Ramos Horta dan Ramalan Kejatuhan Soeharto

Penulis (kanan) dalam pertemuan dengan Presiden Timor Leste Ramos Horta di Hotel JS Luwansa, Jakarta, Senin (7/8)/RMOL
Penulis (kanan) dalam pertemuan dengan Presiden Timor Leste Ramos Horta di Hotel JS Luwansa, Jakarta, Senin (7/8)/RMOL

DALAM sebuah wawancara dengan CNN di bulan Mei 1995, Ramos Horta memperkirakan kekuasaan Soeharto di Indonesia akan berakhir sekitar dua atau tiga tahun lagi. Kejatuhan itu, katanya, karena korupsi yang semakin menjadi, salah kelola, dan legitimasi rejim yang semakin jeblok. 

Setelah Orde Baru tumbang, Horta yakin akan lebih mudah bagi Timor Leste untuk mencapai kemerdekaan.

Hal itu antara lain yang disampaikan Presiden Timor Leste Ramos Horta ketika berbicara dalam Dialog Demokrasi yang digelar Center for Strategic and International Studies (CSIS) di Tanah Abang, Jakarta, Senin siang (7/8).

Pria kelahiran Dili, 26 Desember 1949 itu dilantik  sebagai presiden ke-5 Timor Leste di bulan Mei 2022 lalu. Ini adalah kali kedua dia menjabat sebagai presiden Timor Leste. Posisi itu pertama didudukinya pada periode 2007-2012.

Selain itu, Ramos Horta juga pernah menjabat sebagai Perdana Menteri Timor Leste untuk waktu yang cukup singkat, dari bulan Juni 2006 sampai Mei 2007.

Di bagian awal kuliah umum di CSIS, Ramos Horta menceritakan pembicaraannya dengan pejabat Indonesia menjelang berakhirnya kekuasaan Portugis di Timor Leste pada pertengahan 1970an.

Saya mendapatkan naskah kuliah umum itu saat bertemu Ramos Horta di Hotel JS Luwansa, Senin malam (7/8). Dalam pertemuan itu, saya menyerahkan dua buku kumpulan wawancara dengan duta besar negara sahabat yang saya tulis. Kedua buku itu berjudul “Perdamaian yang Buruk, dan Perang yang Baik” dan “Buldozer dari Palestina”.

Pada bulan Juni 1974, sebagai Menteri Luar Negeri yang ditunjuk Front Revolusi untuk Kemerdekaan Timor Leste atau Fretelin, Horta melakukan perjalanan ke Jakarta untuk mencari tahu sikap Indonesia pada upaya Timor Leste melepaskan diri dari Portugis yang berkuasa di sana sejak abad ke-16.

Di tahun 1974 itu, Portugis sedang menghadapi krisis besar. Revolusi Anyelir yang terjadi di bulan April berhasil menekan diktator Portugis dan melahirkan era demokrasi. Situasi inilah yang dimanfaatkan Timor Leste sebagai momentum untuk merebut kemerdekaan.

Dari Dili, Horta singgah di Kupang dan bertemu Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) ketika itu, Brigjen Elias Tari.

Kepada Horta, El Tari mengatakan, “Terserah pada rakyat Timor Portugis untuk memutuskan masa depan apa yang mereka inginkan.”

Lalu El Tari membelikannya tiket untuk berangkat ke Jakarta dan bertemu Menteri Luar Negeri RI, Adam Malik. Dalam pertemuan dengan Adam Malik, Horta juga menyampaikan keinginan Timor Leste bergabung dengan ASEAN setelah merdeka dari Portugis.

Sebelum Horta meninggalkan Jakarta, Menlu Adam Malik menyerahkan sepucuk surat yang isinya, pertama, menegaskan bahwa bagi Indonesia kemerdekaan adalah setiap bangsa, tanpa kecuali bangsa Timor Leste.

Kedua, pemerintah dan rakyat Indonesia tidak memiliki keinginan untuk memperluas teritori atau menduduki teritori negeri lain. Ketiga, siapapun yang berkuasa di Timor Leste, pemerintah Indonesia akan tetap menjalin hubungan baik dengan Timor Leste.

Di dalam surat itu, Menlu Adam Malik juga meminta Horta menyampaikan salamnya kepada rakyat Timor Leste.

Duta Besar Timor Leste Filomeno Aleixo yang memfasilitasi pertemuan dengan Ramos Horta mengirimkan copy surat itu kepada saya. Katanya, Ramos Horta juga memperlihatkan copy surat itu pada hadirin yang memenuhi ruang pertemuan di CSIS.

Berbekal surat itu, Ramos Horta pun kembali ke Dili dengan keyakinan upaya Timor Leste mendapatkan kemerdekaan akan lebih mudah dengan dukungan Indonesia.

Namun, setahun kemudian sikap Indonesia berubah. Pada awal Desember 1975 Indonesia menduduki Timor Leste, dan menjadikannya provinsi ke-27.

Walau begitu, Horta yakin, seperti yang terjadi dengan Portugis, kekuasaan Indonesia di Timor Leste pun tidak akan abadi. dan keyakinan itu disampaikannya dalam wawancara dengan CNN di bulan Mei 1995 itu.

“Seperti yang saya prediksi, dua atau tiga tahun kemudian Orde Baru runtuh. Di tahun 1999 digelar referandum, dan did tahun 2002 Timor Leste merdeka,” demikian Ramos Horta.