Dosen Unair: Polemik Piala Dunia U20 Sikapi dengan Kedepankan Nilai Kemanusiaan

Ilustrasi / net
Ilustrasi / net

Dosen Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga, Airlangga Pribadi Kusman Ph.D, mengatakan, pernyataan sikap sejumlah pihak soal penolakan terhadap Israel untuk tampil di Piala Dunia U20 perlu disikapi secara jernih dengan mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan. 


“Saya memandang bahwa sikap penolakan tersebut dapat dibenarkan berdasaarkan beberapa pertimbangan yang jernih,” ujar Airlangga kepada media, Rabu (30/3/2023).

Airlangga mengatakan, Indonesia memiliki UUD 1945 yang dimaknai sebagai “kontrak sosial” dan di dalamnya tertera rasionalitas dari tujuan bernegara. Dalam pembukaan UUD 1945 telah jelas ditegaskan bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.

“Prinsip universal kemanusiaan yang tertera dalam konstitusi 1945 tersebut menjadi pijakan tertinggi kita untuk menolak kedatangan tim Israel, karena secara faktual Israel masih melakukan berbagai bentuk penindasan terhadap bangsa Palestina,” ujar Airlangga.

Sikap tersebut juga telah dicontohkan oleh pendiri republik sekaligus Presiden Pertama Ir Sukarno saat menolak kedatangan atlet Israel dalam ajang Asian Games di Jakarta pada 1962 maupun melarang tim sepakbola Indonesia bertanding dengan Israel pada tahun kualifikasi Piala Dunia 1958.

“Apabila penegasan historis itu disanggah karena zaman telah berubah dari era tersebut, maka satu hal yang tetap bahwa nasib warga Palestina secara faktual masih tidak dapat menjadi tuan di tanah airnya sendiri dan tidak menjadi lebih baik semenjak peritiwa pengusiran mereka oleh Israel yang dikenal dengan peristiwa Nakba 1948, maupun pada era Sukarno. Artinya pesan Bung Karno yang sesuai amanat Konstitusi 1945 masih relevan hingga saat ini,” papar Airlangga.

Dia menjelaskan, apabila publik menimbang sejarah kemerdekaan Indonesia, pengakuan kemerdekaan RI mendapatkan dukungan dari berbagai negeri yang jauh jaraknya seperti Mesir, Suriah, Lebanon, Irak, dan Vatikan.

“Sehingga dukungan Indonesia terhadap kemerdekaan Palestina yang jauh letaknya dari Indonesia memiliki makna penting bagi perjuangan rakyat Palestina. Argumen ini penting untuk mematahkan pandangan bahwa Palestina yang jauh letaknya dari Indonesia tidak perlu dibela kemerdekaannya,” tuturnya.

Airlangga juga mengajak publik untuk memahami perjalanan sejarah dunia di mana banyak pula event-event olahraga internasional tidak dilepaskan dari sikap politik.

“Salah satunya dapat kita temukan pada sikap terhadap rezim apartheid rasialis Afrika Selatan. Dunia internasional konsisten melakukan boikot terhadap tim nasional Afrika Selatan, yang mana selanjutnya sikap-sikap tersebut turut berkontribusi terhadap perjuangan penghapusan apartheid di sana,” ujarnya.

Airlangga melihat sikap yang diambil oleh PDI Perjuangan, kalangan elite, dan ormas-ormas masyarakat telah memberi pesan penting kepada komunitas internasional, bahwa terkait dengan masih bercokolnya penjajahan terhadap Palestina oleh Israel, maka kekuatan politik utama di Indonesia masih dengan tegas menolaknya. 

“PDI Perjuangan telah menempatkan diri sebagai kekuatan politik utama di Indonesia yang memberikan pembelaan terhadap kemerdekaan Palestina secara de jure maupun de facto,” jelas Airlangga.

Sehubungan dengan perbedaan sikap antara Presiden Joko Widodo dan PDI Perjuangan, Airlangga melihat secara prinsip tidak ada perbedaan di dalamnya karena keduanya berangkat dari pembelaan yang sama atas kemerdekaan Palestina dan penolakan terhadap imperialisme Israel.

“Kesemuanya memperlihatkan bahwa bangsa Indonesia maupun kekuatan politik di Indonesia masih menjunjung tinggi prinsip anti-penjajahan seperti amanah konstitusi maupun pesan dari Bung Karno,” pungkas Airlangga.