Dinamika Organisasi pada Partai Politik: Variabel Obedience dan Free Will Dalam Pemilihan Calon Pemimpin Negara

Ilustrasi/Net
Ilustrasi/Net

TAHUN 2024 menjadi salah tahun yang sangat dinantikan karena sekali lagi, kita akan menentukan masa depan Indonesia dengan memilih para pemimpin. Selain gegap gempita penyambutan pesta demokrasi di Indonesia ini, hal menarik yang bisa disorot, yaitu kolaborasi antar politik yang sangat dinamis. 

Secara pandangan awam, merupakan suatu hal yang menantang untuk bisa menentukan biduk langkah politik dari sebuah partai politik. Di hari ini saling mendukung, di minggu berikutnya bisa oposisi. Sekarang saling membenci, bisa saja keesokan paginya sayang-sayangan. 

Dinamika yang sama pun, nampaknya hadir pula di internal partai politik itu sendiri sebagai suatu organisasi. Idealnya, ketika suatu partai politik telah menentukan dan memberikan dukungan terhadap suatu tokoh tertentu, maka pendukungnya pun “wajib” memiliki sikap yang sama. Akan tetapi, begitukah di lapangan?

Mari kita kaji dari variabel obedience dan free-will. 

Variabel Obedience & Free-Will

Obedience diartikan sebagai kepatuhan. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, kepatuhan memiliki arti kesetiaan, ketaatan, atau loyalitas. Sebagai konsep psikologis, obedience diartikan sebagai bentuk sikap patuh, setia, taat, dan loyal terhadap individu lain dalam posisi otoritas (Milgram, 1974). 

Di dalam konteks artikel ini, obedience merupakan bentuk kepatuhan anggota partai politik terhadap pihak manajemen dari partai politik itu sendiri, yang biasa kita kenal sebagai pemimpin partai atau elite partai. 

Ketika manajemen di partai politik tersebut telah mengambil sikap untuk mendukung calon pemimpin tertentu, maka, anggota partai politik pun “wajib” meresponnya dengan kepatuhan, yaitu ikut mendukung keputusan tersebut. 

Mengikuti arahan adalah bentuk kepatuhan dan kesetiaan, serta loyalitas anggota terhadap pimpinan, si partai politik tersebut. 

Hanya saja, di tengah obedience yang melekat, individu tetaplah manusia yang pada dasarnya memiliki kehendak bebas atau bahasa kerennya “free-will”. 

Salah satu pendekatan di dalam keilmuan psikologi yang berkembang di era 1950an, yaitu humanistik memandang bahwa individu pada hakikatnya memiliki kehendak bebas untuk bergerak, melakukan sesuatu, memilih, dan bertanggungjawab terhadap hidup yang ia jalani. 

Bahkan, seorang filsuf yang berasal dari Amerika, Robert Kane, dalam bukunya yang berjudul Free Will and Values (1985) mengemukakan bahwa kehendak bebas atau free will merupakan kekuatan di dalam diri manusia, yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan pribadi, dan memandu tindakan diri. Secara sederhana, dengan free will, manusia bisa menentukan nasibnya sendiri, termasuk tindakannya sendiri. 

Dalam konteks artikel ini, anggota organisasi di partai politik pun memiliki kehendak bebas untuk dapat memilih calon pemimpin yang ia kehendaki. 

Logika sederhana, si individu itulah yang nanti akan masuk secara pribadi ke bilik suara dan melakukan pencoblosan. Dan, pilihannya terhadap calon tersebut bisa saja berbeda dengan yang telah ditentukan oleh partai politik. 

Dinamika Variabel Obedience & Free-Will

Setiap partai politik sebagai suatu organisasi pasti ingin bahwa tujuan, visi-misinya tercapai, termasuk calon yang diusung menang. Namun, kedua variabel, obedience dan free-will perlu menjadi lampu kuning bagi para manajemen di partai politik agar tidak jumawa, dan terlalu percaya diri bahwa pendukungnya akan menjadi begitu loyal, begitu obedience terhadap pilihan partai. 

Nilai-nilai, keyakinan, tendensi pribadi dari masing-masing anggota partai politik tersebut bisa saja mempengaruhi keputusannya memilih calon pemimpin, terutama, ketika partai politik mendukung calon yang mungkin tidak sepenuhnya sejalan dengan pandangan individu. 

Di sinilah kebebasan berpikir memainkan peran. Free will yang dimiliki oleh setiap anggota partai politik tersebut memungkinkan mereka untuk mempertimbangkan calon dari berbagai sudut pandang, bukan hanya berdasarkan arahan partai politik. 

Ini adalah perwujudan dari kemerdekaan dalam berpikir dan bertindak, bahkan jika itu berarti mengambil keputusan yang berbeda dengan keputusan kolektif partai.

Di dalam dinamika organisasi, apabila terdapat perbedaan pandangan antara manajemen dengan anggota, bisa saja memupuk konflik sehingga berujung pada kegagalan dalam mencapai tujuan bersama. 

Tentu saja, konflik semacam ini bisa mengancam stabilitas partai dan merusak hubungan internal. Di satu sisi, obedience dapat menciptakan solidaritas dan loyalitas, sementara di sisi lain, free will menghasilkan variasi dalam pandangan dan keputusan bersikap. 

Dua variabel yang hadir di setiap manusia yang berorganisasi bisa saja menciptakan lingkungan politik yang kompleks dan tentu saja, sangat dinamis. Implikasinya adalah partai politik perlu segera mengambil langkah konkrit agar lebih merapatkan barisan, menumbuhkan militansi di antara anggota berdasarkan values organisasi partai politik, dan makin memperkuat obedience mereka terhadap keputusan partai. 

Kesimpulan

Dalam dinamika organisasi yang dalam konteks ini adalah partai politik dan anggota yang ada di dalamnya, obedience dan free-will menjadi dua variabel yang sangat perlu diperhatikan oleh manajemen partai politik tersebut. 

Kedua variabel ini bisa membentuk kerangka pemikiran anggota terutama dalam perumusan keputusan politik. Sehingga, manajemen partai politik perlu mulai memikirkan rencana strategis dan program nyata untuk meningkatkan obedience dari para anggota agar dapat bergerak serentak, satu tujuan untuk mendukung tokoh pemimpin yang diusungnya. 

Partai politik yang juga dapat dipandang sebagai suatu organisasi, dapat diibaratkan seperti kereta yang sedang berjalan. Ketika lokomotif mengarah ke Barat, maka gerbong-gerbong lainnya pun hendaknya ikut menuju kesana.  

Sebaliknya, akan menjadi “aneh” apabila sebuah lokomotif berjalan ke Selatan, tetapi gerbong-gerbongnya mengarah ke Utara, atau bahkan memiliki rem sendiri. 

Tapi, apakah hal tersebut berlaku di partai politik saat ini? Ini sebuah pertanyaan retoris yang monggo, bisa dijawab oleh masing-masing pengelola organisasi di partai tersebut. 

Yang pasti, siapapun pilihan kita, kita perlu bersatu padu sebagai Warga Negara Indonesia, memberikan kontribusi terbaik dengan mengedepankan semangat Pancasila untuk makin memajukan Indonesia tercinta menuju Indonesia Emas 2045. Ya, semoga!

*Dosen Fakultas Psikologi Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya