Denny JA Cerita Gerakan Perempuan hingga Kekerasan Seksual

Ketua Esoterika Forum Spiritualitas, Denny JA di diskusi bertajuk
Ketua Esoterika Forum Spiritualitas, Denny JA di diskusi bertajuk

Ketua Esoterika Forum Spiritualitas, Denny JA mendorong masyarakat agar dapat mendayagunakan akun media sosial (Medsos) untuk mengurangi kekerasan seksual dan ikut menyebarkan isu-isu pencerahan.


Hal itu disampaikan Denny JA dalam acara diskusi bertajuk "Gerakan Perempuan Indonesia Dewasa Ini: Mengenang Kerusuhan Mei 1998" yang digelar di Ruang Garuda, Gedung Balai Besar Pelatihan Kesehatan (BBPK) Jakarta Selatan, Sabtu (20/5).

Denny mengatakan, Medsos telah melahirkan satu gelombang baru feminisme yang memberikan efek perubahan signifikan, terutama terkait sexual harassment atau kekerasan seksual. Dalam publikasi hasil riset Harvard Business Review yang terbit Juli 2019 disebutkan, terjadi penurunan kasus kekerasan seksual dalam beberapa jenisnya di Amerika Serikat pada 2016-2018.

Dalam hasil riset Harvard Business Review kata Denny, terminologi kekerasan seksual diukur dalam tiga dimensi, yakni pelecehan gender, perhatian seksual yang tidak diinginkan, dan pemaksaan seksual.

Di mana, pelecehan gender melibatkan perlakuan negatif terhadap perempuan yang tidak selalu bersifat seksual. Pelecehan itu mencakup komentar yang seksis, menceritakan kisah yang tidak pantas, atau menampilkan materi seksis.

Selanjutnya terkait perhatian seksual yang tidak diinginkan, mencakup beberapa perilaku, misalnya menatap, melirik, atau sentuhan yang tidak diinginkan. Sedangkan, pemaksaan seksual termasuk menyuap atau menekan perempuan untuk terlibat dalam perilaku seksual.

Dalam riset tersebut kata Denny, terdapat dua data yang dibandingkan, yakni data 2016 dan 2018. Pada 2016, sebanyak 25 persen perempuan dilaporkan mengalami pemaksaan seksual. Lalu pada 2018, angka tersebut menurun menjadi 16 persen. Sedangkan perhatian seksual yang tidak diinginkan menurun dari 66 persen pada 2016, menjadi 25 persen di 2018.

"Yang menarik, menurunnya kekerasan seksual itu dihubungkan dengan gelombang besar sebuah gerakan di media sosial. Tentu saja gerakan jenis ini tak pernah terjadi sebelum datangnya media sosial," ujar Denny JA dalam keterangan tertulis, Minggu (21/5).

Denny menjelaskan, sebuah unggahan di Twitter ikut memulai lahirnya sebuah gerakan feminisme jenis ini. Pada 15 Oktober 2017, seorang artis dan aktivis Alyssa Jayne Milano mengunggah di akun Twitternya dengan kalimat "Jika Anda pernah mengalami kekerasan dan pelecehan seksual, jawablah dengan ‘Me Too’."

Konteks posting Alyssa itu kata Denny, menjadi berita yang sangat heboh yang menimpa produser film Hollywood berpengaruh, Harvey Weinstein, yang juga pemilik perusahaan film terkemuka, Miramax. Salah satu filmnya bahkan pernah menang Oscar dan beredar di Indonesia, yakni Shakespeare in Love (1999).

Denny menerangkan, usai unggahan itu, satu per satu artis melaporkan bahwa dulu di masa muda dan awal karir, mereka diminta sejenis layanan seksual, bahkan ada yang menyatakan diperkosa.

Berita tersebut kata Denny, lantas menggemparkan publik di Amerika Serikat. Di era informasi seperti saat ini, berita itu pun mendunia. Apalagi, hal ini menyangkut para artis terkemuka yang wajahnya sering terlihat di layar lebar. Ramai-ramai mereka mengungkap dunia terselubung di Hollywood.

Kala itu kata Denny, Alyssa meyakini bahwa kekerasan seksual terjadi di banyak tempat. Dia kata Denny, ingin memberi semangat kepada para korban untuk berani bercerita pengalaman dengan cukup menjawab di Twitter #Me Too.

Alyssa tak menduga respons atas tweetnya begitu heboh. BBC melaporkan, hanya dalam waktu satu hari, di hari itu juga, hastag “Me Too” digunakan lebih dari 200 ribu kali. Esok harinya, unggahan itu sudah di-retweet sebanyak 500 ribu kali. Hastag “Me Too” bahkan sudah digunakan oleh 4,7 juta orang lewat 12 juta posting.

