Pledoi Pengemplang Pajak, Tuntutan JPU Berdasar Saksi Ahli, Tapi Tak Pernah Dihadirkan Selama Sidang

Pengadilan Negeri Mojokerto mengelar sidang dengan agenda pledoi terakhir, terkait kasus dugaan pengemplangan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) senilai Rp 2,5 miliar. Dengan terdakwa Ronny Widharta, mantan pimpinan PT Sinar Pembangunan Abadi (SPA).


Menurut Ketua Tim Kuasa Hukum terdakwa, R Fauzi Zuhri dalam persidangan di Ruang Cakra Pengadilan Negeri Mojokerto. Jaksa tidak memahami, pokok masalah tentang perpajakan.

'"Perkara ini hanya pelaporan pajak tidak lengkap, seharusnya dapat diselesaikan melalui pembayaran. Apalagi perusahaan sudah dinyatakan pailit oleh negara, jadi tidak ada alasan untuk diajukan peradilan pidana," ujarnya dikutip Kantor Berita RMOLJatim, Jumat (7/4).

Sementara terdakwa Ronny Widharta dalam pembelaan pribadinya, mengaku tidak pernah mendapat teguran atau himbauan dari Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Kalau memang dirinya ada indikasi 'nakal', maka seharusnya KPP melakukan hal itu sebagai SOP fungsi pengawasan.

Ronny mengingatkan, dalam asas perpajakan pasal 37, 38 dan 39 tentang Ultimatum Remidium UU No 7 Tahun 2021, menegaskan wajib pajak yang melunasi pokok dan sanksi dapat terhindar dari pidana dan tahun persidangan.

Dan sesuai fakta selama persidangan, Ronny menambahkan, selama tahun 2019 telah terungkap kalau perusahaannya dan dirinya pribadi sudah dinyatakan pailit bersama segala akibat hukumnya secara Incrah.

Berdasar Peraturan MA no 13 tahun 2016  pasal 8 ayat 1 korporasi yang telah pailit, setelah terjadinya tindak pidana tidak dapat dipidana.

"Ditegaskan di ayat 2, gugatan terhadap aset tersebut dapat diajukan terhadap mantan pengurus, ahli waris atau pihak ke 3 yang menguasai aset tersebut. Bukan terhadap saya, apalagi dengan dalih pidana," tuturnya.

Seharusnya, tuntutan mengenai hak dan kewajiban yang menyangkut harta pailit harus diajukan oleh atau terhadap kurator  berdasar UU no 37 tahun 2004 pasal 26 ayat 1," katanya.

Ronny juga mengutip UU no 1 tahun 2004  kerugian negara adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya akibat perbuatan melawan hukum baik senagaja maupun tidak.

"Kalau KPP tidak menerbitkan SKP (Surat Ketetapan Pajak),lalu bagaimana bisa dikatakan hutang pajak yang nyata dan pasti jumlahnya, yang dapat disebut menimbulkan kerugian negara?," tukasnya.

Sebab bila itu dipaksakan, lanjut Ronny maka sesuai Dasar Sema no 4 tahun 2016  poin 6 disebutkan, Instansi yang berwenang menyatakan adanya kerugian negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sehingga instansi lainnya tidak berwenang Mendeclare adanya kerugian negara.

Ronny juga menyinggung tuntutan JPU yang hanya  berdasar keterangan saksi ahli pajak, tetapi dalam persidangan, saksi ahli pajak tersebut justru tidak pernah dihadirkan.

"Terkesan tuntutannya berat sebelah, sehingga saya tidak bisa melakukan pembelaan. Lalu azas keadilan bagi saya mana?," ucap Ronny seraya bertanya.