Rangkap jabatan yang terjadi pada sejumlah pejabat Kementerian Keuangan (Kemenkeu) perlu ditelusuri lebih mendalam.
- Sukses Kendalikan Inflasi, Banyuwangi Dapat Insentif Rp.9 Miliar dari Kemenkeu
- Laporan Kemenkeu: Setoran Pajak Capai Rp 1.387 T pada September 2023
- Aset Negara 11.000 Triliun Bisa Dioptimalkan untuk Ekonomi Indonesia
Anggota Komisi XI DPR RI, Hendrawan Supratikno menuturkan, setidaknya ada tiga aspek yang bisa menjadi acuan dalam menelusuri rangkap jabatan pejabat Kemenkeu.
“Apa penyebab rangkap jabatan tersebut? Sebagai pejabat ex-officio, sebagai pejabat karena ada hubungan kerja kelembagaan, atau penempatan untuk mengamankan pendapatan?” kata Hendrawan melansir Kantor Berita Politik RMOL, Senin (6/3).
“Yang terakhir dilakukan karena gaji di tempat kerja, utamanya disadari gajinya belum memadai,” katanya.
Merujuk data Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas Fitra) tahun 2022, disebutkan ada 39 pejabat Kemenkeu yang melakukan rangkap jabatan. Disinggung soal data tersebut, politisi senior PDI Perjuangan ini mengatakan bahwa rangkap jabatan di beberapa sektor memang diperbolehkan oleh undang-undang.
"(Misalkan) Deputi Gubernur BI dan Wamenkeu yang duduk sebagai komisioner di OJK, itu perintah UU. Jadi, secara selektif-kualitatif bisa dibenarkan. Parameter utamanya adalah kontribusi terhadap sinergi, produktivitas, dan penciptaan nilai tambah. Jadi Fitra perlu memberi rincian lebih jelas (soal duduk masalahnya),” tutupnya.
- Sukses Kendalikan Inflasi, Banyuwangi Dapat Insentif Rp.9 Miliar dari Kemenkeu
- Laporan Kemenkeu: Setoran Pajak Capai Rp 1.387 T pada September 2023
- Aset Negara 11.000 Triliun Bisa Dioptimalkan untuk Ekonomi Indonesia