Learning Agility: Kemampuan Mutlak Menghadapi Fenomena VUCA di Era Disrupsi

Ilustrasi/Net
Ilustrasi/Net

Hal yang abadi bernama, perubahan

PERKEMBANGAN dunia yang terjadi begitu cepat, banyak hal yang tidak terduga, dipengaruhi oleh berbagai faktor yang sulit dikontrol, serta realitas yang menjadi subjektif adalah situasi “normal” yang saat ini sedang kita hadapi. 

Warren Bennis dan Burt Nanus, dua orang pakar kepemimpinan dan ilmu bisnis asal Amerika menggunakan terms VUCA (volatile, uncertain, complexity, and ambiguous) untuk menjelaskan fenomena ini.

Perubahan yang terjadi saat ini menjadi begitu masif dan bahkan merubah sistem serta tatanan kehidupan yang lebih baru. Para pemain lama akan tergantikan dengan pemain baru, teknologi usang akan berubah menjadi teknologi yang lebih canggih, serta segala sesuatu menjadi lebih efektif dan efisien. 

Disrupsi, begitu Prof. Rhenald Kasali, seorang pakar perubahan dari Indonesia menyebutnya dalam bukunya yang berjudul Disruption (Kasali, 2017). 

Heraclitus, seorang filsuf asal Yunani pernah menyatakan, “there is nothing permanent except change”, tidak ada yang permanen kecuali perubahan. Perubahan tidak dapat dihindari. Pilihannya adalah beradaptasi atau tertinggal jauh di belakang. 

Individu saat ini dituntut untuk selalu mau mengembangkan diri termasuk kompetensi yang dimilikinya. Sehingga, salah satu kompetensi yang diperlukan untuk menghadapi perubahan era VUCA dan disrupsi, yaitu learning agility. 

Learning Agility, kemampuan beradaptasi pada perubahan

Salah satu kompetensi yang sangat diperlukan untuk beradaptasi pada perubahan, adalah learning agility (De Meuse, 2017). 

Learning agility merupakan kemampuan serta kemauan untuk beradaptasi dalam menghadapi situasi yang belum jelas, ataupun hal yang baru (Gravett & Caldwell, 2016). 

De Meuse (2017) sendiri menyatakan, learning agility merupakan kemampuan dari seorang individu untuk belajar dari berbagai hal, dan keinginan untuk menerapkan pembelajaran tersebut agar sukses pada keadaan yang baru atau kondisi yang menantang. 

Secara sederhana, learning agility adalah kemampuan untuk bisa belajar hal baru dengan cepat dan tepat sehingga mampu beradaptasi dengan berbagai perubahan yang ada. Kemampuan learning agility dibentuk oleh 4 dimensi, yaitu mental agility, people agility, change agility, dan result agility (Gravett & Caldwell, 2016). 

Mental agility diartikan sebagai kemampuan individu untuk mengatasi permasalahan kompleks dalam situasi yang baru. Individu diharapkan menampilkan sikap penasaran (curiosity) terhadap situasi asing dan ingin untuk mempelajarinya lebih lanjut ataupun meningkatkan kemampuannya untuk menghadapi hal tersebut. 

Selain itu, di dalam kehidupan sehari-hari akan sering terjadi permasalahan yang tiba-tiba muncul. Kemampuan individu untuk berpikir dan mengolah emosi secara tepat untuk memecahkan permasalahan tersebut menjadi komponen penting di dalam mental agility. 

Aspek kedua yang membentuk learning agility, yaitu people agility. Perubahan tidak akan terlepas dari berbagai pihak yang terlibat didalamnya. Pada aspek ini, individu tidak hanya mampu menghadapi situasi yang dinamis, tetapi memiliki kapabilitas untuk berinteraksi dengan berbagai individu lain atau stakeholder terkait dan bahkan diharapkan membangun relasi interpersonal yang mendalam dengan mereka. 

Keterbukaan terhadap perspektif dan keberagaman karakter individu lain adalah salah satu indikator bahwa seorang individu memiliki people agility

Change agility menjadi aspek ketiga yang membentuk learning agility pada seorang individu. Perubahan akan menyebabkan ketidakpastian, dan kondisi tidak menentu. Bahkan, ada momen dimana perubahan menjadi begitu kontras dan terlalu ekstrim. 

Individu yang memiliki change agility adalah mereka yang mampu mengatasi dan mengolah perasaan tersebut menjadi efektif, dan memberikan respon yang tepat terhadap perubahan. Kecepatan dalam beradaptasi pun menjadi salah satu tanda bahwa individu memiliki aspek ini. 