Selain itu kata Denny, Facebook bahkan melaporkan 45 persen dari penggunanya memiliki teman yang menggunakan hastag “Mee Too.” Maka, hastag “Mee Too” pun menjadi gerakan.

Sementara itu, badan kesehatan dunia, WHO dalam laporannya menyebutkan, sebanyak sepertiga wanita di dunia dalam hidupnya pernah mengalami pelecehan seksual.

“Kesamaan nasib itu pula yang membuat gerakan 'Me Too" bergaung sangat cepat dan meluas dengan kilat," kata Denny JA.

Denny menambahkan, pada 2021, Tarana Burke menerbitkan buku berjudul Unbound: The Story of Liberation and The Birth of Mee Too Movement. Tarana yang menciptakan slogan “Mee Too.”  

Denny mengisahkan, Tarana yang pernah diperkosa pada usia 7 tahun pun menjadi aktivis dan bertekad membantu mereka yang mengalami kekerasan seksual, terutama anak-anak. Menurut Tarana kata Denny, ada dua hal yang membuat kasus perkosaan itu tetap terjadi dan meluas.

Pertama, hadirnya kultur bisu, di mana para korban tak ingin kasus itu dilaporkan karena membawa aib keluarga. Hal itu juga akan membuat dirinya sulit mendapatkan jodoh karena merupakan korban perkosaan. Wanita korban perkosaan dianggap sudah tak lagi suci, tercela, dan sebagainya.

Kedua, hadir pula tradisi victim blaming, di mana sang pelapor yang malah akan disalahkan, bahkan dihukum. Apalagi, jika pelaku yang dilaporkan itu orang yang mempunya kuasa atau dihormati.

"Tapi dalam perjalanan hidupnya, Tarana juga menemukan titik cerah. Jika ada yang mulai berani bercerita kasus yang dialami, respons ‘Me Too’ membuat korban merasa tak sendiri. Mereka lebih terbuka untuk bercerita,” jelas Denny JA.

Sejak 2006 kata Denny, Tarana mengampanyekan hastag “Me Too” agar para korban kekerasan seksual berani tampil dan membantu para korban lain untuk berani bersuara

Selanjutnya pada 2017, Time Magazine memilih para individual korban yang berani bersuara. Persons of the Year diberikan kepada Silence Breakers. Lalu, Tarana Burke, Alyssa Milano dan Ashley Judd dianugerahi The Persons of The Year.

“Kaum feminis di Indonesia dan aneka pihak yang peduli dengan kekerasan seksual dapat belajar dari kasus itu," tutur Denny JA.

Di Indonesia kata Denny, gerakan “Me Too” juga dihidupkan oleh aktivis, namun hasilnya belum mencolok. Sebab, kultur bisu dan victim blaming di Indonesia jauh lebih kuat.

Menurut Denny, publik di Indonesia dibuat gempar dengan berita di tahun 2022 tentang banyaknya kasus perkosaan kepada santriwati di pesantren oleh guru agamanya sendiri.

“Kultur bisu di pesantren jauh lebih kuat. Jauh lebih banyak kasus kekerasan seksual di dalam pesantren yang tak menjadi berita. Citra pesantren begitu ingin dilindungi," terang Denny JA.

Denny menilai, ketika kultur individu belum terlalu berani menyatakan “Me Too, saya juga mengalami kekerasan seksual”, maka negara harus hadir. Perlindungan hukum yang dibuat oleh negara harus lebih ekstra.

Lalu kata Denny, perkembangan penting itu terjadi, di mana pada 2022, UU Penghapusan Kekerasan Seksual sudah dilahirkan. Hal tersebut dianggap menjadi kemajuan signifikan bagi perlindungan kaum perempuan untuk kasus kekerasan seksual di Indonesia.

Denny JA menegaskan, Forum Esoterika yang merupakan forum spiritualitas antar agama ikut hadir terhadap urusan perlindungan perempuan karena meyakini dan memilih tafsir agama yang pro terhadap hak asasi manusia dan kemajuan wanita.

Forum Esoterika tak hanya bersama merayakan hari agama, tapi berkumpul untuk merenungkan peristiwa hak asasi manusia dan kaum perempuan.

“Kita sudah sampai di era media sosial. Akun di media sosial itu adalah senjata di dunia informasi. Sekecil apapun, kita dapat mendayagunakan akun media sosial itu untuk mengurangi kekerasan seksual ataupun ikut menyebarkan isu-isu pencerahan,” pungkas Denny.

Acara diskusi Esoterika tersebut juga diisi dengan pendarasan teks suci agama, kepercayaan, mazmur serta meditasi. Selain itu, diskusi juga diwarnai dengan penampilan musik serta pembacaan puisi mengenai Kerusuhan Mei 1998.

Hadir sebagai narasumber pada acara tersebut adalah Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani, dan intelektual Islam Neng Dara Affiah.