Santri Indonesia Kian Terancam!

Abd. Aziz/ist
Abd. Aziz/ist

SUNGGUH kaget (shock) membaca putusan Pengadilan Negeri Kepanjen Malang, Nomor: 3/Pid.Sus-Anak/2023/PN Kpn, yang mengadili perkara pidana kekerasan pada anak saya, DFA (12th) yang memutus bebas terhadap pelaku KR (13th) dengan mengembalikan pada kedua orang tuanya. 

Padahal, dalam putusan, KR terbukti melanggar Pasal 76 C junto Pasal 80 ayat (1) Undang-undang No. 35 Tahun 2004 Tentang Perubahan atas Undang-undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Artinya, KR secara sah dan meyakinkan dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana kekerasan terhadap anak.

Lebih dari itu, anak saya yang menjadi korban telah mengalami luka memar pada kepala, wajah, kedua belah mata, teling kiri, dada, perut, dan anggota gerak atas kiri, yang bersifat berat bagi tubuh dan secara psikis mengakibatkan trauma yang berkepanjangan. Hingga kini, DFA memilih tidak kembali ke Pondok (berhenti), dan belum bersedia mengikuti Sekolah formal kembali, belajar di rumah berbasis keluarga (homeschooling).

Sebagai orang tua, terlebih anak saya yang merasakan langsung kekerasan (penyiksaan) yang dilakukan oleh pelaku KR (13th) di Sekolah Menengah Pertama (SMP) di bawah naungan Pondok Pesantren di kawasan Kabupaten Malang, Jawa Timur hingga mengakibatkan luka berat, menyatakan bahwa putusan tersebut melabrak logika akal sehat. Setidaknya terdapat sembilan catatan saya sebagai orang tua korban.

Pertama, membuat saya (sebagai orang tua korban) kecewa, terlebih anak saya sebagai korban, seketika sedih, meneteskan air mata dan begitu pilu saat mendengar bebasnya pelaku. Juga, kurang elok, sidang putusan yang terbuka untuk umum itu, saya sebagai orang tua korban, tidak diberitahu untuk sekadar turut mendengarkan dan menyaksikan pembacaan putusan hakim tunggal secara langsung.

Kedua, mengabaikan fakta-fakta hukum, terutama bukti yang memberatkan terhadap pelaku, yakni adanya Visum et Repertum No. 11557637, yang menyebutkan patahnya tulang hidung korban, yang dibuat dan ditandatangani oleh dokter Dwi Fitrianti Arieza Putri, dokter spesialis Forensik pada Rumah Sakit Umum Daerah dr. Saiful Anwar Malang. 

Ketiga, mengabaikan Pasal 70 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang menyebutkan bahwa, ringannya perbuatan pelaku kekerasan menjadi dasar pertimbangan hakim untuk tidak menjatuhkan pidana. Pertanyaannya, apakah pelaku kekerasan anak, penyiksaan terhadap anak saya dengan bukti Visum et Repertum yang menyebabkan patahnya tulang hidung, dikualifikasi sebagai perbuatan yang ringan sehingga pelaku diputus bebas?

Keempat, menciderai dan mencabik-cabik rasa keadilan masyarakat yang sejatinya didapatkan oleh korban melalui ruang peradilan yang terhormat di mana awalnya saya percaya bahwa pengadilan adalah tempat mencari keadilan, dan saya yakin hakim akan memutus yang seadil-adilnya tetapi yang terjadi adalah sebaliknya.

Kelima, potensial membuat Santri yang merupakan calon generasi masa depan (tunas bangsa), makin terancam keamanannya karena adanya putusan yang dapat disimpulkan memberikan "angin segar" bagi para pelaku kekerasan terhadap anak di lingkungan Pondok Pesantren di Indonesia, yang dalam beberapa tahun terakhir marak terjadi dan memprihatinkan!

Keenam, potensial membuat para orang tua atau wali Santri merasa tidak aman dan was-was terhadap keberadaan putra-putrinya yang sedang belajar di Pondok Pesantren karena adanya suatu putusan yang tidak mencerminkan terjaminnya perlindungan hukum terhadap para Santri jika mengalami kekerasan seperti yang dialami anak saya.

Ketujuh, menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum pidana anak karena, selain putusan itu tidak memberikan efek jera sama sekali terhadap pelaku, juga dapat menjadi Yurisprudensi, sumber hukum bagi hakim-hakim di Indonesia dalam memutus perkara yang sama di kemudian hari. 

Kedelapan, sebagai orang tua yang senang pada anaknya yang tidak perlu dipaksa untuk Mondok, pantaslah saya berharap bahwa, matinya keadilan pada Santri yang menjadi korban kekerasan (penyiksaan) hingga patah tulang hidung, hanya terjadi pada peradilan anak saya, dan tidak terjadi pada peradilan-peradilan berikutnya di tanah air. Tentu, agar Santri-santri di Indonesia merasa tenang, nyaman, dan aman belajar di Pondok Pesantren.

Kesembilan, sebagai orang tua yang awam hukum, saya berharap, meminta, dan memohon agar preseden buruk penegakan hukum pidana anak ini, mendapatkan atensi yang positif dari Presiden Republik Indonesia, Bapak Joko Widodo, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Bapak Mahfud MD., Ketua Mahkamah Agung, Bapak Muhammad Syarifuddin, Jaksa Agung, Bapak ST. Burhanuddin, dan Ketua Komisi Yudisial, Bapak Mukti Fajar Nur Dewata.

* Orang tua DFA, korban kekerasan di lingkungan Pondok Pesantren di Kabupaten Malang, Jawa Timur