Pengajian-Pengajian yang Berlebihan

Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prof Al Makin/RMOL
Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prof Al Makin/RMOL

SEJAK awal berdirinya negara dan bangsa ini agama selalu ditempatkan pada yang seharusnya. Negara agama bukan tujuan para pendiri bangsa. Agama dan negara harus mendapatkan porsi yang tepat. Dimana agama dan dimana negara harus jelas tempat, konteks, dan penggunaannya. Politik dengan menggunakan atas nama agama sudah dibuktikan berkali-kali bisa mengelabuhi, baik dalam sejarah manusia atau pengalaman bangsa kita.

Agama itu luas, semua agama. Di satu sisi, moral agama, pesan semua agama, karakter umat beragama, dan intisari dari agama-agama adalah gizi bagi kita rakyat dan pemimpin. Ini semua jelas. Namun penggunaan sentimen keagamaan akan merusak pola pikir, tata politik, dan cara bernegara dan bermasyarakat. Sentimen agama sangat rawan disalahgunakan.

Sukarno mengatakan soal agama, dengan pesan supaya kita mengambil apinya, jangan abunya. Inti dan ruh agama itu apa? Hal-hal yang mudah disalahgunakan itu apa? Api beragama yang menjadi topik beberapa kali tulisan Sukarno sebelum negara ini diproklamirkan layak direnungkan dalam praktek beragama saat ini.

Ada perbedaan yang mendasar antara praktik beragama dan ajaran agama itu sendiri. Kita umat beragama itu menjalankan pesan agama, ini bisa menjadi bahan kritik. Agama itu sendiri adalah pesan yang bisa ditafsirkan.

Era Reformasi ini memberi kebebasan bagi ekspresi dan pendapat. Namun, kadangkala lupa bahwa identitas agama, atas nama kelompok agama, dan sentimen agama bisa dengan mudah mengaburkan pesan. Atau justru sebaliknya, atas nama agama bisa digunakan dengan mudah untuk menarik simpati dan menaikkan popularitas.

Seorang ketua umum partai yang berani, pernah mengatakan tidak khawatir akan kehilangan suara umat beragama dalam Pemilu. Ini pernyataan yang berani, namun disambut dengan sinis dan dengan mudah dikaburkan. Salah satu reaksinya adalah dengan merapatkan barisan atas nama agama. Misalnya, “rapatkan shaf”.

Dengan menyebut agama, pesan mudah diputar dan diserang atas nama agama. Agama menjadi isu yang sangat sensitif. Entah kali yang ke berapa agama tetap menjadi alasan kita membenci, memojokkan, dan menghakimi orang lain di publik.

Jika kita berfikir positif, pesan itu juga kritik sehat terhadap penggunaan agama pada Pemilu 2024 nanti. Sampai hari ini, sentimen keagamaan masih bisa digunakan dengan mudah dan murah. Emosi kelompok kegamaan masih bisa dibawa ke ranah kampanye.

Ketua umum PBNU mengingatkan juga bahwa identitas kelompok bisa mengaburkan pesan. Hal yang harus dihindari dalam berkompetisi dan menyampaikan pesan politik. Pesan bisa hilang karena emosi ikatan kelompok yang ditekankan.

Beberapa saat yang lalu, kritik terhadap jam pengajian viral. Bagi ibu-ibu muda, yang aktif berlebihan di pengajian bisa melupakan perawatan terhadap bayi mereka. Kekurangan gizi, pendidikan dini terlantar, sedikitnya perhatian terhadap anak di usia awal sebetulnya adalah pesan utama. Tetapi karena menyebut pengajian, agama kembali dibawa dan mudah membuat pesan kritik terhadap praktek beragama viral.

Tentu, agama dan praktik keagamaan itu berbeda. Namun, agama semata jauh lebih menarik untuk dijadikan bahan gosip. Praktek beragama menjadi agama itu sendiri. Pengajian seolah agama itu sendiri. Padahal pengajian adalah cara umat menerangkan agama. Pengajian berubah menjadi ibadah wajib sosial.

Memang, jam tayang pengajian di berbagai media sangat banyak, jika tidak bisa dikatakan overdosis. Semua TV, baik swasta maupun negeri, berlomba-lomba menayangkan kegiatan pengajian terus-menerus.

Channel Youtube, Tiktok, Instagram yang diminati adalah yang tayang pengajian dan penampilan pengajian. Tiada media tanpa pengajian. Tiada hari tanpa pengajian, tidak ada jaminan tentang tema, isi, kualitas, atau ideologinya. Tiada jam tanpa pengajian. Pengajian sudah menjadi ritual sosial. Pengajian sudah dianggap agama itu sendiri.

Pengajian yang bermutu dan memberi penerangan, ketenangan jiwa, keluasan berfikir itu yang kita perlukan. Tetapi apa betul pengajian kita yang masif itu menawarkan itu? Berapa pengajian yang menawarkan penyelesaian persoalan kehidupan sehari-hari?

Berapa pengajian kita yang justru malah menebar kebencian dan menghasut kelompok lain? Berapa pengajian kita yang memberi tauladan dan toleransi terhadap perbedaan?

Berapa pengajian kita yang justru menyempitkankan pandangan? Berapa pengajian yang malah menambah masalah dengan menakut-nakuti dosa kita? Berapa pengajian yang menjanjikan ampunan? Berapa pengajian yang malah membuat kita kuatir dan cemas?

Pengajian dikaitkan dengan gizi anak cukup menarik jika kita renungkan. Padahal memberi perhatian pada gizi dan pendidikan anak jauh lebih berbau ibadah daripada pengajian sekedar status sosial.

Ada banyak persoalan dalam jam tayang pengajian kita. Pengajian adalah bagian dari pergaulan dan ajang sosial, seringkali malah melupakan pencarian spiritual yang memberi siraman jiwa.

Bahkan pengajian yang diminati bukan semata-mata yang mengarahkan pada rehat dari sibuknya dunia ini. Pengajian yang lucu atau yang bersemangat menebar kebencian menarik minat publik. Maka perlu kita melihat konten dan ideologi pengajian.

Kembali pada pesan Sukarno enam puluh tahun yang lalu, kita harus berhati-hati dengan abu agama, yang bukan api agama. Tampaknya pesan ini seusai dengan pengajian-pengajian kita.

*Penulis adalah Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta