RUU Perampasan Aset dan Basa-basi Politik

Zainal Abidin/Ist
Zainal Abidin/Ist

RANCANGAN Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset telah menjadi pembicaraan  yang terus diulang-ulang di panggung politik Indonesia, seolah-olah menjanjikan harapan besar untuk memerangi korupsi dan mengembalikan harta negara yang dikorupsi. Terbaru, Presiden Prabowo Subianto, dalam Pidatonya di acara May Day (Hari Buruh Internasional), 1 Mei 2025 di Monas, juga ikut menyuarakan dukungan untuk segera disahkan menjadi UU.  

“Saya mendukung Undang-Undang Perampasan Aset. Enak aja, udah nyolong nggak mau kembalikan aset. Gue tarik ajalah itu," ujarnya. 

Namun, pemerintah justru berbeda pendapat untuk menindaklanjuti kehendak Presiden tersebut. Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra memilih menanti langkah dari DPR. Adapun Menteri Hukum Supratman Andi Agtas memilih untuk kembali menggodok draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset yang ada. Hal ini memperkuat kecurigaan publik, RUU tersebut tidak akan disahkan jadi UU. 

Sudah lebih dari dua dekade sejak pertama kali diwacanakan pada 2003, RUU ini tetap terkatung-katung, masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tanpa pernah sampai ke meja pengesahan. Terbaru, pada akhir 2024, DPR dan pemerintah kembali menunjukkan sikap setengah hati dengan hanya memasukkan RUU ini ke dalam Prolegnas Jangka Menengah 2025-2029, bukan sebagai prioritas 2025. Penundaan berulang ini bukan lagi soal teknis, melainkan bukti nyata bahwa RUU Perampasan Aset hanyalah alat basa-basi politik untuk menenangkan rakyat yang muak dengan korupsi, tanpa ada niat serius dari para politisi untuk mewujudkannya.

Mengapa RUU ini terus diulur-ulur? Banyak pihak menduga bahwa RUU ini mengancam kepentingan para elit, baik di legislatif, eksekutif, maupun lingkaran kekuasaan lainnya. Dengan mekanisme perampasan aset tanpa putusan pidana (non-conviction based asset forfeiture), RUU ini memungkinkan penyitaan harta senilai Rp100 juta ke atas yang terkait tindak pidana, termasuk korupsi, tanpa harus menunggu vonis pengadilan. 

Ini berarti aset-aset pejabat atau keluarganya yang tidak wajar, entah disembunyikan atas nama pihak lain atau disimpan di luar negeri, bisa diusut. Bayangkan betapa besar risikonya bagi mereka yang selama ini merasa aman dengan harta hasil korupsi. Alasan klise seperti “perlu kajian lebih lanjut” atau “khawatir disalahgunakan” yang selalu dilontarkan DPR terasa seperti akal-akalan untuk melindungi zona nyaman para koruptor di kalangan elit. Padahal, setelah 20 tahun, masa iya DPR dan pemerintah belum bisa merumuskan aturan yang jelas dan adil?

Sikap DPR semakin memperkuat kecurigaan bahwa RUU ini cuma dijadikan alat pencitraan. Undang-undang lain yang dianggap menguntungkan kepentingan elit, seperti revisi UU KPK atau UU Cipta Kerja, bisa disahkan dengan cepat meski menuai protes keras dari publik, terbaru RUU TNI dibahas secara kilat lalu di sahkan menjadi UU, walaupun mendapat penolakan dari berbagi pihak. Tapi untuk RUU Perampasan Aset, selalu ada alasan untuk menunda. 

Pernyataan anggota DPR, seperti kebutuhan “lobi antarpartai” atau “menunggu konsensus politik”, menunjukkan bahwa keputusan lebih ditentukan oleh negosiasi di balik layar ketimbang kepentingan rakyat. Bahkan ketika Presiden Joko Widodo mengirimkan Surat Presiden pada Mei 2023 untuk mempercepat pembahasan, DPR tetap bergeming, seolah surat itu cuma formalitas. Janji-janji pemberantasan korupsi dari pemerintah, termasuk dari Presiden Prabowo Subianto yang baru menjabat, juga terasa kosong. Kalau mereka serius, mengapa RUU ini tidak dijadikan prioritas utama, bukannya cuma masuk daftar jangka menengah yang entah kapan akan dibahas?

Urgensi RUU Perampasan Aset sebenarnya tidak bisa dipungkiri. Korupsi di Indonesia telah menyebabkan kerugian negara yang mengerikan. Menurut Indonesia Corruption Watch (ICW), kerugian akibat korupsi mencapai Rp48,78 triliun(data tahun 2022) tapi aset yang berhasil dikembalikan ke negara hanya sekitar 7,83 persen dari total itu. 

Bayangkan berapa banyak sekolah, rumah sakit, atau infrastruktur yang bisa dibangun dengan uang sebanyak itu. RUU ini bisa jadi solusi, memungkinkan penyitaan aset koruptor yang disembunyikan dengan cerdik, seperti melalui perusahaan cangkang, transfer ke luar negeri, atau atas nama kerabat. Negara lain, seperti Singapura, sudah membuktikan bahwa pendekatan serupa efektif untuk memiskinkan pelaku korupsi, bahkan jika mereka meninggal atau kabur. Tapi di Indonesia, wacana ini seolah sengaja dibiarkan menguap, sementara para koruptor terus menikmati hasil jarahannya dengan tenang.

Publik, terutama di media sosial, sudah muak dengan drama politik ini. Banyak yang menyebut RUU Perampasan Aset sebagai “alat gertakan” atau “smokescreen” untuk menutupi ketidakseriusan pemerintah dan DPR. Ada juga yang khawatir bahwa, kalau disahkan tanpa pengawasan ketat, RUU ini bisa dipakai untuk menyerang lawan politik. Tapi kekhawatiran ini seharusnya jadi alasan untuk memperbaiki rancangan, bukan untuk menunda tanpa batas. Sebagai pengamat politik, saya melihat ini sebagai bukti bahwa sistem politik kita masih dikuasai oleh kepentingan elit yang tidak ingin kehilangan privilege mereka. 

RUU Perampasan Aset seharusnya jadi senjata untuk menyelamatkan uang rakyat, tapi malah jadi alat untuk menipu harapan publik. Tanpa tekanan besar dari masyarakat dan kemauan politik yang tulus, RUU ini akan terus jadi janji kosong, sandiwara politik yang hanya membuat rakyat semakin kehilangan kepercayaan pada negara. 

*Penulis adalah Pengamat Komunikasi Politik Paramadina

ikuti terus update berita rmoljatim di google news