SEBELUMNYA pada 27 Juli lalu ratusan petani demo di depan DPRD Jatim dan Pemprov Jatim. Kali ini, pada Senin (7/8) mereka yang mengatasnamakan Koalisi Petani Anti Korupsi Jawa Timur (Kapak Jatim), mendatangi gedung wakil rakyat untuk beraudiensi.
Massa diterima anggota dewan dari Komisi B. Nur Sucipto. Dia anggota Komisi B sekaligus Sekretaris Fraksi Gerindra. Sangat gentle menghadapi aspirasi petani. Sendirian.
Tuntutan mereka sama seperti sebelumnya. Yang paling utama menuntut program reformasi agraria bebas KKN, pengelolaan perkebunan bebas KKN, mendesak pelaksanaan perhutani sosial bebas KKN, hingga bongkar praktik mafia tanah.
Artinya ada masalah serius di sini.
Salah satu yang diungkap adalah carut marutnya program perhutanan sosial.
M. Trijanto membuka audiensi setelah dipersilahkan si anggota dewan yang sendirian itu.
Dia memperkenalkan diri. Perwakilan yang hadir ada 30 orang. Semua datang dari daerah di Jawa Timur. Selain Kapak Jatim, ada juga FPPM, KRPK, hingga Ratu Adil.
Aspirasinya sama. Karena mereka berangkat dari visi misi yang sama. Sehingga punya masalah yang sama.
Kedatangan mereka ingin didengar oleh dinas-dinas terkait yang difasilitasi Komisi B. Sayangnya, dinas-dinas itu tidak hadir.
Ada misskomunikasi, katanya begitu. Nur Sucipto bilang tidak menerima surat audiensi. Sehingga tidak tahu jika hari itu ada keinginan petani untuk audiensi dengan para dinas. Dia tahunya, Komisi B hanya menerima audiensi.
Dinas-dinas yang dimaksud adalah Dinas Kehutanan, Kanwil BPN, Dinas Pertanian, Dinas Perkebunan, Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (BPSKL) dan Perum Perhutani Divisi Regional (Divre) Jawa Timur (Jatim).
Menurut Trijanto, sebenarnya agenda audiensi menghadirkan instansi terkait. Sifatnya urgent. Sangat mendesak.
Contohnya soal program perhutanan sosial yang digagas Presiden Jokowi. Jika pada November ini belum ada langkah kongkret, bisa terjadi gejolak sosial.
Ya sejak Presiden Jokowi menyerahkan Surat Keputusan (SK) Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial (IPHPS) pada masyarakat dari Perum Perhutani, program ini nyaris tidak terlaksanakan dengan baik.
Salah satu penyebabnya, belum adanya akselerasi kebijakan Perhut atau Perda. Efeknya menjadi carut marut. Muncul mafia tanah. Masyarakat tidak lagi menjadi subyek utama. Pemahaman program ini di tingkat bawah menjadi multitafsir.
Padahal substansi pengaturan ini adalah pemerintah pusat mengambil alih kewenangan pengelolaan hutan di Jawa sekitar 1,1 juta hektar dari Perum Perhutani. Kawasan hutan itu antara lain untuk kepentingan rehabilitasi hutan, dan perhutanan sosial. Lebih detail pengaturan areal dan lokasi ditetapkan melalui Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No.287/2022.
Pemerintah sendiri telah mengalokasikan lahan untuk perhutanan sosial dalam bentuk lima skema yaitu Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Kemitraan Kehutanan, dan Hutan Adat.
Adanya program Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
(KLHK), tercatat mencapai 45,48 persen dari total keseluruhan yang digelontorkan di seluruh pulau Jawa. Dan Jawa Timur termasuk provinsi paling banyak menerima program KHDPK dibanding provinsi lain.
Pengaturan KHDPK muncul dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23/2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan, merupakan turunan UU Cipta Kerja.
Di Jawa Timur sendiri, kata Trijanto, sudah ada pelepasan 2.800 ha tahap pertama dari 502 ribu ha untuk perhutanan sosial.
Ini program Jokowi yang sangat baik. Maka, harus ditopang dengan kebijakan yang baik pula. Harus ada regulasi yang jelas.
Misalnya, di Jawa Barat, dari target KHDPK di Jawa Barat seluas 269,782 Ha, telah terealiasi sebesar 38.821,75 Ha, atau sekitar 14%. Untuk mensinergikan kebijakan ini, telah dibentuk Pokja Percepatan Perhutanan Sosial melalui SK Gubernur Jawa Barat dalam mendukung upaya percepatan dan pengelolaan hutan secara lestari dan peran serta dari masyarakat.
Perhutanan sosial yang ada di Jawa Barat yang sudah diberikan hak akses dari KLHK sebanyak 133 kelompok dengan luas 38.821,75 Ha, dengan jumlah petani 21.159 orang. Adapun aktivitas unggulannya berupa 40% kopi, 14% buah-buahan, 9% jasa wisata, dan 8% empon-empon/rempah.
Sebaliknya di Jawa Timur hingga sekarang belum terbentuk SK Pokja. Padahal yang namanya pendampingan sangat penting. Sebab di situ ada manajerial pengelolaan hutan sehingga membantu percepatan program perhutanan sosial masyarakat penerima izin akses kelola hutan melalui 3 kelola, yakni kelola kelembagaan, kelola kawasan dan kelola usaha.
Masih banyak masalah lainnya. Misal di Lamongan, ada lahan yang sudah dikeluarkan dari area kerja Perum Perhutani, artinya tidak diperbolehkan ada kemitraan baru pasca regulasi baru ini. Tapi faktanya masih begitu banyak pola-pola kemitraan yang dilakukan oleh Perum Perhutani.
Diakui Trijanto, saat ini memang banyak pihak-pihak yang tidak setuju dengan adanya program perhutanan sosial.
Oknum-oknum itu ingin menggagalkan skema perhutanan sosial dengan cara membuat banyak penyimpangan. Memunculkan mafia tanah.
Ini masih seputar perhutanan sosial. Belum soal pupuk, soal perizinan, soal kemitraan, soal hak guna lahan (HGU) dan masih banyak lagi yang perlu dibahas dalam audiensi.
Masalah tanah cukup pelik. Masalah petani juga. Jangan sampai program Jokowi yang baik ini menjadi sia-sia dan menguap begitu saja.
Harus dibahas dengan serius. Duduk bersama. Mencari solusi bersama. Atau jika tidak, ini akan menjadi bom waktu. Yang diuntungkan oknum-oknum nakal dan masyarakat yang buntung.
* Wartawan Kantor Berita RMOLJatim
ikuti terus update berita rmoljatim di google news