Pejabat Publik Apa Petugas Partai?

Rosdiansyah/Ist
Rosdiansyah/Ist

BEBERAPA hari lalu sejumlah oknum pejabat publik, diantaranya oknum kepala daerah serta para oknum anggota DPRD, menyambangi warga-warga perkampungan di Kota Surabaya. Bukan sekadar sambang, tapi sambang plus aksi menempel stiker-stiker dukungan pada bakal calon presiden (bacapres) di bagian depan rumah warga yang disambangi.

Para oknum pejabat publik itu terang-terangan menunjukkan dukungan kepada salah-satu bacapres. Meski musim kampanye Pemilu 2024 belum dimulai, tapi sikap mereka ini tentu mengingatkan publik pada situasi Orde Baru. Tatkala para pejabat publik di era rezim kala itu rajin turun ke warga menjelang Pemilu. Mengajak sekaligus mempengaruhi warga memilih sosok yang dipilih oleh sang oknum.  

Sudah barang tentu, keterlibatan oknum pejabat publik tanpa tedeng aling-aling, yang bersikap partisan pro-bacapres yang telah ditetapkan induk partainya, menjadikannya tak lagi netral. Partisanisme pertanda kemunduran tabiat pucuk eksekutif dan legislatif kita. Oknum-oknum kepala daerah dan anggota DPRD yang sesungguhnya digaji dan difasilitasi oleh pajak yang dibayar oleh rakyat banyak, disadari atau tidak, telah mengubah diri menjadi barisan relawan bacapres tertentu.

Birokrasi tak berjarak untuk urusan politik. Melahirkan kembali praktek oknum-oknum birokrasi era Orde Baru menjelang Pemilu. Setback ke masa Orde Baru. Oknum-oknum pejabat publik melibatkan birokrasi di bawah ketiak partai penguasa. Para oknum kepala daerah dan oknum anggota DPRD yang dipilih rakyat, setelah dilantik lalu mengubah diri menjadi petugas partai.

Sejarah mencatat, Raja Louis XIV di Prancis berujar ''L'etat c'est moi'', negara adalah saya. Lalu, ujaran itu saat ini diadopsi jadi ''L'etat c'est mon parti au pouvoir'', negara adalah partai politik saya. Menguasai semua lini birokrasi, menciptakan histeria birokratik. Menguasai seluruh jalur pemerintahan demi semata mengabdi pada tujuan partai penguasa. Jacques Lacan menyebut gejala ini sebagai ''wacana histeria'' yang melanda birokrasi.

Mentalitas birokrasi bukan lagi melayani publik, tapi melayani partai penguasa. Benarlah Gaetano Mosca menyebutnya sebagai ''The Ruling Class'' (1939). Kelas penguasa yang menunggangi birokrasi demi syahwat politik. Contohnya, Benito Mussolini (Italia) mempraktekkan itu, idem ditto Adolf Hitler (Jerman), Josef Stalin (Uni Sovyet), Wojciech Jaruzelski (Polandia), Nicolae Ceaușescu (Rumania), Kim Jong Il (Korea Utara), bahkan Partai Komunis Cina (PKC) saat ini, sami mawon.

Contoh-contoh sejarah nyaris mirip dengan situasi kita saat ini. Ketika istilah ''petugas partai'' bergaung dimana-mana. Menurunkan derajat demokrasi. Hasil pilihan langsung, dari rakyat banyak, kepada para kepala daerah serta anggota DPRD telah dibajak partai penguasa. Seharusnya, para kepala daerah serta anggota DPRD itu memahami, bahwa mereka dipilih langsung oleh rakyat, bukan cuma dipilih oleh anggota partainya untuk menjadi kepala daerah atau anggota DPRD.

Ala kulli hal, bertobatlah wahai oknum kepala daerah dan oknum anggota DPRD. Anda semua telah dipilih oleh rakyat banyak, lalu digaji dan difasilitasi oleh rakyat banyak, bukan dipilih dan digaji oleh partai anda.

*Analis politik, tinggal di Surabaya