Putusan PN Jakpus Ciptakan Kekacauan Ketatanegaraan

Ilustrasi/Net
Ilustrasi/Net

Pakar Hukum Tata Negara dan Konstitusi Universitas Muslim Indonesia, Dr. Fahri Bachmid berpendapat bahwa putusan PN Jakarta Pusat soal gugatan Partai Prima bercorak ultra vires dan potensial menciptakan kekacauan ketatanegaraan.


“Secara hukum, putusan hakim dalam perkara No 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst adalah ultra vires” atau dengan kata lain ”beyond the power” sehingga konsekuensi yuridisnya dari status putusan yang demikian ini adalah bersifat ”null and void” atau bersifat ”van rechtswege nietig/null end void”, sehingga tidak dapat dieksekusi,” kata Fahri Bachmid dalam keterangan tertulis dimuat Kantor Berita Politik RMOL, Kamis (2/3).

Menurutnya, hal tersebut menjadi penting untuk melindungi kesisteman kerangka hukum Pemilu, berdasarkan desain konstitusional Pemilu yang berlaku saat ini, yang mana berdasarkan bangunan hukum penyelesaian sengketa Pemilu sesuai UU 7/2017 tentang Pemilu, telah mengatur dan membagi frame penegakan hukum menjadi 2 (dua) jenis yaitu Pelanggaran dan Sengketa.

Dijelaskan Fahri, Pelanggaran di dalam UU Pemilu sendiri terbagi menjadi tiga jenis yaitu Pelanggaran Administratif, Pelanggaran Kode Etik dan Pelanggaran Pidana, sedangkan untuk Sengketa terbagi menjadi dua yaitu Sengketa Proses dan Sengketa Hasil.

“Secara teknis sesungguhnya UU Pemilu telah mengkonstruksikan saluran hukum penyelesaian jika terdapat permasalahan berupa ”dispute” baik pelanggaran maupun sengketa,” katanya.

Fahri menambahkan, secara spesifik UU Pemilu memberikan otoritas yang berbeda-beda sesuai dengan kompetensinya dalam penyelenggaraan pemilihan umum kepada Bawaslu, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Pengadilan Negeri (PN), Mahkamah Agung (MA) dan Mahkmah Konstitusi (MK) serta Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).

Fahri Bachmid berpendapat, bahwa penyelesaian Sengketa Proses Pemilu merupakan kewenangan dari Bawaslu dan PTUN sebagaimana diatur dalam ketentuan norma Pasal 467 ayat (1) yang mengatur (1) Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan Bawaslu Kabupaten/Kota menerima permohonan penyelesaian sengketa proses Pemilu sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU Keputusan KPU Provinsi, dan keputusan KPU Kabupaten/Kota.

“Putusan pengadilan ini jika diterapkan, maka konsekwensinya sangat serius, yaitu potensial menciptakan kekacauan ketatanegaraan,” ujarnya menekankan.

Kekacauan itu diantaranya, kekuasaan pemerintahan baik presiden maupun lembaga-lembaga negara lainya seperti DPR, DPD, MPR, akan kehilangan legitimasinya. Sebab, jelas Fahri, pemilu tidak dapat diselenggarakan sesuai agenda konstitusional. Misalnya, Presiden RI akan berakhir masa jabatannya pada 20 oktober 2024, dan tidak ada pelantikan presiden yang baru berdasarkan mandat rakyat melalui suatu pemilihan umum yang legitimate.

“Sebab UUD 1945 tidak memberikan jalan keluar jika Pemilu tidak dapat dilaksanakan tepat waktu, atau tidak ada presiden yang terpilih sesuai agenda Pemilu yang telah ditetapkan, ini akan menjadi suatu keadaan kebuntuan konstitusional, ini sangat riskan, dan taruhannya terlalu mahal, itu salah satu impact yang cukup serius jika mengikuti nalar dari putusan ini,” paparnya.


ikuti update rmoljatim di google news