Perubahan menuntut individu untuk tetap menghasilkan kinerja terbaik dan menunjukkan sikap bertanggungjawab di dalam kondisi apapun. Result agility perlu dimiliki individu di dalam proses pembelajaran terhadap perubahan, agar mereka tetap fokus untuk tekun dan bersungguh-sungguh dalam dinamika yang ditemui. 

Individu harus tetap berorientasi pada progress dan mengupayakan mendapatkan hasil optimal untuk setiap aktivitasnya. 

Siapa individu yang memiliki learning agility?

Learning agility membekali individu untuk siap menghadapi berbagai perubahan. Individu yang memiliki learning agility akan selalu siap beradaptasi dalam berbagai keadaan meskipun pada kondisi yang sulit sekalipun, ataupun pada perubahan yang sangat cepat. 

Individu yang memiliki kemampuan learning agility menunjukkan beberapa sikap proaktif dalam menghadapi perubahan. 

Ia tidak sekadar mengikuti perubahan sesuai dengan arahan dari orang lain, tetapi menampilkan sikap proaktif. Individu aktif mencari tahu serta mengembangkan wawasan melalui berbagai sumber terkait kebutuhan perubahan, mengidentifikasi hambatan dan menentukan langkah yang harus dilakukan untuk mengimplementasikan perubahan, serta mulai menyesuaikan diri terhadap proses kerja yang baru. 

Pada tingkat yang lebih tinggi, seorang individu dengan kemampuan learning agility yang tinggi tidak hanya beradaptasi pada perubahan di dalam tataran untuk dirinya sendiri. Ia mampu membantu orang lain dan bahkan memimpin serta menggerakan orang lain untuk berdinamika di dalam suatu proses perubahan. 

Kejeliannya dalam memanfaatkan berbagai sumber daya yang saat ini dimiliki untuk mendukung implementasi perubahan pun menjadi salah satu karakter individu dengan learning agility yang tinggi. 

Strategi untuk meningkatkan kemampuan learning agility

Burke, Roloff & Mitchinson (2016) menyebutkan, setidaknya terdapat sembilan strategi agar seorang individu dapat meningkatkan kemampuan learning agility, yaitu Information gathering: 

Pertama, rasa haus akan pengetahuan dan keinginan tinggi untuk mencari informasi dari berbagai sumber. Individu perlu mampu memanfaatkan berbagai sumber daya yang dimiliki untuk mendapatkan informasi mengenai perubahan. 

Kedua, flexibility.Uindividu mau membuka diri terhadap ide ataupun situasi baru, serta responsif dalam upaya memecahkan masalah yang terjadi. 

Ketiga, speed. Masifnya perubahan perlu disikapi dengan cara kerja yang cepat pula. Ketekunan serta penetapan prioritas menjadi salah satu cara untuk dapat berdinamika secara cepat di dalam kondisi ini. 

Keempat, experimenting. Berani mencoba, menerapkan perilaku, ide, alternatif, dan keinginan untuk terus berinisiatif mencari cara yang lebih efektif didalam menjalani kehidupan sehari-hari.  

Kelima, performance risk-taking. Perubahan sangat lekat dengan tantangan. Keberanian mengambil resiko menghadapi tantangan adalah hal yang sangat diperlukan dalam meningkatkan learning agility didalam diri. 

Keenam, interpersonal risk-taking. Perbedaan pendapat adalah hal lumrah di dalam suatu kondisi yang dinamis. Kemampuan individu untuk menerima, menyepakati, dan mendukung keputusan yang tidak sesuai kehendaknya adalah hal yang perlu dilakukan agar dapat melatih learning agility. 

Ketujuh, collaborating. Kolaborasi menjadi alternatif untuk mewujudkan tujuan bersama, alih-alih bersaing dengan orang lain. 

Kedelapan, feedback seeking. Bersikap terbuka untuk belajar dari orang lain dan bersikap legawa terhadap masukan dari mereka bisa menjadi strategi bagi individu yang ingin mengembangkan kemampuan learning agility di dalam dirinya.

Kesembilan, reflecting. Evaluasi rutin terhadap apa yang telah dilakukan selama ini, dan merumuskan action plan atau rencana tindak lanjut konkrit adalah cara yang efektif untuk terus mengembangkan kemampuan learning agility di dalam diri individu. 

Learning agility menjadi salah satu kemampuan yang sangat diperlukan dalam menghadapi fenomena VUCA dan era disrupsi saat ini. Transformasi teknologi, perubahan sistem dan bahkan gaya hidup serta perilaku individu perlu disikapi dengan bijak. Salah satunya dengan meningkatkan kemampuan learning agility. 

In the new world, it is not the big fish which eats the small fish; it’s the fast fish which eats the slow fish.” – Klaus Schwab.

Psikolog Industri dan Dosen Fakultas Psikologi Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya