Narasi Pulau Rempang yang sudah harus kosong pada 28 September 2023 demi kelancaran pembangunan proyek strategis nasional (PSN) Rempang Eco City, dinilai kontraproduktif di tengah upaya pemerintah yang ingin mencari titik temu persoalan ini.
- Rapat Kabinet Terbatas Bahas Masalah Rempang, Jokowi Ingin Selesaikan secara Kekeluargaan
- Dampak Negatif Ketimpangan Penguasaan Lahan
- Bentrok Pulau Rempang, LPSK Ingatkan Pemerintah Soal Konvensi Anti Penyiksaan
Menurut anggota DPD RI, Fahira Idris, narasi pengosongan Pulau Rempang ini bukan narasi komunikasi yang baik. Narasi ini sama saja menyempitkan ruang dialog dengan warga yang seharusnya saat ini dibuka seluas-luasnya.
"Saya berharap narasi soal tenggat waktu pengosongan ini tidak lagi dikemukakan karena saat ini warga masih menolak direlokasi dari lahan yang sudah mereka tinggali turun temurun," ujarnya, Rabu (20/9).
Senator Jakarta itu berpendapat, jika pemerintah ingin mendapatkan titik temu dari persoalan PSN Rempang Eco City, maka pendekatannya juga harus komprehensif dan tidak menjadikan tenggat waktu sebagai patokan.
Fahira melanjutkan, adanya konflik warga dengan aparat akibat pengembangan Rempang Eco City yang akan menjadi daerah industri, perdagangan, dan wisata ini membuktikan bahwa Pulau Rempang bukanlah tanah kosong.
"Harus ada opsi-opsi lain, selain merelokasi warga terutama yang ada di 16 Kampung Melayu Tua yang diperkirakan sudah ada di pulau ini sejak ratusan tahun lalu," pungkasnya.
- Bangkitkan Nasionalisme Santri, Pesantren di Tuban Nobar Timnas Indonesia U-23 Vs Uzbekistan
- Satu Lagi Mantan Pejabat Jember Ikut Bersaing Rebut Rekom Bacabup di PDIP
- Terpidana Dominggus Ditangkap di Kos-kosan di Bekasi Usai 9 Tahun Buron