Mahfud MD Ungkap Peran Besar Kiai dan Santri di Hadapan Para Ulama

Menko Polhukam Mahfud MD/RMOLJatim
Menko Polhukam Mahfud MD/RMOLJatim

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD mengisi Keynote Speech dalam Halaqah Ulama Nasional, di Pesantren Sunan Drajat Lamongan, Rabu (12/7).


Mahfud menyampaikan kiai dan santri memiliki peran dan kontribusi besar terhadap negara Indonesia, mulai dari perjuangannya untuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), menyusun ideologi hingga mengisi kemerdekaan.

"Peranan pesantren sangat besar terhadap NKRI, mulai awal berdirinya negara, menyusun ideologi yang menjadi pedoman hidup bersama dalam bernegara, merebut dan mempertahankan Indonesia dari penjajah, serta mengisi kemerdekaan," ujarnya dikutip Kantor Berita RMOL Jatim.

Mahfud MD menjelaskan, ulama dari berbagai ormas Islam dan pesantren ikut masuk dalam menentukan masa depan negara, termasuk memberikan warna dalam penyusunan ideologi. Ulama telah melewati perdebatan panjang melalui retorika, dalil-dalil dan istikhoroh dalam merumuskan Pancasila.

Besarnya peran ulama dan santri ini dilakukan sebelum Indonesia merdeka hingga sekarang, seperti saat Indonesia dijajah Jepang, pembentukan BPUPKI, hingga waktu Belanda kembali masuk mau menjajah kembali saat Indonesia menyatakan kemerdekaannya.

Belanda sebagai bagian dari kelompok sekutu yang memenangkan perang dunia II, ingin kembali menjajah dan menguasai Indonesia. Pasalnya, sekutu merasa punya tanggung jawab atas wilayah-wilayah jajahan Jepang, termasuk Indonesia.

"Akibatnya, pemerintah Indonesia sempat kewalahan hingga hijrah ke Yogyakarta pada tahun 1946, kira-kira 6 bulan sesudah kemerdekaan. Nah di situ, pondok pesantren punya peran yang sangat besar, salah satunya melalui Masyumi yang dipimpin oleh Kiai Hasyim Asy'ari," jelasnya.

Mahfud MD menegaskan, saat itu Kiai Hasyim Asyari juga menginisiasi munculnya keputusan penting, yakni dianataranya pembentukan Hizbullah, tenaga-tenaga tentara dari kalangan Islam. Kedua mendirikan Sekolah Tinggi Islam (STI).

Hizbullah itu menjadi cikal bakal tentara di Indonesia. Sementara STI diresmikan pada 8 Juli di Gondangdia, Jakarta, dengan membuka 2 fakultas, yakni agama dan sosiologi.

Bahkan saat pemerintah hijrah tahun 1946, STI di Jakarta juga ikut pindah ke Yogyakarta.

"STI ini lalu berubah jadi Universitas Islam Indonesia di Yogyakarta. Itu adalah kreasi Kiai Hasyim Asy'ari dan ulama dari kalangan pesantren. Sumbangan dan perannya terhadap bangsa ini sangat besar," terangnya. 

Meski begitu, kata Mahfud, pasca kemerdekaan banyak pejuang dari kalangan pesantren yang terpinggirkan. Hal itu lantaran imbas dari politik pendidikan yang diwariskan oleh Pemerintah Hindia Belanda yang cenderung diskriminatif.

"Pejuang, anak-anak muda, dan tokoh Islam banyak yang tidak tertampung dalam tugas-tugas di pemerintahan negara baru. Kemudian banyak kalangan Islam yang memutuskan untuk kembali ke pesantren dan fokus dalam mendidik santrinya. Tapi ada juga yang marah karena tidak tertampung," paparnya.

Terpinggirnya dan tidak dilibatkannya kalangan Islam dalam negara baru Indonesia ini berimbas pada sulitnya kaum pesantren untuk menjadi bagian dari pemerintahan. Apalagi, kalangan pesantren tak memiliki ijazah formal.

"Di zaman penjajahan orang Islam itu diisolasi, tidak boleh sekolah, sekolahnya paling ya SD. Sehingga kalangan Islam yang marah seperti Kartosuwiryo itu akhirnya mendirikan Darul Islam," tuturnya.

Perjuangan kalangan Islam, khususnya pesantren tak berhenti di situ saja. Meski sempat terpinggirkan, namun selang beberapa tahun kemudian pesantren dengan lembaga pendidikan yang didirikan oleh para kiai mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman.

Adaptasi itu dimulai pada sekitar 1960-an. Kemudian pada tahun 1980-an bermunculan magister dan profesor dari kalangan santri.

 Mahfud menyebut, terjadi mobilitas gerakan vertikal yang dilakukan kalangan Islam ke pemerintahan Indonesia.

"Dengan adaptasi itu, banyak profesor yang berasal dari kaum santri. Sekarang bahkan ada 27 Universitas Islam Negeri (UIN) yang berhasil didirikan. Santri mengisi berbagai macam sektor. Santri bisa jadi polisi, tentara, politisi dan bisa jadi apa saja," tandasnya.

"Jika dulu sekolah agama dianggap sebelah mata, tapi sekarang sekolah dan universitas Islam mampu bersaing dan sejajar dengan universitas hebat lainnya. Kita juga punya UU pesantren. Para santri dengan segala kontroversinya pun berhasil memasukkan pendidikan agama dalam konstitusi kita," tambahnya.

Di hadapan 500 ulama dalam halaqah itu, Mahfud mengajak agar bersama-sama mengelola negara dan memajukan Indonesia dengan sebaik-baiknya. Sebab, berkat peran dan partisipasi ulama dalam bernegara, kini Indonesia telah mengalami peningkatan moralitas yang signifikan.

"Sistem pengajaran nasional kita memberikan tempat bagi pendidikan Islam. Dalam Undang-Undang, pendidikan diselenggarakan berdasarkan iman, taqwa dan akhlak. Ini hasil perdebatan dan perjuangan para santri. Mari kita teruskan perjuangan itu," pungkasnya.