Kebijakan Full Day School di Ngawi, Dewan Minta Dikaji Ulang

Anas Hamidi, anggota DPRD Ngawi/Ist
Anas Hamidi, anggota DPRD Ngawi/Ist

Penerapan kebijakan Full Day School/FDS pada bangku SMP sederajat di Ngawi yang telah berjalan hampir 2 tahun ini menuai respon beragam dari berbagai kalangan. 


Tidak hanya masyarakat maupun wali siswa dan atau orang tua peserta didik. Kali ini sorotan tersebut disampaikan salah satu anggota legislatif. 

Anas Hamidi wakil rakyat dari PKB yang duduk di kursi DPRD Ngawi ini berpandangan bahwa FDS itu akan berimbas negatif pada eksistensi madrasah diniyah dan pondok pesantren.

Anas meminta penerapan Full Day School tersebut, harus memberikan jaminan terhadap kelangsungan madrasah diniyah dan pondok pesantren.

"Harus ada jaminan bahwa penerapan kebijakan tersebut benar-benar justru untuk memberikan pengakuan dan penguatan terhadap eksistensi madrasah diniyah, pondok pesantren, dan sejumlah lembaga pendidikan keagamaan informal dan non formal lainnya, termasuk pengakuan dan pemberdayaan guru-gurunya," terang Anas Hamidi, Sabtu (21/10).

Menurut Anas, jaminan penguatan eksistensi madrasah diniyah dan pondok pesantren juga harus tertuang dalam regulasi. Bila tidak ada jaminan tesebut, wakil rakyat ini berpandangan sebaiknya penerapan kebijakan Full Day School ditinjau kembali oleh pemerintah daerah.

"Jika tidak ada jaminan, sebaiknya dikaji secara lebih mendalam lagi dampak negatif (mudharat) yang ditimbulkannya, karena ini menimbulkan keresahan di tengah masyarakat khususnya para wali murid," tuturnya.

Anas yang juga calon legislatif (caleg) dari PKB untuk periode ke empat kalinya ini meminta dengan sangat Bupati Ngawi Ony Anwar untuk mengkaji ulang penerapan FDS di daerahnya. 

Seperti diketahui melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 23 tahun 2017 tentang Hari Sekolah. Pasal 2 Permendikbud tersebut mengatur bahwa Hari Sekolah dilaksanakan 8 (delapan) jam dalam 1 (satu) hari atau 40 (empat puluh) jam selama 5 (lima) hari dalam 1 (satu) minggu.  

Sehingga sejak awal sebagian masyarakat berpandangan aturan ini akan mengganggu kegiatan lembaga pendidikan keagamaan non formal baik TPA maupun TPQ yang selama ini sudah berkembang di masyarakat.