rumah. Dia tak bisa lagi melihat, namun penyakitnya tak bisa menghapus senyumnya yang selalu tulus kepada setiap orang.

"Kondisi Ayah masih cuci darah rutin, Ayah nggak bisa melihat, sekarang di rumah aja," ujar Dede Safara, sang putra.

Terimakasih guruku dan teladanku. Selamat HPN 2023, Pak! (tak terasa setetes air mata jatuh usai mengetik oleh-oleh tersisa dari Medan ini).

*Anggota PWI Lampung dan Pengurus JMSI Pusat.